Simpangsiur kegunaan masjid menjadi dilema tersendiri di tahun-tahun politik. Pasalnya, masjid yang biasanya digunakan sebagai pusat peribadatan dan ilmu pengetahuan, secara tiba-tiba dialihfungsikan sebagai tempat untuk kampanye politik. Namun demikian, apakah hal ini tidak menciderai sakralitas sebuah masjid?
Dalam bahasa Arab, kata masjid berasal dari kata sajada-yasjudu-sujûdan yang menandakan adanya perasaan patuh, tunduk, dan penuh hormat. Hal ini menunjukkan bahwa masjid adalah tempat dimana seorang muslim melakukan ibadah mereka dengan penuh keataan dan kepatuhan kepada Yang Maha Kuasa.
Dari sini, sangat tidak pantas jika hal-hal yang dapat membawa pada persangketaan ditempatkan di masjid, karena masjid adalah tempat untuk mencapai kataatan yang hakiki hingga sampai pada kedamaian batin, bukan tempat untuk persengketaan antar kelompok tertentu yang dapat ‘menyulut kobaran api’.
Sentralitas Masjid dalam Masyarakat Muslim
Al-Qaradhawi dalam bukunya, al-‘Ibâdah fil Islâm, menjelaskan bahwa dulu, pada masa Rasulullah Saw, masjid merupakan sebuah tempat yang menjadi pusat kegiatan seluruh umat Islam. Ia memainkan peran yang cukup signifikan dalam pembinaan umat. Masjid menjadi pusat pendidikan, musyawarah, mobilitas ekonomi, dan tempat untuk saling mengenal.
Dalam karyanya yang lain, al-Dlawâbit al-Shar’iyyah li Binâ al-Masid, Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa Nabi Saw juga menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam di dalam masjid, dengan menjadikannya sebagai tempat untuk menyelesaikan pertikaian hukum dan peradilan. Salah satu contohnya adalah ketika sahabat Umar ibn Khattab menjabat sebagai Khalifah, Nabi Saw membentuk dua dewan yang bertugas untuk memberikan nasehat untuk masyarakat yang sedang memiliki konflik. Selain itu, Sayidina Abu Bakar juga pernah menyelesaikan administrasi pemerintahan di masjid yang diperuntukkan untuk masyarakat muslim dan non-muslim.
Namun, yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa pada waktu itu tidak ada pemisahan mengenai apa yang disebut dengan agama dan apa yang disebut dengan politik. Nabi tidak memiliki tempat lain selain masjid untuk membahas persoalan umat, baik ekonomi maupun kebijakan sebuah negara. Sehingga tidak ada dikotomi antara sesuatu yang berbau duniawi dan sesuatu yang berbau agamis. Masjid menjadi satu-satunya tempat yang multifungsi.
Ahmad Ghalusy dalam bukunya al-Shirah al-Nabawiyyah wal ‘Ahd al-Madani menyimpulkan bahwa fungsi masjid dahulu bagi orang Islam tidak lepas untuk berdakwah, pusat pendidikan, dan nasihat keislaman, musyawarah, mempererat ukhuwah islamiyyah, dan mengistirahatkan pikiran dan jiwa dari keruwetan hiruk-pikuk persoalan duniawi.
Seiring berjalannya waktu, ketika persoalan umat mulai terkotak-kotakkan, fungsi masjid yang dulunya multifungsi semakin ke sini semakin menyusut. Bahkan dalam konteks Indonesia, setiap ormas, seperti Muhammadiah, NU, LDII, dan Persis memiliki masjidnya sendiri dengan regulasi yang berbeda-beda dan semakin mengerucut.
***
Masjid tidak lagi menjadi tempat untuk memecahkan berbagai persoalan masyarakat ataupun pembelajaran ilmu-ilmu syariat secara formal. Adanya madrasah-madrasah menggantikan posisi masjid dalam hal pendidikan keislaman. Selain itu, lembaga-lembaga keuangan dan fatwa seperti bait al-zakah dan dar al-ifta’ juga berhasil menggantikan posisi masjid. Meskipun di beberapa tempat, madarasah, lembaga keuangan, dan lembaga fatwa dibangun berdekatan bahkan disatukan dengan lokasi Masjid.
Salah satu fungsi Masjid yang masih tetap bertahan hingga saat ini adalah sebagai sarana pembelajaran agama Islam. Meskipun dilaksanakan secara informal, hampir semua Masjid memiliki majlis ilmu seperti tahsin, tahfiz, dan pengajian umum yang biasanya dihadiri oleh masyarakat setempat. Di titik ini, setidaknya identitas masjid sebagai sarana pengetahuan agama Islam hingga saat ini masih bisa dirasakan.
Berkaitan dengan konsep pendidikan, kita mengenal bahwa konsep universitas yang ada di dunia diterjemahkan dari kata jâmi’ah dimana kata ini terambil dari akar kata yang sama dengan jâmi’ yang mengarah kepada makna institusi masjid dalam Islam. Hal ini juga yang diakui oleh Napoleon Hill dalam bukunya Think and Grow Rich. Pada titik ini, peran masjid sebagai tempat pendidikan Islam telah memberikan sumbangsih terhadap konsep universitas sebagai sebuah institusi ilmu pengetahuan yang diterima di seluruh dunia.
***
Jika ditelisik dari sejarahnya, masjid-masjid besar seperti Masjid al-Haram di Mekkah, Al-Azhar di Mesir, dan Qûrtubah di Spanyol, merupakan sumber pencerahan ilmu pengetahuan umat Islam bahkan dalam hal ilmu saintis sekalipun. Dalam hal ini, kita bisa melihat eksistensi masjid Al-Azhar misalnya yang masih menjadi sorotan para pelajar agama Islam hampir di seluruh pelosok dunia. Di Indonesia, ada ribuan lebih calon mahasiswa yang dikirim ke Al-Azhar hampir setiap tahunnya. Ini bukan karena Al-Azhar dianggap sebagai pusat tempat peribadatan, melainkan karena ia dianggap sebagai sumber otoritas keilmuan keislaman.
Memang, Al-Azhar semenjak era Muhammad Abduh berkembang pesat menjadi sebuah universitas. Akan tetapi, hal ini tidak menafikan eksistensi Al-Azhar sebagai sebuah masjid yang turut melestarikan fungsinya untuk sumber pendidikan. Majelis-majelis hadis, tafsir, fikih, akidah, masih bisa dijumpai setiap harinya di masjid tua ini.
Selain Al-Azhar, Tunis, dan Maroko, masing-masing memiliki instansi yang pada awalnya adalah sebuah masjid, Al-Zaitunah dan Qurowiyin. Lagi-lagi, Keduanya terkenal bukan karena eksistensinya sebagai tempat ibadah atau pun dekorasinya yang megah. Keduanya terkenal karena pendidikan keislamannya yang dianggap cukup otoritatif pada saat itu.
Menghindarkan Masjid dari Unsur Politik Agitatif
Melihat sentralitas fungsi masjid di kalangan umat Islam yang cukup fundamental ini, maka tak jarang masjid disalahgunakan oleh beberapa tokoh agama untuk mengklaim otoritas kepentingan politik mereka. Hal ini merupakan sebuah fenomena krisis yang mununtut untuk terus dibenahi. Masjid yang memiliki misi untuk menyatukan umat Islam dari berbagai golongan, justru disalahgunakan untuk memecah belah persatuan umat itu sendiri.
Selain itu, fenomena seperti ini kerap kali membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang tidak tau-menau kepentingan di balik orasi-orasi politis yang disampaikan di masjid tersebut digiring untuk mengamini dan mengikutinya. Memang, Nabi Saw pernah mengurusi persoalan umat dan strategi perang di masjid, tetapi hal ini tidak dalam mengkampanyekan suatu golongan atas golongan yang lain. Apalagi, digunakan untuk menebarkan kebencian.
Mungkin, saya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa orasi-orasi politik yang pernah dilakukan di Masjid adalah sebuah kezaliman karena bertentangan dengan misi utama masjid itu sendiri. Dalam hal ini, saya tidak mempermasalahkan status ‘kepemilikan’ masjid terhadap golongan tertentu, selama masjid tersebut masih terbuka untuk semua golongan tanpa mendiskreditkan, mencaci, dan menjelekkan golongan yang lain. Apalagi, jika hal tersebut disampaikan dengan intonasi agitatif.
*Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID
Editor: Yahya FR