Perspektif

Kembali kepada Islam Artinya Kembali kepada Akal

5 Mins read

Pendahuluan

Islam Akal – Manusia, kita, selama ini hidup di planet bumi. Kita merasa tak ada yang aneh sama sekali. Kita sudah terbiasa. Sudah terbiasa karena sudah ratusan ribu tahun lamanya spesies kita, sapiens, menjadi penguasa di planet biru ini. Namun, sayang sekali, kekuasaan kita lebih sering berupa pertunjukkan otot daripada otak. Lebih sering pertunjukan kekuatan, dibanding pengetahuan.

Kalau pun ada pengetahuan, hawa nafsu kita sering menyetirnya. Akhirnya, ilmu, sains, dan teknologi menjadi pelayan bagi birahi dan keserakahan Anda. Akui saja itu semua. Bahkan bukan hanya teknologi. Komunitas-komunitas suci juga begitu. Allah dan nabi Anda paksa supaya merestui nafsu kelompok Anda untuk berkelahi. Kita harus jujur, banyak dari kita beragama tapi disetir oleh nafsu, bukan oleh wahyu dan ilmu.

Kembali kepada Akal

Sekali lagi harus saya katakan: Spesies kita memang sudah lama menjadi penguasa bumi. Dan, kekuasaan itu lebih sering berupa pengrusakan dan peperangan. Harmonisme hampir pasti jarang terjadi. Lihat saja rumah tangga Anda. Lihat saja bangsa ini yang tidak karuan ribut soal konspirasi corona.

Saya jadi teringat bagaimana rombongan malaikat melakukan protes pada Allah. Katanya: “Wahai Allah, mengapa kaum Adam dan Hawa yang Kau pilih menjadi wakil-Mu. Mereka itu suka berkelahi dan menumpahkan darah. Bukankah kami yang lebih pantas. Toh, kami selalu memuji dan beribadah pada-Mu.” Nyatanya, Allah tidak memilih siapa yang paling banyak ibadahnya. Allah memilih kita karena alasan lain. Alasan itu adalah ilmu.

Tapi, tahukah Anda, bahwa itu adalah cerita ribuan tahun yang lalu. Hari ini, umat yang pernah Allah puji di dalam kitab suci karena ilmu dan akhlaknya, adalah umat yang paling takut untuk berpihak pada ilmu dan akhlak. Muhammad Saw pernah memimpin orang-orang yang kritis pada keadaan. Mereka adalah kaum rasional dan dermawan. Hari ini, Anda mengaku sebagai penerus mereka. Tapi, Anda jadikan doktrin-doktrin jauh lebih penting daripada akal dan etika.

***

Akal adalah kemampuan berpikir manusia. Akal mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akal selalu hidup selama manusia itu sadar. Tak ada aspek yang tidak bisa diselidiki oleh akal. Tuhan, sebagai wujud spiritual hanya bisa diraih oleh akal. Akal membuat Anda menjadi rasional. Dengan akal kita menentukan mana kebenaran, dan mana kesalahan. Bahkan, meski kesalahan itu terlanjur disebut sebagai ajaran agama.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Epistimologi Ini Bantu Kamu Memahami Islam Secara Utuh

Jika Anda belum mengerti juga, bahwa hari ini umat Islam jauh dari akal, maka lihat saja ekspresi sosiologis kaum Muslim di Indonesia. Karena merasa sebagai mayoritas, kita lalu merasa sebagai pihak yang paling benar dan berpengaruh. Apakah faktanya memang demikian? Apakah kita punya pengaruh? Sama sekali nol besar.

Fakta yang ada adalah kita seperti buih di lautan. Banyak, tapi tidak signifikan. Anda hanya konsumen. Sementara peradaban yang sebenarnya, dikuasai oleh kaum dan bangsa lain yang lebih rasional dari kita. Para produsen, pemilik modal, dan kelas innovator dan inventor bukan berasal dari kelompok Anda. Lagipula, dunia hari ini tak lagi relevan dilihat secara perkelompok. Peradaban modern adalah peradaban global. Siapa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan etika, dialah yang akan diakui sebagai manusia yang maju, modern, dan berguna.

Takut pada Akal

Komunitas Muslim dunia selama ini terjebak dalam sebuah kondisi psikologis inferior. Tak diakui di lisan, tapi jelas menghantui alam pikiran. Rasa rendah diri itu coba diobati oleh beberapa orang. Tapi caranya salah. Mereka menciptakan narasi apologia, bahwa Islam pernah jaya dan berkuasa. Jelas itu menenangkan. Tapi hanya sementara. Fakta sebenarnya justru tak dilihat. Yaitu fakta bahwa kita mengidap penyakit kebodohan.

Kita memuji-muji kejayaan masa silam Islam, tapi entah mengapa luput untuk melihat sebab utama kejayaan tersebut. Di tempat mana pun di dunia, kemajuan peradaban tidak diukur dari cakupan wilayah politiknya. Ukuran sebenarnya adalah kualitas pemikiran dan ilmu pengetahuannya. Dan, sebab utama dari peran luar biasa yang dimainkan kaum Muslim Abad Pertengahan adalah kreativitas dan inovasi mereka dalam filsafat dan sains.

Sejarawan Arnold Toynbee bisa kita kutip di sini. Tentu bukan sembarang kutip. Toynbee sangat teliti melihat bagaimana peradaban itu lahir, memuncak, dan akhirnya mati. Kata Toynbee kelompok minoritas kreatiflah yang selama ini bertanggung jawab atas majunya sebuah peradaban. Alexandria, Baghdad, Bukhara, dan Silicon Valley adalah contohnya. Ibn Sina hanya satu orang, tapi ia lebih besar dari apa pun dan siapa pun untuk menjadi simbol kebesaran peradaban Islam pra-modern.

Baca Juga  Karakter Qanaah: Hidup Sederhana dengan Bersyukur

***

Sejarah juga jelas mencatat bagaimana kaum kreatif itu selalu dicurigai dan ditakuti. Selalu saja ada orang yang takut pada akal dan pemikiran bebas. Perpustakaan Alexandria dibakar atas fatwa uskup agung Cyril. Tak hanya perpustakaan, kebencian atas akal juga membakar (benar-benar dengan api) diri seorang ilmuwan perempuan, Hypatia. Hal sama terjadi pada ‘Ain al-Qudhat. Ia dieksekusi. Begitu juga Suhrawardi. Mereka meregang nyawa akibat fatwa kaum ulama yang mengharamkan filsafat.

Beberapa ratus tahun sebelum persekusi terhadap kaum filosof di dunia Islam, seorang pemikir dan pejuang kemanusiaan dikejar dan dipersekusi karena dianggap mengancam keyakinan nenek moyang masyarakatnya. Ia hanya seorang, namun kata-kata yang keluar dari lisannya dapat menggerakkan gunung. Di tengah masyarakat materialis dan hedonis, ia menyampaikan adanya pengadilan moral setelah mati nanti. Tuhan yang kuasa mencipta semesta, pasti kuasa membangkitkan kita dan menyidang kita setelah mati.

Orang itu bernama Muhammad, putra Abdullah. Alasan utama ia dikejar adalah karena ia mengajak masyarakatnya untuk berpikir logis dan etis. Ia menjelaskan dengan untaian kata indah, yang ia sebut Al-Quran, bahwa keselamatan di dunia dan akhirat bergantung pada perbuatan baik kita selama hidup. Dan baik atau buruk harus kita bedakan dengan akal. Sebab, akal itu sendiri adalah pemberian Tuhan untuk manusia gunakan. Alasan selama ini manusia berada pada kesesatan, adalah karena menyimpang dari akal pemberian Tuhan.

Islam adalah Akal

Sudah saatnya Anda dan saya berubah menjadi Muslim yang rasional dan beretika. Allah menjadikan akal di kepala kita dan cinta kasih di tempat yang sama adalah karena semuanya merupakan perangkat utama yang membentuk status Anda sebagai manusia. Manusia disebut manusia sebab dia memiliki akal. Spesies ini terpisah dari spesies lainnya karena kemampuan akalnya yang luar biasa. Biologi, arkeologi, psikologi, dan sosiologi menemukan bahwa kemampuan berbahasa kita berasal dari kekuatan kognitif kita.

Sejarah dan psikologi evolusioner juga menemukan bahwa kekuatan kognitif itulah yang membuat manusia mampu menemukan Tuhan. Tanpa akal ini, kita tak lebih dari sekadar binatang melata, yang hidup berkeliaran mencari buruan, dan tak akan sempat memikirkan misteri kehidupan dan alam semesta. Tanpa akal kita tak bisa menemukan Tuhan. Namun kemudian, mereka yang sudah merasa sebagai umat pilihan Tuhan, justru takut terhadap akal.

Baca Juga  Pengalaman Mengenali Islam, Ibadah, dan Keikhlasan

Dengan berani dan tegas harus kita nyatakan bahwa Islam adalah panggilan untuk menggunakan akal. Saya harap Anda paham bahwa di sini saya tidak hendak mengajukan bukti-bukti normatif soal anjuran memakai akal dalam sumber-sumber utama ajaran Islam. Anda bisa baca itu sendiri di kitab suci Al-Quran dan dalam laporan kehidupan Muhammad Saw. Saya juga tidak hendak mengklaim sepihak, atau justru jatuh pada penjelasan apologetik; cara menjelaskan yang saya sendiri tidak suka.

***

Islam adalah akal, sebab agama adalah akal. Muhammad adalah tokoh pemikir, sosok cerdas, dan artikulatif dalam menyampaikan ide-idenya. Al-Quran adalah ide-ide yang genuine dan orisinal milik Muhammad. Ia adalah wahyu, namun juga sekaligus bukti kecerdasan Muhammad. Panggilan Al-Quran supaya kita membuka mata dan otak untuk memikirkan semesta, dan untuk menegakkan keadilan, adalah wujud nyata dari sifat rasional dari ajaran Muhammad. Kepada mereka yang punya akal pikiran, Muhammad mengajak untuk sujud dan khusyu’ kepada Tuhan.

Akhirulkalam, wahyu Islam adalah inspirator utama yang mendorong pendengarnya untuk kembali pada akal dan etika. Debat-debat teologis harus diakui ada, tapi bukan segalanya. Umat ini harus cerdas melihat dunia yang selalu berubah. Hari ini bukan lagi era debat teologis itu. Zaman teologi dan ideologi sudah berlalu. Hari ini adalah zaman ilmu pengetahuan, sains, dan filsafat. Soal ketuhanan, Islam sudah tuntas. Soal etika dan pengetahuan, jelas Islam pernah berhasil, namun kini justru tertinggal jauh.

Apa artinya itu semua? Tanyalah pada hati nurani Anda. Bagi saya, jika hari ini kita masih tenggelam dalam polemik teologis, akidah, fiqih, dan urusan normatif lainnya, itu bukti gamblang dan gampang bahwa kita tak bisa berdamai dengan masa lalu, dan tak bisa lepas dari beban-beban masa silam. Respon Anda terhadap tulisan ini bisa jadi bukti selanjutnya. Apakah Anda akan menuduh saya Mu’tazilah dan liberal, atau justru Anda akan berpikir. Berpikir bahwa tak relevan lagi tuduhan ad hominem seperti itu. Akal harus dikembalikan ke intisari agama, karena memang itulah ia.

Editor: Rozy

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds