Feature

Terinspirasi Mesir, Kaum Mudo Minangkabau Merombak Cara Keberagamaan Lokal

3 Mins read

Pada pertengahan abad 19 M sampai dengan awal abad 20 M, dunia Islam mulai menunjukkan semangat revitalisasi untuk menjadikan Islam lebih modernis. Hal itu merupakan sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang dinamis, bukan statis. Mesir pada waktu itu tampil sebagai pusat perubahan, dengan pionir pembaharuan dari Jamaluddin Al-Afghani. Hal itu ditandai dengan transmisi ide-ide pembaharuan bersama Muhammad Abduh dilanjutkan oleh Rasyid Ridha.

Kontribusi pemikiran ketiganya mencakup persoalan modernisasi pendidikan, keagamaan, hukum-hukum Islam, juga melahirkan jurnal Islam seperti Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar. Kedua majalah tersebut berperan penting dalam kelahiran majalah Al-Imam yang didirikan oleh Syekh Jalaluddin Taher, tokoh asal Minangkabau yang pernah belajar di Mesir.

Interelasi Minangkabu dengan Mesir

Kemunculan interelasi Minangkabau dengan Mesir pada akhir abad 19 M dan awal abad 20 M merupakan interaksi sosial yang mampu merombak sistem tradisionalis dan cara keberagamaan lokal. Pengaruh ini tidak hanya membangkitkan semangat nasionalisme kebangsaan di Minangkabau, melainkan juga menimbulkan berbagai konfrontasi atas berbagai pandangan tentang cara Islam seharusnya menyikapi perubahan, yang mana keseluruhannya meningkatkan iklim intelektualisme di Indonesia.

Kesadaran intelektualisme di Minangkabau pada awal abad 20 M dipengaruhi salah satunya oleh situasi yang terjadi di Mesir. Meminjam istilah Azra, “transmisi gagasan pembaharuan Islam” yang disebarkan melalui pendidikan dan pemikiran, adalah sebab kemunculan gerakan yang menginginkan perubahan. Tidak hanya itu, proses pergolakan dan pembaharuan ini kemudian memengaruhi model sosio-intelektual keberagamaan masyarakat Minangkabau bahkan setelahnya.

Perebutan Keagamaan Kaum Mudo

Peran Mesir semakin terlihat ketika semakin banyaknya pemuda yang memilih untuk menuntut ilmu di sana. Bahkan, Mahmud Yunus (pelajari Minangkabau) lebih memilih untuk belajar di Mesir daripada Mekah dengan alasan bahwa tidak ada hal baru yang bisa dipelajari di sana. Penyebaran paham pembaharuan ini menambah konfrontasi internal yang ada, seperti perebutan otoritas keagamaan antara Kaum Mudo dan Kaum Tuo. Perubahan juga terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat seperti sistem pendidikan dan munculnya konsep Islam dan kebangsaan.

Baca Juga  Kisah Gus Dur Berguru ke Ulama Muhammadiyah

Pembawa paham pembaharuan tersebut ke wilayah Minangkabau adalah “para perantau intelektual”. Merantau menjadi kebiasaan yang telah mentradisi dalam masyarakat Minangkabau hingga dewasa ini. Dimulai dari awal proses kehadiran Islam sampai kepada transmisi ide-ide kebangkitan, arus ini dibawa langsung oleh anak nagari Minangkabau yang melakukan perjalanan ke berbagai daerah.

Dukungan dari pedagang, masyarakat lokal, dan guru-guru agama terhadap pelajar-pelajar Minangkabau yang memutuskan untuk belajar ke daerah-daerah di luar nagari (rantau), menjadi sebab utama banyaknya bermunculan tokoh-tokoh pembaharuan di wilayah ini. Terutama dari pengaruh pembaharuan dari kalangan muda yang menyebarkan paham mereka tersebut ke berbagai wilayah terutama di Agam, Tanah Datar, dan Padang.

Ulama dari Kaum Mudo

Ulama-ulama dari Kaum Muda telah menguatkan pengaruhnya sekitar tahun 1906, di waktu sebagian Ulama mendapat pengaruh Majalah al-Urwatul Wusqa (yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani) dan al-Manar (diasuh oleh Rasid Ridha, Mesir). Salah seorang tokoh utama “Kaum Muda” Sumatera Barat (Minangkabau) ialah Syekh Doktor Fiddin Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-er) atau Haji Rasul, beliau adalah ayahanda Buya Hamka (Marpuah 2020).

Gerakan reformis yang diusung oleh Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan “Kaum Mudo”. Salah satunya banyak terinspirasi dari pemikir-pemikir pembaharu dari Mesir. Hamka, putera dari Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal juga dengan Haji Rasul, menuliskan satu bab khusus yang membahas tokoh maupun faktor yang memengaruhi pemikiran dan gerakan ayahnya. Dokumen tersebut masuk dalam bagian buku yang berjudul Ayahku. Pengaruh pemikirannya tersebut disampaikan melalui tulisan-tulisan dan ruang-ruang diskusi dengan para tokoh agama tradisionalis bersama kalangan tokoh agama modernis di Minangkabau.

Pembaharuan Abduh dan Ridha

Kemudian pengaruh pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha semakin terlihat ketika Haji Rasul merefleksikan pandangan Ulama Kairo tentang dirinya dan Haji Abdullah Ahmad. Pada saat mengunjungi Kongres Mesir pada Maret 1926 dengan mengatakan, “Tentu saja tidak! Terutama yang berpaham kuno tentu benci. Apa lagi tersiar pula kabar bahwa kami banyak sekali menyetujui faham Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha”.

Baca Juga  Polemik Injil Bahasa Minang dan Ethnoreligius

Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan mendapat pendidikan agama di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Haji Abdullah Ahmad pergi ke Mekah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.

Pulang ke Padang Panjang

Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di Padang Panjang. Tindakan yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapura dan Al- Ittihad dari Kairo (Marpuah 2020).

Ide pembaharuan tersebut tidak terlepas dari gagasan yang didapatkannya dari Mesir, yakni Rasyid Ridha. Ide pembaharuan tersebut berimplikasi kepada semangat intelektualisme masyarakat Minangkabau menjadi berpikiran modernis tanpa menghilangkan Islamisme dalam diri mereka.

Dengan demikian, hubungan intelektualisme antara Mesir dengan Minangkabau dua dekade awal abad 20 merupakan hasil upaya keras dan kemauan masyarakat Minangkabau. Dari situ ia mendapatkan hal yang baru untuk kemajuan ilmu pengetahuan dalam kajian Islam yang selama ini dianggap konservatif dan tradisionalis dari ulama tuo. Sehingga kaum mudo berperan penting untuk melakukan perubahan dengan gagasan yang baru, serta menyesuaikan kondisi dan situasi zaman pada masa itu di Minangkabau.  

Editor: Assalimi

Johan Septian Putra
39 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Da'i Agama yang Nir Adab

5 Mins read
Geger ucapan nir adab salah satu penceramah memunculkan pertanyaan mendasar, kok bisa seorang yang dianggap mengerti agama kadang bisa bicara kasar, kotor…
Feature

Relasi Kristen-Islam: Masa Lalu, Sekarang, dan Harapan untuk Masa Depan

4 Mins read
Sudah tiga kali Jum’at malam saya mendamping sahabat saya, Mun’im Sirry, memberikan kuliah webinar tentang relasi Kristen-Islam, masa lalu, sekarang, dan harapannya…
Feature

SHARIF 1446/2024 dan Masa Depan Kalender Islam Global

4 Mins read
Pada hari Rabu-Jum’at tanggal 18-20 Jumadil Awal 1446 bertepatan dengan tanggal 20-22 November 2024 diselenggarakan Sharia International Forum (SHARIF) 1446/2024 di Hotel…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds