Secara hakikat, tujuan ibadah haji ialah mencapai derajat “ulul albab”. Hal ini sebagaimana QS Al-Baqarah: 198, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Secara fikih Arafah dalam ayat adalah padang Arafah, tempat untuk wukuf. Secara hakikat, Arafah adalah tempat mengenal Allah, yaitu di dalam qalbu. Hal ini berarti padang Arafah (padang pengenalan) itu adalah “qalbu orang beriman”. Tugas manusia adalah berdzikir mengingat Allah. Tujuan haji di sini. Itu kenapa inti haji adalah Arafah.
Di Arafah kita melakukan wukuf, yang artinya diam. Wukuf secara hakikat adalah di padang pengenalan, yaitu di qalbu diri sendiri. Makanya orang yang mengingat Allah dari berdiri dan berbaring disebut Ulul Albab, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka,” (QS. Ali Imran: 191).
Bagaimana mengamalkan wukuf dalam kehidupan sehari-hari? Wukuf adalah diam. Secara hakikat, wukuf adalah diamnya pikiran. Bukan diamnya badan, tapi diamnya pikiran. Mikir masa lalu (kesedihan), dan masa depan (harapan). Wukuf diamnya diri kita di puncak kesadaran murni. Wukuf secara jasad dilakukan di padang Arafah, secara hakikat dilakukan di(padang pengenalan “qalbu”. Hadiah wukuf ini adalah “mengingat Allah”, sehingga menjadikan diri kita tenang, (antheng, sakinah).
Wukuf dalam kehidupan sehari-hari dapat dimaknai sikap tenang menghadapi segala sesuatu. Orang yang wukuf secara hakikat dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan dirinya tenang, tidak mudah panik, apalagi marah dan baperan. Apapun masalah yang terjadi di luar dirimu, yang terjadi di luar diri kita, kita hadapi dengan penuh ketenangan jiwa, kejernihan pikiran dan sikap kesabaran. Diam, tidak mudah marah di tengah gejolak kehidupan itu sejatinya wukuf. Kita senantiasa ikhlas dan tenang di situasi yang tidak nyaman itu wukuf secara hakikat.
Dengan demikian, bagi orang yang wukuf jiwanya tenang menghadapi gejolak kehidupan. Dalam memutuskan sesuatu tenang, penuh pertimbangan, tidak tergesah-gesah, sehingga melahirkan kearifan keputusan (ulul albab). Kita juga menjadi hamba yang tidak gampang goyah dengan tarikan-tarikan dan dorongan-dorongan berbuat keburukan.
Sebaliknya, tetap konsisten menebar rahmat (cinta yang memberi kebaikan nyata) bagi manusia, tumbuhan, binatang dan segenap makhluk di alam semesta dengan nilai-nilai kesetaraan, kemuliaan, dan keadilan sebagaimana inti pidato Arafah. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kehidupan baik yang dicirikan damai, bahagia, dan sejahtera.
Editor: Soleh