Tafsir

Enam Ciri Tafsir Abad Pertengahan

4 Mins read

Tafsir abad pertengahan dimulai dari abad ke-3 sampai dengan abad ke-16 H. Ciri tafsir pada abad ini salah satunya penafsiran yang lebih sistematis dari masa sebelumnya.

Dalam Sejarah Kebudayaan Islam, abad pertengahan dikenal sebagai zaman kejayaan bagi ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Faktor penyebab kejayaan ini karena perhatian pemerintah terhadap ilmu pengetahuan yang sangat tinggi.

Abad pertengahan sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di mana pemerintah memberikan dukungan penuh terhadap kajian ilmu pengetahuan.

Berbagai cara pemerintah lakukan salah satunya dengan penerjemaahan buku-buku ilmiah yang berasal dari luar yaitu Yunani dan Eropa.

Selain itu, tanda berkembangnya pengetahuan pada era ini ditandai dengan berkembangnya forum diskusi antar ahli cabang ilmu diantaranya filsafat, kalam, dan hadis.

Pada abad pertengahan, tafsir Al-Qur’an mengalami kemajuan. Di mana adanya pembukuan tafsir yang merupakan kebijakan dari khalifah awal Dinasti Abbasiyyah.

Selain pembukuan tafsir, pada masa ini juga terjadi perubahan corak penafsiran Al-Qur’an di mana penafsiran hanya memuat riwayat-riwayat tafsir sesuai dengan urutan ayat-ayat Al-Qur’an.

Orang yang pertama kali menggagas corak ini adalah Ibn Jarir at-Thabari dengan karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an.

Kemudian, adanya forum diskusi antar ahli menyebabkan perdebatan antara mereka yang berujung saling menjelekkan antara kelompok yang bersangkutan.

Mulai dari perdebatan kelompok mutakallimin dengan filsafat. Kelompok kalam dengan ahli hadis dan yang lainya.

Kemudian yang paling mengkhawatirkan bahwa perdebatan ini berujung kepada kekerasan hingga pembunuhan.

Karakter Tafsir Abad Pertengahan

1. Pemaksaan gagasan pribadi kepada Al-Qur’an

Maksudnya bahwa pada zaman ini banyak kitab tafsir dibuat untuk kepentingan sendiri. Sehingga adanya beberapa ayat yang tidak berhubungan dipaksakan kedalam satu konteks.

Sebagai contoh, penafsiran dari al-Jashshash yang menghubungkan Qs. Yusuf: 26 (berbicara tentang pengalaman pribadi Nabi Yusuf) dengan Qs. an-Nisa: 80 (berbicara tentang harta rampasan perang).

Baca Juga  Nabi Yusuf dan Zulaikha: Cinta Pakai Akal atau Pakai Nafsu?

2. Bersifat Ideologis

Maksudnya penafsiran didasarkan kepada paham, aliran atau sekte keagamaan.

Contohnya yaitu pada tafsir Mafatih al-Ghaib karangan Fakhruddin ar-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad terdapat dalam Qs. Al-Fatihah ayat 6-7.

3. Bersifat Repetitif

Umumnya tafsir periode ini menganut sistem mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi Al-Qur’an.

Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu.

Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Di sana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.

4. Bersifat Parsial

Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong. Tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu.

Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabari yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh:

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat, pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron [3] :28).

5. Banyak pengulangan penjelasan

Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat.

Baca Juga  Makna Al-Yamm: Benarkah Nabi Musa Menyeberangi Laut Merah?

Di sana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.

6. Terpisah dengan Hadis

Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum memisahkan secara spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis, pengkodifikasiannya pun belum ada.

Pada periode tengah ini, mulai banyak bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan pembahasan hadis. Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang tidak berhubungan dengan tafsir mereka.

Ketiga karakteristik tersebut secara tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir pada era pertengahan. Hal ini perlu disebutkan, bagi penulis terutama dalam rangka mengurangi taqlid buta yang cenderung dilakukan oleh banyak umat Muslim setelahnya tanpa menggali lebih jauh (mengkritisi) karya-karya tersebut.

Meskipun demikian, pastinya karya-karya tafsir tersebut pernah menjadi “master piece” dalam suatu masa dalam rangkaian sejarah pemahaman Islam dan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan baik pada ini maupun setelahnya, yang artinya hal tersebut masih diterima dengan lapang oleh umat Muslim pada umumnya.

Di samping itu corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari Al-Qur’an.

Tokoh-Tokoh Tafsir Abad Pertengahan

Salah satu hal penting yang perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-tokoh tafsir pada periode pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai aktivitas penafsirannya terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin ilmu tertentu secara khusus di samping keterhubungan erat mereka dengan paham atau mazhab tertentu.

Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni atau madzhab yang ia anut. Al-Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah.

Baca Juga  Khazanah Tafsir Nusantara: Tafsir Al-Ibriz Karya Bisri Mustafa

Ibnu Jarîr ath-Thabarî di samping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah.

Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir di daerah basis kaum Mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh.

Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat.

Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawî yang berusaha merespon pencapaian az-Zamkhsari dan ar-Razi.

***

Dalam wilayah pendukung fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Abû Ḫasan Ilkiyâ al-Harrâsî dari Madzhab Syafi’i(wafat 504 H) yang melahirkan Aḫkâm al-Qur’ân, al-Qurtubî dan al-Qâdhî Abû Bakar Ibn al–‘Arâbî (wafat 543 H) dari Madzhab Maliki, al-Jashshâsh (wafat 370 H ) dari Madzhab Hanafi.

Dari kalangan Ḫanâbilah ada Abû Ya’lâ al-Baghdâdî al-Ḫanbâlî (wafat 832 H) dengan kitabnya yang berjudul al-Tsamarât al-Yâni’ah wa al-Aḫkâm al-Wâdhiḫah al-Qâthi’ah.

Dari kalangan Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah pada akhir abad ke 8 H dan awal abad ke 9 H dengan karyanya Kanz al-Irfâ’ Fî Fiqh al-Qur’ân.

Dari kalangan ilmu rasional dan filosof juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu Fakhr al-Dîn al-Râzî (wafat 606 H) dengan karyanya Mafâtîḫ al-Ghâib atau nama lain Tafsîr al-Kabîr.

Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah Naqshabandiyah.

Dari para ahli kisah atau ahli al-atsar ada Ibnu Khazin dan al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddîn Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.

Editor: Yahya FR

Hadiana Trendi Azami
2 posts

About author
Asrama Tahfidz Mahasiswa Daarul Arqam, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *