Oleh: Ahmad Ashim Muttaqin
Nama Ki Bagus Hadikusumo seharusnya tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Terlebih bagi warga Muhammadiyah, tokoh kelahiran Yogyakarta ini adalah salah satu tokoh penting yang ikut membidani lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di antara kalangan muslim anggota BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo adalah orang yang paling bersemangat menginginkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar.
Ki Bagus Hadikusumo juga pernah memaparkan pentingnya Islam sebagai dasar negara Indonesia pada sidang BPUPKI tanggal 28 Mei 1945. Namun semua paparannya selalu mendapat bantahan dari anggota lain yang menentang Indonesia dijadikan negara Islam. Kandasnya cita-cita menerapkan Islam sebagai dasar negara tidak lantas membuat Ki Bagus mengingkari komitmen berbangsa dan bernegara.
Dengan kelapangan dada ia menanggalkan keinginannya untuk membentuk negara dengan dasar Islam dan mengubah rumusan sila pertama di Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” yang diinterpretasikan sebagai Tauhid, serta konsisten mendukung kemerdekaan Indonesia yag diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
***
Menurut politikus Muhammadiyah, A.M. Fatwa, sikap kompromi Ki Bagus Hadikusumo atas usulan para koleganya telah “memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa. Muhammad Hisyam dalam Ki Bagus Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara (2011) memandang bahwa Ki Bagus Hadikusumo berhasil mengawal negara Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh kalangan nasionalis dan kalangan Islam di dalam BPUPKI dan PPKI agar Indonesia tidak menjadi negara teokrasi ataupun negara sekuler.
Selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ia dan santri-santrinya di Yogyakarta turut berjuang dengan membentuk Angkatan Perang Sabil guna menghadapi Agresi Militer Belanda 1. Selain itu, Ki Bagus Hadikusumo juga aktif di kancah perpolitikan lewat partai Masyumi yang didirikan oleh Muhammadiyah, NU dan beberapa ormas Islam lain. Di dalam struktural Mayusmi, ia menjadi Ketua Muda yang mendampingi KH Hasyim Asyari selaku Ketua Umum Partai Masyumi.
Ditengah kesibukannya sebagai tokoh kemerdekaan dan pengurus Masyumi, ia masih tetap mencurahkan perhatiannya untuk persyarikatan Muhammadiyah dengan diawali menjadi Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah pada tahun 1922 dan puncaknya menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dari tahun 1942 hingga akhir hayatnya. Pada 4 November 1954, ia meninggal dunia di Jakarta dalam usia 63 dan dikebumikan di tanah kelahirannya, Yogyakarta.
Pudarnya Ruh Ki Bagus Hadikusumo di Persyarikatan
Perlu menjadi intropeksi bersama, bahwa Muhammadiyah semakin hari makin gagap dalam menghadapi berbagai persoalan politik dan kebangsaan. Figur-figur seperti Ki Bagus Hadikusumo mulai hilang, sehingga Muhammadiyah terkesan lalai terhadap kondisi perpolitikan Indonesia. Muhammadiyah perlu terus mengembangkan fiqih kewarganegaraan atau teologi kebangsaan-teologi politik yang menjelaskan bagaimana berpolitk untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara menurut Islam.
Wujud praksisnya tidak harus dengan partai politik. Tanwir Ponorogo (1970) sudah memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak bergerak di jalur politik praktis. Karena itu politik jangan hanya didefinisikan sebatas partai. Politik itu juga berarti kekuatan, jaringan, media dan pers maupun lobbying. Politik juga bisa dilakukan dengan menyiapkan SDM, kader-kader calon anggota legislatif maupun pejabat eksekutif. Penyiapan kader itu tentu tidak mudah. Perlu biaya besar, waktu yang lama, perlu kurikulum yang baik, perlu kesungguhan dan ketekunan. Inilah yang dinamakan jihad politik.
***
Kita juga perlu belajar kepada KHA Dahlan yang menyiapkan kader-kadernya lewat pengajian wal’Ashri Fathul Asrar Miftahussa’adah dan Sopo Tresno berbulan-bulan yang dibina secara serius dan konsisten. Hasilnya kita semua mengetahui kualitas kadernya yang begitu ulet, gigih, militan dan rela berkorban seperti Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan anak didik langsung KHA Dahlan.
Panggung perpolitikan nasional maupun daerah butuh sentuhan kader-kader Muhammadiyah agar lebih berwarna. Bahkan saat ini masyarakat lebih mengenal ormas keagamaan lain ketimbang Muhammadiyah dalam politik nasional. Padahal amal usaha Muhammadiyah ada dimana-mana, baik sekolah, universitas, rumah sakit hingga panti asuhan.
Kalaupun Muhammadiyah secara organisasi tidak berpolitik, namun secara kader harusnya Muhammadiyah lebih proaktif. Tokoh sekaliber Ki Bagus Hadikusumo harusnya kembali hadir dalam perpolitikan nasional. Keran demokrasi harusnya dimanfaatkan Muhammadiyah untuk melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang hebat. Muhammadiyah sepertinya stagnan bahkan cenderung mengalami kemunduran.
Politik Sebagai Ladang Dakwah
Kader-kader Muhammadiyah dulu memiliki peran vital dalam melahirkan berbagai partai politik.
Tapi kini, kaderisasi mereka lemah. Bahkan di tingkat mahasiswa, kaderisasi IMM kalah dari organisasi kemahasiswaan lain, atau Pemuda Muhammadiyah yang kalah pamor dari GP Anshor. Muhammadiyah harusnya melihat redupnya kader-kader mereka di politik sebagai sebuah problem. Muhammadiyah harus menemukan formula yang tepat agar kadernya kembali berkiprah. Politik dapat dijadikan ladang berdakwah. Jangan takut berpolitik maupun masuk kedalam partai politik.
Melalui kadernya, Muhammadiyah harusnya menghadirkan wajah baru politik nasional. Politik dijadikan sebagai media untuk mencapai maslahat bersama dan menghadirkan nilai-nilai Muhammadiyah yang diwariskan KHA Dahlan. Bukan politik yang berkiblat pada kepentingan kelompok dan diri semata. Muhammadiyah harus menjadi mesin produksi pemimpin politik. Kaderisasi pemimpin harus rutin dilakukan sehingga krisis pemimpin politik dapat teratasi.
***
Islam berkemajuan harusnya di-implementasikan kader-kader Muhammadiyah dalam segala bidang, tak terkecuali politik. Islam berkemajuan mendorong kader Muhammadiyah menjadi tokoh politik yang berkompeten, anti-penyalahgunaan kekuasaan, merangkul kemajemukan dan membawa Indonesia menuju Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur sebagaimana cita-cita Muhammadiyah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Minimnya tokoh politik dari Muhammadiyah secara tidak langsung berdampak terhadap hilangnya wacana-wacana Muhammadiyah di kancah nasional. Muhammadiyah kurang lihai dalam hal memproduksi dan mengemas wacana-wacana menarik yang bisa diterima dan dinikmati oleh masyarakat luas.
Banyak orang Muhammadiyah yang tidak percaya diri jika mengaku pada publik dirinya Muhammadiyah? Apa sebabnya? Bisa jadi mereka enggan mengaku Muhammadiyah karena minimnya tokoh mereka berada dalam pemerintahan. Sehingga mereka tidak mempunyai patron figur kebanggaan yang mampu merepresentasikan nilai positif pribadinya.
***
Kembali lagi soal krisis pemimpin politik yang dicetak Muhammadiyah. Kader-kader Muhammadiyah harusnya lebih berani dan sering tampil di atas panggung politik. Tidak hanya sebatas kuantitas, tapi kualitas kader Muhammadiyah yang terjun di dunia politik tetap harus diperhatikan. Jangan sampai ideologi Muhammadiyah menjadi barang politik transaksional.
Peneguhan ideologi Muhammadiyah perlu ditanamkan secara serius sejak sekarang sebagai modal kader-kader Muhammadiyah terjun dalam kancah perpolitikan Indonesia. Jangan berkutat pada pemaknaan beramal hanya sebatas sosial-agama dan mengabaikan politik. Politik harus dijadikan sebagai ladang untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam tujuan Muhammadiyah.. Dengan umur persyarikatan yang menginjak 107 tahun dan perkembangan yang begitu pesat, Muhammadiyah harus mampu memaksimalkan sektor politik ini dan memberikan angin baru di kancah nasional.