Artikel ini mengupas benang merah Essenes dan umat Islam. Merupakan kelanjutan artikel yang berjudul Sekte Essenes dan Keganjilan Injil Thomas.
Lalu, Siapakah Faimiyyun? Dalam Sirah Ibnu Ishaq dikisahkan bagaimana karakteristik dan kehidupan pengikut setia ajaran Nabi Isa Al-Masih ini. Faimiyyun adalah seorang pertapa yang berbudi luhur. Doa-doanya selalu dikabulkan oleh Tuhan.
Di samping itu, dia memiliki kemampuan mengobati berbagai penyakit. Konon, Faimiyyun bekerja sebagai kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada setiap hari Ahad dia berhenti bekerja secara total.
Penindasan Umat Nasrani di Najran
Pada suatu ketika, Faimiyyun pergi ke tanah Arab. Dia diserang oleh sekelompok penyamun dan dijadikan sebagai budak yang diperjual-belikan. Faimiyyun dijadikan sebagai budak oleh seorang Arab di Najran.
Tuannya menanyakan perihal agama yang dianut oleh budak ini. Dikatakan bahwa agamanya adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Faimiyyun menasehati orang-orang supaya tidak melakukan penyembahan terhadap “pohon kurma.”
Dalam sebuah kisah, orang-orang menguji kebenaran atas keyakinan Faimiyyun dengan memerintahkan supaya dia menghancurkan “pohon kurma” yang menjadi berhala mereka. Jika Faimiyyun bisa menghancurkan pohon kurma tersebut, sebagai taruhannya, mereka bersedia berpindah keyakinan.
Seperti mukjizat, setelah Faimiyyun berdoa kepada Tuhan-Nya, maka pohon tersebut diterjang angin hingga roboh dan hancur. Mulai saat itu orang-orang Najran memeluk agama Nasrani. Akan tetapi, setelah Yaman dikuasai oleh Dzu Nuwas yang memeluk agama Yahudi, orang-orang Nasrani di kawasan ini selalu mendapat penyiksaan dan perlakuan kasar.
Puncak penindasan terhadap kaum Nasrani di Yaman, khususnya di kawasan Najran, ketika Dzu Nuwas mengumpulkan kaum Nasrani dan memaksa mereka supaya mengingkari ajaran-ajaran Nasrani. Gagal memaksa mereka, dengan amat biadab, raja Himyar ini membakar kaum Nasrani hidup-hidup. Kisah ini kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Buruj ayat 4-8.
Tanah Najran telah menyaksikan betapa teguh keimanan orang-orang Hawariyyun dalam meyakini ajaran monoteisme samawi otentik. Mereka rela dibakar hidup-hidup oleh Dzu Nuwwas dan para pejabat tinggi Yaman beserta para rahib Yahudi (Sekte Saduki).
Akan tetapi, pada peristiwa ini, Tuhan membalas keimanan orang-orang Hawariyyun dengan balasan setimpal. Kepada para pejabat tinggi Yaman, mereka ditimpa azab yang menyedihkan. Mereka inilah yang dalam Al-Qur’an dikenal sebagai Ashab Al-Uhdud.
Benang Merah Essenes dan Umat Islam
Jika para teolog Nasrani meyakini bahwa sekte Essenes sebagai kaum Judeo-Kristen, maka kaum Hawariyyun merupakan cikal-bakal komunitas Muslim di Madinah. Nabi Muhammad saw, sebagaimana para nabi sebelumnya, mendapat amanat untuk menyampaikan risalah dari langit.
Risalah kenabian Muhammad saw bukanlah ajaran baru, melainkan penyempurna dari ajaran-ajaran langit sebelumnya. Nabi Muhammad saw juga tidak menafikan ajaran-ajaran langit sebelumnya, seperti yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim (Hanif), Musa (Yahudi), dan Isa Al-Masih (Nasrani).
Sekalipun demikian, kenabian Muhammad saw bertujuan untuk meluruskan kembali ajaran-ajaran monoteisme samawi yang telah terkontaminasi oleh tradisi-tradisi paganistik. Di Makkah, Muhammad saw bertugas meluruskan ajaran Hanifiyyah yang telah terkontaminasi oleh budaya-budaya pagan dari Romawi dan Persia.
Di Madinah, pasca Hijrah Agung (622 M), Muhammad saw berhasil membangun sebuah peradaban baru berasaskan ajaran monoteisme samawi otentik. Kepada seluruh suku di sekitar jazirah Arab, Muhammad saw mengajak untuk kembali kepada ajaran para nabi terdahulu. Termasuk ketika Nabi saw mengutus delegasi kepada kaum Nasrani di Najran.
Nabi Muhammad saw menunjukkan kepada kaum Nasrani di Najran bahwa keyakinan mereka dalam memahami peran dan posisi Nabi Isa Al-Masih adalah keliru. Kitab Injil juga telah diselewengkan oleh para generasi pasca 12 murid Isa Al-Masih. Sehingga subtansi ajarannya semakin menjauh dari konsep monoteisme samawi.
Perdebatan Yahudi dan Nasrani
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dari Sa’id yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas dijelaskan. Ketika orang-orang Nasrani dari Najran menghadap kepada Rasulullah saw, bersama mereka para rahib Yahudi. Mereka (Yahudi dan Nasrani) justru berdebat di hadapan Rasulullah saw.
Seorang Nasrani bernama Rafi’ bin Khuzaimah berkata: “Kamu tidak berada pada jalan yang benar, karena menyatakan kekufuran kepada Nabi Isa dan kitab Injilnya.”
Kemudian orang Yahudi membantah: “Kamu pun tidak berada di atas jalan yang benar, karena menentang kenabian Musa dan kufur kepada Taurat.” Peristiwa ini kemudian menjadi asbab an-nuzul surat Al-Baqarah ayat 113.
Lewat firman Allah swt ini, sesungguhnya telah jelas bahwa perselisihan antara kaum Yahudi dan Nasrani tidak pernah bisa dipertemukan kembali. Mereka tetap bersikukuh pada keyakinan masing-masing, sekalipun pada mulanya kedua agama ini bersumber dari ajaran yang sama.
Sebuah peristiwa yang cukup penting ketika utusan kaum Nasrani Najran berdebat dengan Nabi saw dalam memahami peran dan posisi Nabi Isa Al-Masih. Kaum Nasrani tetap bersikukuh pada keyakinan mereka, sementara Nabi saw berusaha menunjukkan kekeliruan mereka. Kepada mereka, Nabi saw menantang dengan cara mubahalah (Qs. Ali Imran/3: 61).
Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa dengan bersungguh-sungguh agar Allah swt menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta atau bertahan di atas kebatilan. Menghadapi tantangan ini, kaum Nasrani justru tidak berani meladeninya.
Pengakuan Kenabian Muhammad SAW
Peristiwa mubahalah ini dapat menjadi sebuah indikasi bahwa sesungguhnya kaum Nasrani Najran telah membenarkan kenabian Muhammad saw. Pada akhirnya, orang-orang Nasrani di kawasan Najran dapat menerima kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sebagai ajaran kesempurnaan dari para nabi sebelumnya.
Dengan bukti-bukti arkeologis berupa penemuan manuskrip kuno di Nag Hamadi (1945), yaitu penemuan Injil Thomas, kabut yang menutupi sejarah agama Nasrani telah terungkap. Dilengkapi dengan penemuan manuskrip kuno di tepi Laut Mati (1947) semakin mempertegas keyakinan kita bahwa pada dasarnya ajaran monoteisme samawi (tauhid) yang disampaikan oleh para nabi, pada subtansinya, merupakan sebuah mata rantai yang tidak terputus.
Sekte Essenes di Qumran (Mesir), Kaum Hawariyyun di Najran (Yaman), dan umat Islam di Madinah (Arab), dengan karakteristik dan tradisi masing-masing, ternyata dapat menjadi mata rantai penghubung atau estafet tradisi monoteisme samawi pasca Nabi Musa.
Kesamaan Keyakinan Agama Monoteisme
Sekalipun tidak dapat dikatakan sama persis, tetapi dari karakter dan tradisi masing-masing dapat ditemukan benang merah yang menjelaskan bahwa keyakinan monoteisme samawi (tauhid). Sekalipun telah melewati beberapa generasi, namun subtansi ajaran-ajarannya tidak berseberangan.
Bahkan, ajaran-ajaran monoteisme samawi terus mengalami penyempurnaan setelah memasuki generasi baru. Puncak ajaran monoteisme samawi ketika datang nabi akhir zaman di tanah Arab lewat kenabian Muhammad saw, sebagaimana telah diwartakan oleh Isa Al-Masih (Qs. Ash-Shaff [61]: 6).