Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (3): Jalur Lintas Tengah Sumatera yang Tak Lagi Sepi

5 Mins read

Palembang, Ahad, 7 April 2024. Pukul 06.00 kami keluar dari Hotel Azza. Destinasi pertama adalah Jembatan Ampera. Malam sebelumnya kami kesini di depan Benteng Kuto Besak. Pagi ini kami masuk dari sisi hilir. Suasana sekitar nyaman, cerah, dan bersih. Para pengunjung dan pedagang masih sepi. Portal parkir belum lagi difungsikan. Onti dan Nino segera sibuk berfoto. Kali ini dengan memasang tripod. Sedangkan aku dan Oom ikut saja irama dua wanita tercinta ini. Bagi kami, satu dua kali jepret sudah cukup. Bagi mereka, satu gaya bisa dengan beberapa jepretan.

Tetapi Jembatan Ampera memang gagah. Menghubungkan dua sisi Sungai Musi, sungai terlebar di Sumatera. Lalu lintas di bawahnya ramai. Speed dan kapal barang hilir mudik. Juga kapal tongkang pengangkut batu bara. Entah berapa ribu ton dan entah dibawa kemana batubara yang diangkut siang malam itu.

Selesai memarkir Si  Putih, aku mengobrol ringan dengan Abang Parkir. Beliau menawarkan naik speed menyusuri Sungai Musi. Aku berterima kasih dan menolak karena perjalanan kami masih jauh. Kami akan ke Kerinci melalui Lahat-Lubuk Linggau. Serta merta beliau memberi nasehat, “woiy itu jalur rawan, Pak. Banyak bajing loncat. Lewat Betung bae… ” Rupanya beliau masih dikuasai stigma lama. Padahal jalur Lahat-Linggau ini sudah aman belaka.

Bisa jadi Si Abang ini juga belum pernah melalui jalur ini. Begitulah stigma. Kadang memang jahat. Sedangkan Betung sejak dua hari lalu masih dilanda macet panjang. Di era teknologi informasi ini, kami bisa memperbarui info terkini kondisi jalan yang akan dilewati. Kebetulan beberapa teman juga mudik. Sehingga kami memutuskan melalui jalur Lahat-Linggau. Tidak melalui jalur Betung.

Jam besar di atas Ampera menunjukkan pukul 07.00 ketika kami melintasi jembatan ini. Kali ini giliranku menjadi sopir. Sambil menikmati udara pagi, kami menyusuri jalan raya kota Palembang menuju pintu tol terdekat. Setelah masuk pintu tol Indralaya aku heran. Jalan tol ini  dimulai dengan KM-0. Seingatku Palembang berada pada KM 400-an dari  Bakauheni. Ternyata jalan tol ini berbeda dengan yang kami lalui semalam.

Ini jalan tol baru. Bagian dari jalan tol Palembang-Bengkulu. Kondisinya mulus dan sepi. Seakan tol ini untuk kami saja. Di kiri kanan terlihat pemandangan khas dataran rendah Sumatera. Kebun karet, sawit, ketela, dan hutan belantara. Tidak ada rest area. Setelah KM 80, jalan tol dibarikade. Lanjutan jalan tol menuju Muara Enim dan Lubuk Linggau dalam proses pengerjaan. Kami pun keluar tola dan masuk kota Prabumulih. 

Baca Juga  Lazismu, Negeri Sepa, dan Mas Agus Edy Santoso

Pada 1981, aku masuk Prabumulih untuk pertama kali. Saat itu dalam perjalanan pulang ke Jogja. Aku menumpang oto Datsun Wo Srun. Beliau mengantar keluarga Wo Rabi’ah pulang ke Prabumulih setelah mudik ke Kerinci. Kami melakukan perjalanan malam. Pagi harinya kami sampai di Brigif Dua asrama tentara rumah Wo Rabi’ah. Dari sini aku yang masih anak SMP dititipkan pada seorang Ayuk yang akan pulang kuliah di Jogja. 

Pada 2022, aku kembali masuk Prabumulih. Sepulang dari mudik di Kerinci, kami melalui Linggau dan berniat lanjut ke Sekayu-Betung-Palembang. Beberapa kilo setelah Muara Beliti kami diarahkan Google map melalui jalur alternatif. Jalur ini memperpendek jarak sekitar 100 kilo. Tetapi kami harus melalui jalan pedesaan dan hutan industri Musi Persada. Setelah melalui Talang Ubi, kami keluar di desa Belimbing. Lalu masuk kota Prabumulih. 

Pada 2024 ini, selepas  Prabumulih kami menyusuri jantung Sumatera Selatan. Jalannya tidak terlalu lebar, hanya dua ruas, dan bahunya banyak yang belum disemen. Di kiri kanan jalan, kami disuguhi pemandangan rumah-rumah kayu indah yang bertingkat dan beratap genteng. Sebagian berupa rumah panggung yang lantai dasarnya tidak berdinding. Rumah ini agak berbeda dengan rumah  di Kerinci. Di sana lantai dasarnya juga dihuni dan atapnya dari seng.

Rumah  di Kerinci lebih mirip rumah di kawasan Sumsel yang lebih tinggi. Seperti di Kabupaten Empat Lawang. Pada suatu waktu, aku masuk kawasan ini dari Tebing Tinggi. Melalui Talang Padang, Pendopo, aku sampai Pagar Alam. Aku terkesima karena merasa berada di kampung halaman. Arsitektur rumah-rumah  di kawasan ini persis sama dengan rumah-rumah di Kerinci kampung halamanku.

Dari Prabumulih kami menuju Muara Enim. Tidak belok kiri menuju Baturaja. Lalu berlanjut menuju Lahat. Kota-kota di kawasan ini berdekatan saja. Seperti Jogja-Klaten-Solo saja. Banyak perkampungan penduduk di kiri kanan jalan. Di Lahat, kami melalui jalur lingkar dan tidak masuk kota. Jalur berikutnya adalah Lahat-Tebing Tinggi. Lumayan jauh, 79 kilo. Ini jalur sepi. Tidak banyak desa di kiri kanan jalan. Jalur inilah yang dianggap rawan bajing loncat oleh Si Abang Parkir di Jembatan Ampera.

Baca Juga  Kisah Tim Kemanusiaan Muhammadiyah Tembus Gaza di Tengah Perang

Dulu pada 1981, aku melalui jalur ini ketika mudik perdana. Memang kesan sebagai jalur seram terasa sangat kuat. Bis yang kami tumpangi harus berkonvoi ketika jalan malam. Kini jalur ini lebar. Hutan rimba di kiri kanan banyak berganti kebun sawit. Kios-kios pedagang terlihat di beberapa titik. Tupai atau bajing pun jarang terlihat. Apalagi bajing loncat.

Pada suatu titik antara Lahat-Tebing Tinggi ini, istriku penasaran dengan buah yang dipajang pedagang. Buah yang digantungkan ini jelas bukan sawo. Apalagi manggis. Warnanya kuning gelap,  sebesar sawo,  tetapi bulat seperti jeruk. Kami pun berhenti dan aku mendekati penjual.

Menjawab pertanyaanku sang penjual menyebut nama buah ini  adalah tampoy. Aku kaget karena kata tampoy terasa tidak asing di telingaku. Walau sudah puluhan tahun tidak pernah lagi aku dengar. Tampoy juga nama buah di Kerinci. Rupanya ada kesamaan nama buah antara Kerinci dengan Lahat. Belakangan sesampai di rumah di Kerinci, tampoy menjadi buah bibir obrolan kami. Buah ini membangkitkan kenangan masa lalu. Walau buah ini sudah jarang ditemukan apalagi dikonsumsi.

Pada 1980-an, sebelum masuk Provinsi Jambi setelah Kabupaten Lahat hanya ada satu kabupaten. Kabupaten Musi Rawas dengan ibukota Lubuk Linggau. Kini Kabupaten Musi Rawas berkembang menjadi tiga. Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Musi Rawas dengan ibukota Muara Beliti, dan Kabupaten Musi Rawas Utara (disingkat Muratara) dengan ibukota Muara Rupit. Sedangkan Kabupaten Lahat melahirkan Kabupaten Empat Lawang dengan ibukota Tebing Tinggi.

Maka kota-kota  kecil pada empat dekade yang lalu  itu kini sudah menjadi ibu kota kabupaten. Sayangnya rumah-rumah Melayu indah yang menghiasi mereka seperti dalam film Laskar Pelangi kini nyaris sirna. Berganti dengan barisan ruko yang berjajar seperti kotak-kotak kardus minim estetika. Juga kini tiada lagi tugu perbatasan Provinsi Sumsel-Jambi yang ikonik di tengah hutan kanan-kiri jalan lintas Sumatera. 

Menjelang magrib kami masuk Singkut. Kota pertama di Provinsi Jambi di lintas tengah ini juga berkembang pesat. Dulu pada 1980-an, Singkut adalah simpang jalan menuju lokasi transmigrasi. Beberapa kios berdiri disini. Kota terdekat adalah Sarolangun yang bersama Singkut berada dalam Kabupaten Sarko (Sarolangun Bangko). Ibukotanya Bangko. Kini Sarko berkembang menjadi Kabupaten Sarolangun yang beribukota Sarolangun dan Kabupaten Merangin yang beribukota Bangko. 

Baca Juga  Belajar Toleransi dari Pak John: Satu Keluarga Tiga Agama

Kini Singkut sangat ramai.  Di samping transmigran disini banyak pedagang. Khususnya orang Minang. Maka Muhammadiyah pun berkembang disini. Perguruannya mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi. Pada 2022, aku diundang kesini sebagai Ketua Lazismu. Tentu tidak lagi naik bis Gumarang Jaya, ALS,  atau Jambi Indah. Aku menjangkau Singkut naik pesawat melalui melalui Lubuk Linggau. 

Setelah makan malam di Singkut, kami melanjutkan perjalanan menuju utara. Kami masuk kota Sarolangun, yang sebagaimana Singkut juga ramai. Jalan lintas tengah empat lajur, lahan parkir, dan trotoar yang luas menandai kota ini. Zaman memang sudah berubah. Tempat-tempat sepi di jalur lintas tengah Sumatera tiada lagi kini. Diganti kota-kota yang ramai. Jarak pun terasa dekat.

Kami berangkat pagi dari Jembatan Ampera Palembang. Sekitar jam sembilan  malam, kami sudah masuk Bangko. Ibukota Kabupaten Merangin ini berbatasan langsung dengan Kerinci. Merangin juga nama sungai yang membelah dan mengalir indah di depan rumahku di Kerinci. Jadi Merangin juga tempatku mandi dan bermain di masa kecil. Maka sesampai di Bangko aku merasa sudah berada di kampung sendiri. Walau masih ada 120 kilo lagi jarak yang harus ditaklukkan. 

Setelah melewati Jembatan Makalam di atas sungai Batang Merangin, aku kembali menjadi sopir. Menyopiri mobil sendiri di jalur Bangko-Kerinci membawa sensasi tertentu bagiku. Dulu zaman mudik dari Jogja naik bis aku turun di Terminal Bangko. Lalu diserbu calo tiket menuju Kerinci. Aku harus menunggu malam saat bis  Jambi-Kerinci yang melalui Bangko tiba. Belum ada angkutan umum Bangko-Kerinci. Aku pun lebih sering duduk di kursi tambahan. Maka kelelahan tiga hari naik bis dari Jogja ditumpuk capek empat jam duduk di kursi cadangan Bangko-Kerinci.

Kini aku bersama keluarga membawa mobil sendiri dari Jogja. Ketika dibandingkan mudik dulu itu, maka kelelahan perjalanan lima hari lima malam dengan Si Raize dari Jogja kini terasa tidak ada apa-apanya. Tepat tengah malam kami pun sampai di Jembatan Berayun, desa tercinta Pulau Sangkar-Kerinci. Alhamdu lillah.  (Bersambung).

Tanah Badantuang-Sijunjung, 16 April 2024

Avatar
31 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds