‘Ibn Taimiyyah, a radical? Yes, a radical in his moderation…’
Yahya Michot, Ibn Taymiyya against Extremisms, 233
Rangkaian Tuduhan kepada Ibn Taimiyyah
Ibn Taimiyyah (728/1328) adalah seorang faqih, mutakallim, filsuf, juga sufi-salafi asal Damaskus ternama, yang hingga saat ini masih sering diperbincangkan; baik oleh para akademisi maupun awam.
Bahkan konon, kajian-kajian Barat hingga saat ini masih menempatkan Ibn Taimiyyah dalam kajian tokoh teratas, dua kali lipat dari al-Ghazali yang berada diperingkat dua (Rapoport dan Ahmed 2010, 269; Berkey 2003, 276–86).
Bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, ia masih saja dituduh sebagai dalang intelektual-spiritual atas pembunuhan Anwar Sadat (Ibn Bayyah 2020) hingga aksi jihadis-teroris macam Osama Bin Laden dan yang sepemikiran dengannya.
Hal ini semakin diperkuat oleh klaim jihadis yang mengacu pada fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah sebagai legalitas aksi-aksinya (Aigle 2015). Sehingga komplitlah stigma bahwa ia adalah biang kerok radikalisme modern.
Napak Tilas Kembali
Meski demikian, tak sedikit yang melakukan napak tilas pemikiran Ibn Taimiyyah dengan objektif; mengikat penelitiannya dengan konteks sejarah-sosial-politik-agama pada saat fatwa-fatwa tersebut dituliskan (Y. M. Michot 2012; Y. Michot 2006; Hoover 2020; Maihula 2021).
Seakan ingin ‘merebut’ kembali Ibn Taimiyyah dari para ekstremis, mereka mempersilahkan Ibn Taimiyyah untuk berbicara sendiri, menghidangkan tulisan-tulisannya tanpa interpretasi berpihak dari manapun, lalu memberi catatan dan komentar.
Upaya rediscovery ini ingin mengenalkan ‘wajah lain’ Ibn Taimiyyah, tokoh inspirator bagi Muslim yang ingin menjalani kehidupan beragama penuh makna dan penghayatan, beragama yang positif, dan memberi kontribusi pada masyarakat.
Mengenalkan Ibn Taimiyyah yang tak menolak tasawuf, bahkan mengenalkan konsep spiritualitas yang manusiawi, positif, bukan tasawuf yang eksklusif-individualistik, tasawuf yang menjadi penggerakan kemanusiaan, bukan tasawuf yang hanya bermesraan dengan Tuhan.
Ibn Taimiyyah dan Moderasi
Tak sedikit karyanya yang menyajikan moderasi dalam beragama dan teologi, maḥabbatullāh, dan juga politik yang tegas tapi santun. Ia menampilkan Islam sebagai jalan tengah; bukan jalan ekstrem, baik kanan maupun kiri.
Sebagai contoh, ia berfatwa tentang hukuman mati bagi orang kafir yang tidak bertobat, tapi pada fatwa lainnya, dia enggan menyatakan dengan mudah seseorang sebagai kafir. Ia menyatakan dengan tegas hukum tentang kufr. Namun di saat yang sama, sangat berhati-hati (menghindar) memberi gelar kafir pada siapapun. Ia mengatakan bahwa orang-orang Mongol (penjajah pada saat itu) adalah kafir karena keislaman mereka hanya sebatas ucapan dan penuh nuansa politis (Yāsīn 2020).
Dan hal ini tidak ada relevansinya dengan konteks keberagamaan saat ini (Raff 1973). Konteks politis semacam ini yang seringkali terlepas dari bidikan para pembaca Ibn Taimiyyah.
Ra’id al-Samhuri, peneliti pemikirain-pemikiran Ibn Taimiyyah yang berdomisili di Qatar, menyatakan dengan tegas dalam banyak kesempatan, bahwa dia menarik mayoritas simpulan dari bukunya Naqd al-Khitāb al-Salafī: Ibn Taimiyyah Namūżajan (Kritik Wacana Salafi: Ibn Taimiyyah sebagai Contoh) (Al-Samhūrī 2010) menurut pengakuannya, buku yang ditulis pada tahun 2010 lalu itu banyak mengutip lalu menyimpulkan fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah tanpa melihat konteks sejarah dan politik yang menyertainya, sehingga simpulan-simpulan yang ia sajikan jauh dari akurasi. Sayangnya, edisi revisi yang sudah sejak lama ia janjikan belum terpenuhi.
Islam itu Cinta
Ia juga menaruh perhatian besar pada pembahasan cinta, ia menulis panjang lebar hal ini dalam Qa‘idah fi al-Maḥabbah. Menurutnya, kebaikan harus dilandasi dengan cinta, niat baik tanpa dilandasi cinta menjadi tak sempurna.
Ia menjelaskan hubungan antara hamba dan Penciptanya, Khaliq dan makhluq–Nya. Segala perilaku manusia harus dilandasi cinta pada Tuhannya. Mencintai dan membenci sesuatu tak boleh karena nafsu, tapi semata karena hal itu dicintai atau dibenci oleh Tuhan.
Pembahasan mendalamnya tentang cinta mungkin akan mengejutkan mereka yang tak terbiasa langsung membaca karya-karyanya. Baginya, cinta manusia harus dikhususkan sepenuhnya untuk Tuhan saja. Menduakan cinta sama saja menyekutukan-Nya. Semua yang dicintai harus dicintai Tuhan, demikian sebaliknya.
Ia juga membedakan antara; mencintai Tuhan karena kemurahan-Nya terhadap makhluk-Nya; dengan mencintai Tuhan karena Dia, Dzat-Nya. Cinta yang terakhir inilah yang lebih unggul dari yang pertama, demikian imbuh Ibn Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 10:234).
Ia tak segan mengutip ahl al-kitab untuk menegaskan pentingnya mencintai Tuhan dan sesama, lalu menegaskan bila hal ini adalah realitas keimanan yang otentik (ḥanifiyyah) (Y. M. Michot 2012, 144).
Siapa Bilang Politik itu (Pasti) Kejam?
Dalam politik, ia tidak pernah memberikan legitimasi atas tindakan-tindakan makar dan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Meski demikian, baginya, ketaatan kepada penguasa bukannya tanpa syarat. Ia harus diimbangi dengan realitas pentingnya persatuan umat di atas kerusakan yang disebabkan oleh pemberontakan.
Pernyataan ini yang pada akhirnya membuat al-Jama’ah al-Islamiyyah, kelompok jihadis di Mesir bertobat dari aksi teror mereka. Jadi, apakah Ibn Taimiyyah seorang radikal? Ya! Radikal dalam moderasinya!…demikian simpulan Yahya Michot dalam Ibn Taymiyya against Extremisms (Y. M. Michot 2012, 233).
Ia mengambil contoh saat kaum beriman berkonfrontasi dengan Negus (Najasyi), penguasa Kristen Abyssinia pada masa Nabi Muhammad, Ibn Taimiyyah menyebutnya sebagai seorang yang adil dan berlapang hati.
Negus ‘terpaksa’ menyembunyikan keimanannya demi menghormati kerajaan dan rakyatnya. Hal ini bila kita baca secara kontekstual, mengajak kita untuk lebih toleran dan menghargai keyakinan lain.
Dalam konteks yang sama, Ia juga menjelaskan bagaimana Nabi Yusuf di Mesir ikut masuk dalam lingkaran kekuasaan Fir’aun untuk kemaslahatan, Yusuf dengan sepenuh hati menjadi pelayan (menteri) penguasa saat itu (Majmu‘ Fatawa, 20:54-61).
Hal ini semakin menegaskan fleksibilitasnya dalam konteks muslim yang hidup dalam lingkungan mayoritas non-Muslim. Bahwa hal tersebut tidak hanya diperbolehkan, tapi berpartisipasi aktif-positif juga diperkenankan.
Pragmatisme politik ala Ibn Taymiyyah ini mendorong keterlibatan konstruktif-positif Muslim dalam masyarakat non-Muslim. Tapi tetap, pragmatisme yang berprinsip; dipandu oleh al-Qur’an dan sunah.
Meski demikian, ia tetap tegas dan tidak ragu-ragu untuk ‘mengkafirkan’ orang-orang Mongol yang menurutnya, mereka berislam secara politis dan tetap menzalimi umat Islam. Penilaian ini ia landasi dengan penafsirannya terhadap konteks sejarah Islam awal. Dan sekali lagi, apakah Ibn Taimiyyah Radikal? Ya! Radikal dalam Moderasinya!
Wallah A‘lam bi al-Ṣawab.
Editor: Yahya FR