Feature

Yang Menyebalkan dari Generasi Baby Boomers dan Milenial

2 Mins read

Saat ada panggilan gawat darurat dengan simbol garuda berwarna biru terkait rencana DPR-RI yang ingin menggagalkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah kekhawatiran. Beberapa teman saya dari dua generasi ini (baby Boomers dan Milenial) memiliki pemikiran macam-macam ketika harus bersikap. Ini karena, jika turun aksi sama saja membela oligarki yang lain, dalam hal ini adalah PDI-P. Aksi tersebut juga dianggap melegitimasi Anies Baswedan untuk maju dalam Pilkada Jakarta. Selain itu, dua generasi ini punya banyak isi di kepala mengenai skenario ini dan itu. Poinnya, dua generasi ini memiliki keengganan untuk bersikap secara politik.

Dalam situasi tersebut, saya engga bisa berdebat. Isi kepala saya yang ada hanya rasa amarah. Untuk menuangkannya adalah ikutan bergerak turun ke jalan masuk dalam barisan demonstrasi. Saya lebih mempercayai insting anak-anak muda mahasiswa dan mahasiswi yang mengorganisir diri dan melakukan demonstrasi. Ini adalah era mereka. Nasib mereka jauh lebih dipertaruhkan ke depan ketimbang generasi Milenial yang kini bermain aman saja. Mereka juga jauh lebih memiliki keberanian ketimbang generasi sebelumnya.

Bagi saya, taik kucing kalau mendengarkan generasi sebelumnya dengan membayangkan skenario ini dan itu. Pikiran itu merupakan bentuk ketakutan sekaligus keengganan untuk terlibat lebih jauh dalam aksi tetapi menikmati cipratan rejim tengkik dengan ragam caranya melalui sumber-sumber ekonomi. Saya lebih apresiasi mereka yang diam tapi kemudian memberikan dukungan, baik secara personal maupun langsung. Mereka yang berdemonstrasi ini didominasi oleh anak-anak muda yang percaya bahwasanya demokrasi Indonesia sedang dipertaruhkan oleh segelintir politik dinasti dan keluarga. Sementara, realitas kehidupan mereka sebagai anak-anak muda juga tidak baik-baik saja.

Mereka adalah generasi yang marah dan kemudian langsung bergerak ketika melihat ada tanda dari rejim ini yang tidak beres. Musuh mereka juga sama; anak-anak rejim dinasti yang menikmati proteksi dari orangtuanya yang kini berkuasa. Dengan kekuasaan ini rejim politik dinasti ingin mengamankan jatah kekuasaan kepada anak-anaknya dengan jalan pilkada. Saya percaya kepada generasi ini. Meskipun ke depan, pengalaman yang akan membentuknya apakah akan menjadi politisi tengik atau mau menjadi bagian dari generasi yang terus menerus marah dan kritis atas kebijakan rejim pemerintahan yang tidak berpihak kepada publik luas.

Baca Juga  Peringatan Hari Konstitusi: Membangun Mental Konstitusional

Generasi anak-anak muda ini jumlahnya tidak banyak dan memang tidak harus banyak. Tapi saya tetap percaya kepada mereka, ketimbang generasi saya (Milenial) yang sudah mengkalkulasi untung dan rugi jika terlibat ini dan itu. Apalagi, banyak dari generasi saya masuk dalam kekuasaan dan memiliki tiga sikap; 1) diam dengan pura-pura tidak mendengarkan dan sensitif atas apa yang akhir-akhir ini terjadi; 2) melakukan legitimasi melalui narasi halus seolah-olah mengatakan bahwasanya kubu oposisi dan aliansi itu sama saja, dan 3) sedang mengusahakan perjuangan dari dalam dengan menjadi bagian dari rejim pemerintahan.

Harus diakui, media sosial memang menciptakan jaringan sekaligus percepatan informasi. Dengan struktur komunikasi semacam ini, isu apapun akan cepat menyebar ke publik dan menjadi viral. Namun, viral saja tidak cukup. Ini karena, viral tidak cukup untuk melakukan intervensi secara fisik. Saya mengamati tidak sedikit orang yang memfoto dan kemudian memperbincangkan di media sosial lalu viral masalah akan selesai. Sementara itu, intervensi secara langsung sedikit sekali dilakukan. Ini yang dilakukan oleh rejim pemerintahan Jokowi, yang berhitung benar pergerakan massa. Makanya, tanpa adanya mobilisasi, rejim politik ini bisa bertindak sewenang-wenang.

Kehadiran anak-anak muda yang diwakili oleh mahasiswa dan mahasiswi ini memiliki energi berlebih untuk terus-menerus mengkritik sekaligus bergerak. Kepada generasi baru ini saya menaruh harapan. Sementara itu, generasi Milenial dan baby Boomers yang diam-diam mendukung rejim pemerintahan dan bahkan dibayar untuk melakukan counter narasi dengan tagar Indonesia baik-baik saja, ingat, “kalian engga diajak dalam gelombang generasi muda ini! “.

Avatar
84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Buya Hamka yang Mengubah Hidup Kami

4 Mins read
Pada masa akhir perkuliahan di 2021, saya merasakan jatuh cinta pada karya-karya romantika dan esensial gubahan dari ketua MUI pertama Indonesia, Buya…
Feature

Gus Dur, Istana, dan Celana Kolor

3 Mins read
Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah sosok yang tak pernah lepas dari kontroversi dan kebijaksanaan. Selama masa jabatannya sebagai…
Feature

Polemik Perayaan Maulid Nabi di Minangkabau Awal Abad ke-20

3 Mins read
Wilayah Minangkabau merupakan bagian dari Nusantara yang tidak luput dari pengaruh sufisme melalui proses Islamisasi di daerah tersebut. Sejak awal masuknya Islam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds