Falsafah

Scientia Sacra: Gagasan Seyyed Hossein Nasr

4 Mins read

Oleh: Azaki Khoirudin

Kredibilitas Seyyed Hossein Nasrsebagai intelektual dan akademisi di kenal di dunia internasional. Siapapun yang menekuni kajian sains Islam akan mengenal sosok ini.

Nasr pernah datang ke Indonesia, Juni 1993, atas undangan Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan penerbit Mizan. Di sini Nasr memberi tiga ceramah dengan topik berbeda, (1) tentang ‘Seni Islam’ sekaligus peluncuran buku Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung, Mizan, 1993), (2) tentang ‘Spritualitas, krisis dunia modern dan agama masa depan’, (3) tentang ‘filsafat perenial’.

Karena itu, tulisan ini hendak menjelaskan gagasan penting sosok ini, yaitu Scientia Sacra.

Mengenal Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 April 1933, di kota Teheran, Iran, negara tempat lahirnya para sufi, filosofi, ilmuwan dan penyair muslim terkemuka. Pendidikan dasarnya diperoleh secara informal dari keluarga dan secara formal pendidikan tradisional di Teheran. Di lembaga ini, ia mendapatkan pelajaran menghafal al-Quran dan menghafal syair-syair Persia klasik.

Pendidikan tingginya ditempuh di Amerika di Massachusetts Institutof Technologi(MIT), di sana berhasil mendapatkan diploma B.S. (Bachelor ofScience)dan M.A. (Master of Art) dalam bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan dirinya. Ia melanjutkan ke Universitas Harvard menekuni History of Science andPhilosophy, diperguruan tinggi ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.d (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.

Setelah memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang sejarah sains dan filsafat Islam dari Harvard University, pada tahun 1958, Nasr kembali ke Iran. Di sini ia lebih mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak diskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti Thabathaba’i, Abu Hasan al-Qazwini, dan Kazin Asar.

Dalam kegiatan akademik, Nasr mengajar di Universitas Teheran, menjadi dekan fakultas sastra pada lembaga yang sama tahun 1968-1972,[1]dan pada tahun 1962-1965 ia diangkat sebagai profesor tamu pada Harvard University. Ia juga sarjana yang menduduki pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies yang baru dibentuk di American University of Beirut (1964-1965).

Baca Juga  Kebangkitan Islam (2): Mulai dari Politik Islam

Pada tahun 1975- 1979 Nasr menjadi direktur Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang didirikan dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk memajukan pendidikan dan kajian filsafat. Nasr berhasil dalam tugas ini sehingga ia diberi gelar kebangsaan oleh Syah.

Gagasan Scientia Sacra

Titik tolak pemikirannya didasari atas  konsep dua hal: Pertama, adalah kritiknya terhadap modernitas, Kedua,karena fokus awalnya keilmuannya adalah “fisika” maka Nasr sangat mencintai “nature (alam)”.  Menurut Nasr pemahaman alam itu dibangun atas nalar modernisme.  ”.

Nasr memiliki konsep tentang scientia sacra. Menurut Nasr, scientia sacra adalah pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu dan ia adalah pusat lingkungan inti yang meliputi dan menentukan “tradisi”.

Ada dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menyelimuti iluminasi (cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung,dapat dirasakan dan dialami, atau dalam  tradisi Islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri(ilmu yang hadir)”

Menurut Nasr, scientia sacra pada dasarnya adalah metafisika itu sendiri. Istilah ini dapat disebut sebagai puncak sains tentang “Yang Real”. Metafisika dalam pengertian bahasa Timur seperti prajna, jnana(dalam tradisi Hindu) dan ma’rifat atau hikmah(dalam tradisi Islam) sebagai sains paripurna tentang “Yang Real”. Dalam pengertian ini hikmah (metafisik) identik dengan scientia sacra.

Scientia sacramemandang semua yang ada pada dasarnya adalah refleksi dari Yang Real. Hipostase Ilahiatau Kemutlakan Tertinggi direfleksikan dalam lima kondisi eksistensi. Pertama, dalam ruang sebagai perluasan yang secara teoritik tidak terbatas. Kedua,dalam waktu sebagai durasi yang secara logis tidak berakhir. Ketiga, dalam materi, sebagai eter yang merupakan prinsip baik materi maupun energi yang menandakan ketidakterbatasan substansialitas material. Keempat, dalam bentuk sebagai kemungkinan tak terbatas keanekaragaman, dan kelima,dalam rangka, sebagai ketakterbatasan kuantitas.

Di Barat, kajian metafisik ditarik hanya ke wilayah ontologis yang menafikan intuisi intelektual sebagai jalan yang mendalam dalam membayangkan realitas ini. Padahal jauh sebelum itu, seorang filosof muslim, Suhrawardi, telah mengawinkan filsafat dengan pengalaman spiritual. Baginya, pengalaman spiritual yang membuat pengalaman tentang “Wujud” tidak hanya mungkin, tetapi sumber bagi semua spekulasi filosofis berkenaan dengan konsep dan realitas Wujud.

Baca Juga  Postmodernisme dan Kehidupan Masa Sekarang

Scientia sacramemunculkan pengetahuan unitif, yang melihat dunia tidak sebagai ciptaan yang terpisah, tetapi sebagai manifestasi melalui simbol dari setiap pancaran aksistensi pada sumber, yang tidak meniadakan keagungan trensedensi.

Scientia sacra tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemanfaatan yang tepat terhadap intelegensi yang terdapat dalam diri manusia. Meskipun intelek memancar di dalam diri manusia, tetapi ia terlalu jauh bergerak dari sifat primordialnya, sehingga tidak  mampu menggunakan secara penuh karunia Ilahi ini bagi dirinya sendiri. Ia membutuhkan wahyu, yang dengannya dapat mengaktualisasikan intelek dalam dirinya sendiri.

Scentia sacra akan diperoleh ketika tiap manusia adalah seorang Nabi dan ketika intelek berfungsi dalam diri manusia secara natural, maka ia akan melihat segala sesuatu in divinisdan memiliki pengetahuan langsung tentang karakter suci sepanjang masa. Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari pantulan sinar matahari.

Pemikiran modern memandang bahwa ilmu pengetahuan hanyalah realitas empirik, namun Hosen Nasr memandangkeseluruhan realitas dari yang eksternal hingga yang paling internal. Menurutnya. berbagai realitas itu dipadukan dalam kalimat tauhid la ilaha ilia Allah(tiada tuhan selain Allah) sebagai konsep dasar Islam. Makna terdalam dari kalimat tersebut adalah tidak ada wujud (realitas) selain wujud Tuhan.

Ia melanjutkan, bahwa kehadiran Ilahi itu dapat disederhanakan dengan membaginya ke dalam lima keberadaan (al-hadharat. al-Ilahiyah al- Khamsah) untuk menggambarkan hierarki seluruh realitas dalam urutan menurun: (1) kehadiran hakikat ilahiyah, esensi Tuhan (hahut); (2) keberadaan nama dan sifat Tuhan (lahut); (3) kehadiran malaikat (jabarut); (4) keberadaan psikis dan manifestasi halus, disebut juga dunia perantara (malakut); dan (5) keberadaan fana atau dunia fisikal (nasut).

Baca Juga  Filsafat Mengajarkan Beragama dengan Pikiran, Bukan Kekonyolan

Keberadaan hakikat Ilahiah, adalah wujud yang tidak dapat dikenal dan tidak dapat dijangkau oleh apapun, kecuali Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Ia absolut murni.

Doktrin keesaan (tawhid) adalah formulasi metafisikal yang paling mendalam. Ia mempunyai berbagai aspek dan tingkat pengertian: pertama, penekanan pada karakter kesementaraan dan ketaksubstansialan segala sesuatu selain Allah dan dengan mengikuti urutan ciptaan: yang material adalah yang paling tidak permanen; Kedua, penekanan pada “sesuatu yang lain” sehingga realitas tertinggi menekankan pada kebenaran bahwa Allah sepenuhnya berada di atas seluruh pemikiran dan pengertian awam tentang makna istilah kata “ilah” dalam formulasi di atas.

Dengan mengikuti terminologi Al-Qur’an, Nasr mengemukakan empat kualitas dunia tertinggi: awal, akhir, zhahir, dan bathin, yang satu sama lain bersifat komplementer.

Dua sifat Ilahi pertama, yang Awal dan yang Akhir, bersesuaian dengan kepercayaan waktu di dunia atas asal Ilahi. Tuhan Yang Awal berarti bahwa seluruh realitas berasal dari-Nya, sedangkan Tuhan Yang Akhir berarti semua realitas akan kembali kepada-Nya. Dengan kata lain, Ia adalah asal sekaligus tujuan. Dan, dua sifat Ilahi berikutnya, Yang Zhahir dan Yang Bathin, berhubungan dengan ruang. Tuhan Yang Zhahir dan Yang Bathin berarti Yang mencakup segalanya .

Scientia Sacra membuka tatanan alam dan sekat-sekat Kimia, Fisika, Matematika, Biologi dan lain-lain. Inilah yang menjadi dasar pembentukan “human spiritual”. Jadi manusia adalah pusat dari pengembangan pengetahuan (central  of man) disertai dengan kecerdasan ilahisebagai orientasi perennial. Bahwa yang terjadi di dunia ini adalah menurut hukum alam (cosmic low), serta bersatu dalam kesatuan eksistensi kehidupan (unity of existens)

Nasr berupaya menemukan kembali (rediscovery) tentang alam. Karena wajah alam terlalu positivistic-modernis. Nasr kemudian manawarkan kembali kepada Kalam (Monitheistic of God). Artinya, bagaimana praktik keilmuan itu berbasis pada tauhid.

Nars adalah serorang tradisionalis, yang sudah barang tentu kehadirannya menjadi angin sejuk Kapitalisme Barat. Inilah yang menjadi pondasi “spiritualitas” dalam pembangunan peradaban, sosial, politik, sain dan ekonomi.

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds