Perlu diketahui penggunaan istilah “Ahlussunnah wal Jama’ah”, tidak pernah mencapai kata sepakat dalam menggambarkan suatu aliran kalam tertentu. Dikarenakan ada banyak golongan yang turut ikut serta dalam mengklaim aliran mereka sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh sebab itu, penulis juga akan menjelaskan asal-muasal penggunaan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dan bagaimana ciri khas dari pemikiran akidah Ahlussunnah wal Jamaah itu sendiri.
Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah
Pada penggunaan kata Ahlussunnah wal Jama’ah atau yang lebih dikenal dengan istilah Ahlussunnah, Aswaja, atau Sunni yang merupakan sebuah julukan yang disematkan kepada golongan atau kelompok umat Islam yang mengikuti ajaran dan keteladanan nabi Muhammad SAW. Jadi dapat disimpulkan golongan tersebut merupakan para sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya yang bersepakat dan memiliki prinsip untuk tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedangkan dalam kajian fiqih kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni) merujuk kepada empat imam madzhab yaitu imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Sejarah Berdirinya Ahlussunnah wal Jamaah
Dalam kajian ilmu kalam Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan kepada kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dikarenakan dua kelompok ini yang menentang kelompok Khawarij dan Jabariyah yang dianggap terlalu tekstual dan kelompok Qodariyah dan Mu’tazilah karena dianggap pemikirannya terlalu liberal.
Istilah Ahlu Sunnah wal Jama’ah sendiri, pertama kali diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud.
Artinya: Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahwa ia berdiri di hadapan kami dan berkata, “Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami dan berkata, ”Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlul kitab telah terpecah menjadi tujuh puluh dua ajaran, dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan akan berada di neraka dan satu golongan akan berada di surga, yaitu Al Jama’ah.” (H.R. Abu dawud dan Ibnu Majah)
Dalam keterangan lain juga dijelaskan bahwa, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah mulai dikenal luas sejak berdirinya dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh seorang tokoh dari golongan Mu’tazilah dan menjadikan paham Mu’tazilah sebagai madzhab pemerintah yang harus diikuti oleh semua rakyatnya.
Pada era kepemimpinan Mu’tazilah, pemerintah mulai bertindak sewenang-wenang. Dengan cara memaksa semua orang, termasuk para pejabat dan tokoh agama yang tidak sepaham dengannya untuk mengakui dan mengikuti paham Mu’tazilah dan jika mereka menolak ajaran Mu’tazilah maka mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Pada saat itu banyak sekali para ulama’ yang mendapatkan siksaan dari kaum Mu’tazilah dan salah satu imam besar yang tak luput dari siksaan kaum Mu’tazilah adalah imam Ahmad bin Hanbal, karena beliau tetap konsisten terhadap ajarannya. Sehingga muncullah kelompok “Ahlussunnah wal Jama’ah”, yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan dan ajaran Mu’tazilah.
Pemikiran Akidah Ahlussunnah wal Jamaah
Secara umum pemikiran aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah tidak berbeda jauh dengan pemikiran akidah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di mana dalam pemikirannya menganggap Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, Nabi Muhammad memberikan syafaat pada hari kiamat, Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal semata, manusia hanya bisa berusaha dan Tuhanlah yang menentukannya, sifat-sifat Tuhan seperti qudrat, iradat, dan lain sebagainya.
Menurut Al-Baghdadi yang termasuk golongan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:
1. Orang-orang yang memahami dengan benar tentang permasalahan ketauhidan, kenabian, hukum janji dan ancaman, pahala dan siksa, syarat ijtihad, imamah dan pimpinan umat dengan mengikuti metode aliran mutakallimin.
2. Imam-imam dalam fiqh, baik dari ahl ar-ra‘y maupun dari ahl al-hadis, yang menganut madzhab shifatiyyah dalam persoalan pokok agama, mengenai zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya yang azali, menjauhkan diri dari paham Qadariyyah dan Mu’tazilah
3. Mengikuti ajaran dari khulafaur rosyidin; Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Serta mengikuti salah satu ajaran pokok di antara empat imam madzhab dan menghargai jika ada perbedaan pendapat di antara empat imam madzhab; Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.
4. Orang-orang yang mengetahui dan memahami sanad dan jalur periwayatan hadis, serta atsar-atsar yang datang dari Rasulullah SAW.
5. orang-orang yang mengetahui berbagai macam qiraat al-Qur‘an dan tafsir ayat-ayatnya serta pena‘wilannya yang sesuai dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
6. Ahli zuhud dan golongan tasawuf yang giat beramal dengan tidak banyak bicara, menepati ketauhidan dan meniadakan tasybih, serta menyerahkan diri kepada Tuhan.
7. orang-orang yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum muslimin untuk menjaga keamanan negeri Islam dan mempertahankannya serta menyebarkan madzhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Hubungan Akal dan Syara’
Mengenai hubungan syara’ (hukum islam) dengan akal aliran aswaja berpendapat bahwa, di antara keduanya tidak dapat dipisahkan, dikarenakan antara hukum syariat islam dan akal saling terkait satu sama lain. Di mana semua kewajiban agama hanya dapat diketahui melalui informasi dari dalil-dalil syara’ sedangkan fungsi akal adalah memperkuat dalil-dalil hukum syara’ dan bukan sebagai dasar hukum. Sehingga jika digabungkan, maka akan dapat mengantar pada hakikat-hakikat yang dikandung oleh dalil-dalil syara‘.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pokok pemikiran akidah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah harus dilandasi oleh dalil dari dari Al-Qur‘an, hadits, ijma‘ ulama, dan argumentasi akal sehat yang memperkuatnya. Demikian yang dapat penulis sampaikan tentang sejarah dan pemikiran akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Wallahu A’lam Bishawab
Editor: Nabhan