Sampai detik ini, diskursus Bank Syariah dengan Bank Konvensional nampaknya masih belum menunjukkan tanda akan berakhir. Akar persoalannya terletak pada sistem perhitungan yang digunakan oleh masing-masing.
Bank Konvensional menghitung keuntungan didasarkan pada tingkat suku bunga. Sementara Bank Syariah menghitung keuntungan berdasarkan tingkat margin atau bagi hasil yang disepakati bersama.
Harusnya, terbitnya fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah) dapat mengakhiri polemik yang terjadi antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. Akan tetapi, beberapa kalangan masih senang untuk terus memperdebatkan keduanya.
Bahkan, tidak sedikit pula menghardik Bank Syariah yang tidak murni 100% syariah, namun lebih memilih Bank Konvensional sebagai alat transaksi dengan dalih berbagai fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan.
Tentu hal ini tidak boleh terus berlanjut, dan harus segera diredam agar semuanya sama-sama paham dan maklum tentang karakteristik masing-masing sistem yang digunakan.
Tulisan sederhana ini hendak memaparkan secara singkat tentang bagaimana hasil-hasil kajian yang telah banyak dilakukan oleh para peneliti guna menjawab diskursus sistem bungan dan margin.
Praktik Ekonomi Islam
Praktik ekonomi Islam sejatinya adalah sebuah proses islamisasi ekonomi. Artinya, praktik-pratik ekonomi yang belakangan hadir di tengah-tengah masyarakat dengan sistem konvensional didampingi oleh nilai-nilai luhur Islam agar tetap berada pada jalur yang benar dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah.
Oleh karena itulah transaksi dalam ekonomi Islam memiliki landasan filosofis. Tidak semata mencari nilai keuntungan yang bersifat materi saja, namun ada motif lain yang harus tetap dijaga, yaitu tauhid, syariah dan akhlak (Muhamad Takhim and Hery Purwanto, “Filsafat Ilmu Ekonomi Islam,” Syariati : Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum 4, no. 01 (2018): 105–114).
Bunga dalam Persepktif Ekonomi Islam
Bunga dalam ekonomi Islam digambarkan sebagai sistem riba yang diharamkan. Sementara, margin yang ditawarkan oleh sistem syariah adalah akad jual beli yang diperbolehkan. Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2): 275: “padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Bunga dan margin memang selalu menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Kajian ini hadir dalam perspektif yang berbeda, yaitu dengan menggunakan pendekatan filsafat ekonomi Islam.
Maka menyamakan margin dengan bunga jelas tidak dapat dibenarkan begitu saja. Sebab, motivasi utama dalam transaksi ekonomi Islam adalah tercapai kemaslahatan bagi semua pelaku transaksi.
Bunga dan margin secara kontribusi dalam mendatangkan keuntungan bagi bank dapat dibenarkan. Sebab, keduanya dikalkulasi untuk memberikan manfaat dalam bentuk revenue bagi bank yang nantinya akan kembali kepada nasabah dalam bentuk bunga (bank konvensional) dan bagi hasil (bank syariah). Filsafat ekonomi Islam menjadikan tauhid, keadilan dan kemaslahatan (Burhanuddin Al-butary, “Konsep Murabahah Dalam Diktum Filsafat Ekonomi Islam,” HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 8, no. 1 [2021]: 1 – 60) sebagai pondasi dalam melakukan transaksi. Ketiganya tentu tidak akan didapati dari transaksi konvensional yang berbasiskan bunga.
Bunga dibebankan kepada debitur tanpa memperhatikan berbagai aspek. Seperti kondisi usaha dan kondisi ekonomi. Bank sebagai kreditur tetap menerima bunga sebagai bentuk pengembalian dari debitur, meskipun kondisi ekonomi atau kondisi usaha sedang terguncang. Maka, ini yang disebut tidak ada prinsip keadilan dan kemaslahatan dalam sistem bunga.
Pandangan Islam tentang Bunga Bank
Pandangan Al-Ghazali, yang dikenal sebagai salah filsuf muslim terkemuka tentang bunga telah menyebutkan bahwa pembebanan bunga untuk sebuah transaksi telah mutlak dilarang oleh agama. Sebab, bunga telah membelokkan fungsi uang yang sebenarnya yaitu sebagai alat tukar dan pengukur nilai (Abdul Adhim Islahi, “An Analytical Study of Al-Ghazali’s Thought on Money and Interest,” Internat ional Conference on al-Ghazal i ’s Legacy: Its Contemporary Relevance, no. 41438 (2001): 1–13).
Pembelokkan fungsi uang inilah yang kemudian melahirkan konsep bunga yang menjadikan uang sebagai sebuah komoditas. Dasarnya adalah pemberlakuan nilai waktu dari uang (time value of money). Padahal, Islam tidak mengenal nilai waktu dari uang karena waktu tidak dapat menjadi satu-satunya pertimbangan untuk kelebihan jumlah yang diklaim dalam pertukaran (Paldi, 2014).
Lalu apakah margin memiliki sifat yang sama dengan bunga? Jika acuannya pada sistem ekonomi Islam, maka perhitungan margin harus mempertimbangan aspek tauhid, keadilan, dan kemasalahatan.
Keadilan dan kemasalahatan harus mencakup kedua belah pihak yang bertransaksi. Oleh karenanya, istilah pembiayaan digunakan untuk transaksi penyediaan dana pada lembaga keuangan syariah. Tidak lagi menggunakan istilah kredit yang notabene berarti memberikan pinjaman berupa utang. Pembiayaan murabahah seperti yang dijelaskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 berarti transaksi jual beli dalam bentuk piutang, maka bertindak sebagai penyedia barang yang kemudian akan dijual kepada debitur dengan jumlah harga pokok dan margin yang disepakati. Kesepakatan ini yang kemudian harus adil dan maslahat, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Bunga dan margin jelas memiliki perbedaan, keduanya tidak cukup memiliki korelasi yang kuat dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan, artinya bahwa bunga tidak mempengaruhi tingkat perhitungan margin (Ekawati & Shofawati, 2019; Hutapea & Kasri, 2012).
***
Pandangan yang mempersamakan bunga dan margin lebih dialamatkan kepada tingginya tingkat margin dibandingkan dengan bunga, hal ini disebabkan karena ukuran bank, kecukupan modal, risiko likuiditas, biaya overhead dan pengembangan kelembagaan bank syariah (Nurhafiza Abdul Kader Malim and M. K. Normalini, “Factors Influencing the Margins of Islamic Banks,” Global Business Review 19, no. 4 (2018): 1026–1036).
Oleh karenanya bank syariah didorong untuk meningkatkan daya saing dengan tingkat margin yang tidak terlalu tinggi dari bunga, maka diperlukan adanya efisiensi dari beberapa biaya yang timbul dalam menetapkan tingkat margin tersebut Ibid..
Seyogyanya bunga dan margin merupakan dua istilah yang berbeda dalam aplikasinya, dan tidak memiliki korelasi atau hubungan yang kuat antara kedunya. Bunga didasarkan pada perhitungan tetap sebagai bentuk pengembalian dari sebuah perjanjian utang, sementara margin ditetapkan atas dasar perhitungan keuntungan yang memiliki aspek tauhid, keadilan dan kemaslahatan. Agar margin tidak selalu diidentikkan dengan bunga, maka perhitungannya senantiasa harus mengedepankan efisiensi biaya yang timbul dari transaksi tersebut.
Referensi
Al-butary, Burhanuddin. “Konsep Murabahah Dalam Diktum Filsafat Ekonomi Islam.” HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 8, no. 1 (2021): 1 – 60.
Ekawati, Khiaroh, and Atina Shofawati. “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT MARGIN MURABAHAH PADA INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH PERIODE 2012-2017.” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam (Journal of Islamic Economics and Business) 5, no. 1 (2019): 50.
Hutapea, Erwin Gunawan, and Rahmatina Awaliah Kasri. “Bank Margin Determination: A Comparison Between Islamic and Conventional Banks in Indonesia.” SSRN Electronic Journal (2012).
Islahi, Abdul Adhim. “An Analytical Study of Al-Ghazali’s Thought on Money and Interest.” Internat ional Conference on al-Ghazal i ’s Legacy: Its Contemporary Relevance, no. 41438 (2001): 1–13.
Malim, Nurhafiza Abdul Kader, and M. K. Normalini. “Factors Influencing the Margins of Islamic Banks.” Global Business Review 19, no. 4 (2018): 1026–1036.
Paldi, Camille. “Understanding Riba ( Interest ) and Gharar ( Uncertainty ) in Islamic Finance.” Journal of Islamic Banking and Finance 2, no. 1 (2014): 249–259.
Takhim, Muhamad, and Hery Purwanto. “Filsafat Ilmu Ekonomi Islam.” Syariati : Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum 4, no. 01 (2018): 105–114.
Editor: Yahya FR