IBTimes.ID – Dalam pidatonya yang disampaikan dalam acara Milad Muhammadiyah ke-109, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyampaikan delapan pesan dari nilai utama, nilai yang diusung dalam Milad Muhammadiyah kali ini.
Pertama, Nilai Ketauhidan untuk Kemanusiaan
Menurut Haedar, Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid dalam Islam tidak terbatas menyangkut aspek iman untuk mengesakan Tuhan semata, bersamaan dengan itu tauhid maupun iman dan takwa terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupan.
Ajaran tentang iman dan takwa dalam Al-Qur’an, lanjut Haedar, banyak disandingkan dengan perintah amal saleh dan kebaikan. Allah menegaskan dalam Surah al-Mā‘ūn, orang disebut mendustakan agama karena tidak peduli pada kaum miskin dan anak yatim. Allah memperingatkan, kerusakan di muka bumi akan terjadi bila tidak ada relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min al-nās” (Q.S. Ᾱli ‘Imrān: 112).
Nabi bersabda, “La yu’minu aḥadukum ḥatta yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu li-nafsihi”, bahwa tidak beriman seseorang hingga dia terbukti mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya (H.R. Muslim).
Muhammadiyah memandang relasi antara “ḥablun min Allāh” dan “ḥablun min alnās” itu saling terkoneksi yang harus membuahkan segala wujud kebaikan dalam kehidupan. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiranpertama terkandung pernyataan, “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.”
Sedangkan pada Pokok Pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat”, serta pada Pokok Pikiran keempat dinyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”
Karenanya dari musibah covid-19 dapat dipetik hikmah menguatkan keyakinan kaum beriman bahwa sikap bertauhid meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Opini yang menyatakan “jangan takut kepada virus corona, takutlah kepada Allah”, merupakan pandangan bias dalam memahami tauhid.
Padahal ketakutan kepada Allah (khasyyah) yang bersendikan iman dan taqwa, berbeda sekali dengan ketakutan dalam makna waspada terhadap virus dan hal lain yang mengancam keselamatan diri.
Allah SWT memperingatkan, “wa lā tulqū bi aidīkum ilat-tahlukati wa aḥsinū”, artinya “Janganlah kamu menjatuhkan diri pada kebinasaan dan berbuat-baiklah” (Q.S. Al-Baqarah: 195).
Asghar Ali Engineer sebagaimana Ahmad Amin menempatkan tauhid sebagai sumber nilai pembebasan kaum lemah dan tertindas dalam perspektif “The Theology of Liberation” (Teologi Pembebasan).
Ali Syari’ati secara luas dan mendalam memandang keyakinan tauhid sebagai sumber nilai utama bagi manusia dan alam semesta dalam satu kesatuan (unity). Kehidupan berbasis tauhid adalah realitas yang integral, holistik, monistik, dan universal.
Tauhid itu multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.
Kedua, nilai pemuliaan manusia.
Menurut Haedar, pandemi covid memberikan pembelajaran pentingnya untuk memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan sampai diabaikan, disia-siakan, dan direndahkan.
Berusaha maksimal mengatasi virus corona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik (fī aḥsan altaqwīm) dan harus dihargai dan dijunjungtinggi eksistensinya. Di antara tujuan syariat Islam ialah “menjaga jiwa” (hifẓ al-nafs) sebagai satu kesatuan dengan menjaga agama (hifẓ al-dīn), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga harta (hifẓ al-māl), dan menjaga keturunan (hifẓ al-nasl). Kehilangan satu nyawa sama dengan seluruh nyawa manusia, sebaliknya menjaga kehidupan satu jiwa manusia sama dengan memelihara seluruh manusia (Q.S. Al-Maidah: 32).
Di dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang “Pandangan Keagamaan” (Islam Berkemajuan) ditegaskan bahwa “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia.
Ketiga, Nilai Persaudaraan dan Kebersamaan
Haedar Nashir menyatakan bahwa pandemi ini masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini.
Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan bersabar dan tawakal dalam menerimamusibah. Namun bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan,termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih-lebih yang meninggal dunia.
Karenanya diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama di tengah perasaan satu nasib.
Kondisis darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap bersaudara dan kebersamaan seluruh warga bangsa dengan nilai kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan nilai persaudaraan sebagai berikut: “Barangsiapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.
Keempat, Nilai Kasih Sayang
Ajaran kasih sayang dalam Islam, menurut Haedar Nashir, sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta‘āwun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama.
Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah.
Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr r.a.).
Kelima, nilai tengahan atau moderat
Bagi Haedar, moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari tawāsuṭ, iʿtidāl, tawāzun, dan iqtiṣād yang sangat selaras dengan konsep keadilan, yang mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem.
Moderatsering digunakan secara bergantian dengan istilah “rata-rata,” “inti,” dan “standar,”. Kebalikan dari moderat atau wasaṭiyyah adalah taṭarruf, guluw, yang menunjukkan “kecenderungan ke arah pinggiran” dan dikenal sebagai “ekstrem”, “radikal” dan “berlebihan”. Wasaṭiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis: “Nabi Muhammad adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy”, sebagaimana hadis lain “Khairu al-‘umūr awsaṭuhā”, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan.
Di dalam diktum Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua antara lain disebutkan, bahwa: “Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasaṭiyyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia.
Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 mengembangkan pendekatan wasaṭiyah dengan mengambil langkah berdasarkan pertimbangan “rasionalilmiah” dan “spiritual-rohaniah”. Buya Hamka dalam “Taswuf Modern” menuliskan pesan sikap “tawāzun” atau “tawāsuṭ” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat “al-jubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan.
Keenam, Nilai Kesungguhan Berusaha
Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggungjawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini.
Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihād untuk mengakhirinya. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan (Q.S. AlAnkabut: 69).
Sikap optimis disertai ikhtiar yang bersungguh-sungguh harus menjadi jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan semua orang di negeri ini untuk mengubah keadaan yang buruk dari wabah Corona ke situasi yang lebih baik. Kitalah yang harus mengubah keadaan pandemi ini agar berakhir dengan tetap munajat dan berserah diri pada kekuasan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Optimisme dalam wujud tekad dan ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan umat dan bangsa.
Ketujuh, Nilai Keilmuan atau Ilmiah
Haedar Nashir mengatakan bahwa pandemi ini meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu. Ilmu yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan.
Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus Corona yang mengguncang dunia selama dua tahun ini. Demikian halnya dengan ditemukannya vaksin yang memberikan salah satu jalan untuk memgatasi pandemi ini, meskipun bukan satusatunya jalan.
Fakta tersebut menunjukkan betapa manusia memerlukan ilmu pengetahuan yang harus terus menerus diperbarui, dikembangkan, dan disempurnakan. Ajaran Islam bahkan meniscayakan umatnya agar berilmu dan beriman (Q.S. Al-Mujādilah: 11), serta sebaliknya jangan sampai bertindak tanpa ilmu sebagaimana firman Allah yang artinya
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra: 36).
Kedelapan, Nilai Kemajuan
Pandemi ini meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pasca musibah. Manusia diajari Tuhan dengan berbagai cara.
Musibah boleh jadi merupakan cara Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaan-Nya. Di sinilah pentingnya membangkitkan nilai dan etos kemajuan bagi seluruh manusia atas musibah yang mewabah di seluruh dunia ini.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna.
Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati dengan pandangan yang mendalam, luas, dan multiperspektif. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min Allāh yang terhubung langsung dengan ḥablun min al-nās, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang bermakna.
Untuk mengakses teks pidato lengakapnya, klik di sini
Reporter: Yahya FR