Akidah

Ilmu Kalam: Seni Apologia Terfavorit di Dunia Islam

6 Mins read

Pendahuluan

Manusia setidaknya selalu berada dalam sebuah dilema yang tampak sederhana, namun terbukti selalu menciptakan kehidupan yang tidak sederhana. Kita sering harus memilih antara menerima realitas kehidupan secara apa adanya, atau mengubah realitas menjadi seperti yang kita inginkan.

Hampir di seluruh bidang kehidupan, kita mengalami dilema ini, termasuk dalam persoalan hidup beragama. Bagi manusia dengan ajaran keimanan yang sudah baku, pilihan itu biasanya dijatuhkan pada yang kedua: Mengubah kehidupan agar sesuai dengan garis yang diinginkan kepercayaan agama kita.

Sejak mengenal agama, manusia cenderung sangat terobsesi pada kebenaran. Di samping kebenaran-kebenaran alamiah yang bisa kita langsung akses dengan pancaindra dan pikiran, nenek moyang kita juga amat gusar tiap malam jika tak menemukan jawaban yang benar tentang kekuatan-kekuatan gaib yang mereka terlanjur percaya.

Mereka terus-menerus bertanya: Apakah Tuhan itu Maha Adil? Jika dia adil, mengapa pelaku dosa bisa hidup enak, sementara kaum beriman teraniaya? Apakah Tuhan itu maha baik?

Jika dia baik, mengapa kita mengalami banyak musibah? Di balik semua pertanyaan ini, ada kebenaran; begitu mereka mengira. Mereka sendiri tak sempat bertanya: Untuk apa pertanyaan semacam itu diajukan?

Bagaimana Iman yang Sederhana Menjadi Ilmu Kalam?

Anak-anak yang hari ini kita kirimkan ke sekolah, pesantren, dan universitas, tak banyak yang sempat mempertanyakan mengapa agama yang mereka terima dari orangtuanya begitu penuh dengan spekulasi teologis dan fikih. Sebagai paket yang Tuhan kirimkan langsung kepada kita, spekulasi-spekulasi yang agama katakan dianggap sudah pasti benar.

Beberapa dari kita mengirim anak-anak untuk mempelajari agama dengan harapan kelak dia menjadi penyebar agama itu, kelak bisa meng-Islam-kan banyak orang yang masih kafir, dan dengan begitu anak kita telah menjadi pejuang sebenarnya di jalan Tuhan. Untuk memastikan anak itu menjadi hamba Tuhan yang taat, pertama-tama kita harus membuat imannya terbebas dari kesalahan.

Iman pada asalnya sangat simplistik; Anda diberikan seperangkat poin rukun iman, dan jika Anda mempercayainya, Anda selamat. Jika sebaliknya, Anda celaka. Iman lalu bereaksi karena ternyata ada banyak versi rukun iman lain dari mazhab lain, atau dari agama lain.

Iman lalu menjadi akidah; seperangkat aturan main yang mengikat, yang jika Anda langgar, lagi-lagi, Anda celaka. Akidah lalu bereaksi karena ternyata ada versi aturan main yang lebih logis, yaitu filsafat dan ilmu pengetahuan. Akidah lalu menjadi ilmu kalam; versi canggih dari akidah yang sudah dipoles dengan logika yang ia pinjam dari filsafat.

Barangkali pernah terjadi pada Anda, ketika suatu hari Anda harus pergi keluar daerah untuk pertama kalinya. Selama ini Anda percaya bahwa suku daerah Anda adalah suku yang paling beradab, paling bijaksana, dan suku pilihan Tuhan. Kakek dan nenek Anda juga sering bercerita sehabis pulang dari ladang, bahwa di luar daerah ada banyak suku dan orang yang tidak beradab, tidak bijaksana, dan dikutuk oleh Tuhan.

Baca Juga  Pemikiran Kalam Imam Syafi'i: Kritis terhadap Mutakallim

Sesampainya Anda di daerah yang lain itu, Anda turun dari bus antarkota, dan Anda justru bertemu banyak orang berbeda yang sama beradabnya, atau bahkan lebih bijaksana dari Anda. Anda lalu bertanya dalam hati: Apakah benar bahwa orang-orang ini dikutuk oleh Tuhan; Apakah benar hanya suku saya saja yang benar?

***

Pada abad ke-8 dan ke-9 masehi, umat Islam menyebar keluar dari Jazirah Arabia. Kerajaan yang mereka bangun terus memperluas daerah kekuasaan. Ekspansi menyebabkan interaksi antara umat Islam dengan bangsa lainnya.

Saat itu, seabad sejak kemunculan Muhammad Saw, umat Islam selalu diajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Tuhan. Namun, kini mereka harus berhadapan dengan kenyataan baru bahwa ada manusia-manusia beragama lain yang tidak kalah beradab dan bijaksana dari mereka.

Umat Islam lalu menyadari bahwa orang-orang kafir ini justru memiliki peradaban yang lebih maju, memiliki filsafat dan ilmu pengetahuan, dan berperilaku secara saleh dan penuh dengan etika. Umat Islam lalu bertanya di antara sesamanya: Apakah benar bahwa orang-orang ini dikutuk oleh Allah; Apakah benar hanya Islam saja yang benar?

Marshall G.S. Hodgson (2002) mengatakan bahwa beginilah ceritanya sehingga ilmu kalam bisa lahir. Debat internal kaum Muslim soal masalah ketuhanan, kenabian, dan politik, memang sudah hadir mengiringi konflik perang-perang sipil pertama setelah Muhammad Saw wafat.

Meski begitu, momentum yang menentukan ilmu kalam menjadi disiplin yang penting di dunia Islam adalah pada abad ke-8 dan ke-9, ketika imperium Islam semakin meluas dan membuat mereka harus hidup berdampingan dengan agama dan kebudayaan asing.

Mengapa Mereka Membuat Ilmu Kalam?

Pada tahun-tahun ekspansi tersebut, beberapa Muslim yang saleh tidak keberatan dengan filsafat dan sains alam yang mengiringinya. Individu-individu berotak cerdas ini bahkan serius menekuni ilmu pengetahuan tersebut. Rasa optimis dan percaya pada filsafat dan sains pra-modern ini melahirkan dokter-dokter andal seperti Al-Razi dan Ibn Sina, ahli logika dan politik seperti Al-Farabi, dan astronomer seperti Al-Biruni.

Di lain tempat, beberapa Muslim yang juga saleh merasa keberatan dengan lengkapnya penjelasan filsafat. Mereka curiga dan bertanya: Seandainya semua hal bisa dijelaskan oleh filsafat dan sains, maka di mana lagi kegunaan Tuhan, Nabi, dan agama?

Individu-individu berotak cerdas pun mulai serius menanggapi filsafat. Mereka percaya bahwa ajaran Islam pasti cukup mampu dalam menjelaskan alam semesta. Rasa fanatik dan apologetik ini melahirkan perkumpulan teolog seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

Selain untuk menanggapi filsafat, teolog Muslim juga merasa harus turun tangan menghadapi perdebatan teologis dengan agama lain. Anda masih ingat dengan cultural shock yang disinggung di atas, tentang rasa kaget mengetahui adanya umat beragama lain yang cukup beradab dan bermoral selain umat agama kita sendiri?

Baca Juga  Syekh Zakaria, Anak Yatim yang Bersemangat Mencari Ilmu

***

Apakah itu artinya tauhid tidak lebih baik dari trinitas? Siapakah yang benar, Islam, Kristen, Yahudi, atau Majusi? Mewakili Islam, Mu’tazilah naik ke atas panggung lomba debat ini.

Bagaimana caranya supaya juri bisa mengetahui siapa yang menang? Dengan melihat mana yang punya argumentasi yang paling masuk akal. Satu-satunya indikator yang adil dan universal adalah akal; oleh karena itu Mu’tazilah merasa perlu menjelaskan kredo Islam menggunakan perangkat logika dan metafisika.

Siapa yang menang? Tidak ada, karena semua agama juga memakai logika dan metafisika untuk mendukung keyakinannya. Lalu, apa manfaat lomba debat ini? Sangat besar. Mu’tazilah membuat umat Islam percaya bahwa agama mereka itu logis dan masuk akal.

Dari Mu’tazilah ke Asy’ariyah

Ketika Mu’tazilah mulai digemari masyarakat, dan terutama digemari oleh para khalifah yang rasional; nun jauh di sebuah masjid di pelosok Baghdad, duduklah dengan tenang dalam shaf-shaf yang rapi, jamaah kaum Muslim yang taat.

Mereka mendengarkan seorang syaikh, seorang imam, yang menyampaikan hadits-hadits Nabi. Beliau adalah Ahmad bin Hanbal, imam para ahli hadits, orang paling terkemuka di seantero Baghdad. Imam Ahmad tidak menyukai Mu’tazilah. Baginya, Mu’tazilah adalah ahli bid’ah, karena tidak menggunakan hadits dan pemahaman literal dalam menjelaskan Islam.

Mu’tazilah dan ahli hadits saling berebut pengaruh di masyarakat. Ahmad bin Hanbal jelas lebih populer. Ajarannya adalah bahwa Islam sudah sangat sempurna, dan sumber utama keyakinan kita adalah Al-Quran dan hadits Nabi, sehingga tidak perlu pada logika, metafisika, apalagi filsafat dan sains alam.

Logika adalah bid’ah, karena Nabi dan para sahabat tidak pernah menggunakannya. Dosa terbesar adalah bid’ah, karena bid’ah berarti menciptakan ajaran baru dalam sebuah agama yang sudah sempurna dari Allah.

Semakin terdesak, Mu’tazilah kian lama kian tidak mampu menghadapi gugatan ahli hadits. Seorang mantan teolog Mu’tazilah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, maju ke mimbar masjid di Baghdad dan mengumumkan bahwa dirinya bertaubat dari ajaran sesat Mu’tazilah.

Setelah merasa menang debat melawan guru Mu’tazilah-nya, Al-Jubba’i, Al-Asy’ari kini merasa yakin bahwa Rasulullah menugaskan dirinya untuk mengalahkan Mu’tazilah dan memenangkan hadits Nabi atas logika.

Ahli hadits memperoleh pendukung yang sangat kuat. Al-Asy’ari selama puluhan tahun adalah teolog penting di lingkaran Mu’tazilah, dan dia tahu apa kelemahan mereka. Dengan kecerdasan yang diasah puluhan tahun itu, Al-Asy’ari mampu menyusun banyak sekali bantahan atas Mu’tazilah.

Keyakinan-keyakinan dasar Mu’tazilah, seperti: Kekuatan akal untuk mengetahui kebenaran, keadilan Tuhan, dan tidak adanya sifat-sifat Tuhan, dibantah satu per satu oleh Al-Asy’ari baik dengan menunjukkan ayat dan hadits, maupun dengan menggunakan logika dan metafisika.

Seni Apologia yang Paling Disukai

Ilmu kalam adalah cara paling terkenal yang dimiliki oleh umat Islam untuk membela kebenaran agamanya. Inilah inti dari apologia; sebuah usaha menjelaskan bahwa keyakinan kita adalah benar dan masuk akal, sehingga secara logis, seharusnya dianut oleh semua orang.

Baca Juga  Takdir dan Nasib, Apakah Punya Kesamaan Makna?

Namun, seperti yang kita lihat dalam contoh-contoh di atas, mazhab-mazhab dalam Islam sendiri saling bertikai untuk menunjukkan bahwa mazhabnya-lah yang paling benar. Setelah merasa tidak lagi seru meributkan keunggulan Islam atas agama lain, tiba saatnya mereka meributkan keunggulan mazhabnya dari mazhab yang lain.

Keseruan ilmu kalam tidak hanya terjadi antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Semangat utama ilmu kalam adalah debat kata-kata sampai diri kita benar-benar puas menunjukkan bahwa keyakinan yang dipegang kelompok kita lebih benar dari kelompok lain.

Sunni menggunakan ilmu kalam untuk membela keyakinannya tentang keunggulan wahyu di atas akal, tentang wajibnya kita percaya pada sifat-sifat Tuhan, hingga tentang sahnya kepemimpinan seorang Quraisy meski bukan keturunan Ali.

Syiah menggunakan seni apologia kalam untuk membela keyakinan mereka tentang kewajiban pemimpin umat berasal dari keturunan Ali dan Fathimah.

Nafsu untuk terus berapologia ini tidak pernah berhenti, sejak ia pertama kali dicetuskan. Meski secara verbal golongan ahli hadits seperti Ibn Taymiyyah akhirnya bersuara keras menentang metode ilmu kalam, namun karakteristik apologia itu sendiri tidak ia tinggalkan.

Ibn Taymiyyah menolak logika Aristotelian yang dipakai oleh Asy’ariyah, tapi tidak bisa meninggalkan sikap fanatiknya untuk menunjukkan bahwa mazhabnya adalah yang paling sesuai Sunnah, sementara yang lain adalah bid’ah.

Penutup

Kita kembali kepada dilema yang dibicarakan di muka. Sebagai manusia kita sering bingung apakah harus menerima realitas secara apa adanya, atau berusaha mengubah realitas tersebut agar sesuai dengan keyakinan agama kita.

Pada kenyataannya, kita lebih nyaman untuk memilih yang kedua. Karena agama kita sudah pasti benar, maka kita merasa harus menciptakan dunia yang sesuai dengan keyakinan kita.

Namun begitu, ternyata Anda melihat tidak semua orang beragama seperti Anda beragama. Ada banyak orang yang agamanya berbeda, atau mazhabnya berbeda dari Anda.

Sebelum mengubah dunia agar sesuai dengan keyakinan mazhab kita sendiri, Anda mulai berpikir bahwa terlebih dahulu kita harus menunjukkan kebenaran mazhab kita dan kesalahan mazhab orang lain. Lahirlah apologia dalam pikiran Anda. Kita pun mulai mencari-cari argumen untuk apologia tersebut.

Begitulah ceritanya, hingga akhirnya ilmu kalam selalu ada di hati kita semua. Tanpanya, kita merasa sulit untuk mencari-cari keunggulan Sunni atas Syiah (jika Anda seorang Sunni), atau keunggulan Syi’ah atas Sunni (jika Anda seorang Syi’ah), atau keunggulan Mu’tazilah atas keduanya (jika Anda seorang Mu’tazilah).

Tapi, apakah kita tidak mau untuk memilih pilihan pertama dari dilema tadi? Mengapa kita tidak mau menerima kenyataan bahwa agama itu plural, dan berhenti untuk percaya bahwa agama atau mazhab kita lebih benar dari yang lain?

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read
Semua agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada artian lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds