Al-Qur’an merupakan petunjuk yang diberikan Allah kepada umat manusia melalui Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. Para ulama mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan dan menjadi mukjizat untuk Nabi Muhammad.
Periwayatan Al-Qur’an yang secara mutawatir menjadikannya berbeda dengan hadis Nabi secara umum. Selain itu, membaca Al-Qur’an dihitung sebagai pahala sehingga berbeda dengan hadis qudsi. Meskipun keduanya merupakan wahyu Alllah Swt.
Namun, apakah sekedar membaca ayat-ayat Al-Qur’an bisa terhitung dan bernilai ibadah?
Menurut Al-Ghazali, ada beberapa adab yang harus diperhatikan dan dilaksanakan ketika hendak membaca Al-Qur’an. Secara umum, adab membaca Al-Qur’an terbagi menjadi dua; adab zahir dan batin.
Adab Zahir Membaca Al-Qur’an
Pertama, dalam membaca Al-Qur’an adalah memastikan membacanya dalam posisi yang sopan dan baik, yaitu dengan duduk menghadap kiblat dalam keadaan suci. Menjaga posisi badan ketika membaca Al-Qur’an merupakan bentuk keterhubungan antara aktivitas fisik dengan aktivitas batin.
Kedua, membawa bacaan Al-Qur’an ke dalam sholat malam, sebab ketika malam hati hamba menjadi lebih bersih dan lebih sunyi dari pamrih pada sesama manusia. Selain itu, terutama pada sepertiga malam terakhir merupakan waktu mustajab, saat di mana Allah turun memanggil-manggil hambanya, “Adakah hambaku yang berdoa untuk ku-ijabah?” Dikatakan juga waktu tersebut menjadi mustajab sebab belum ternodai oleh nafas para ahli maksiat.
Ketiga, tidak terburu-buru mengkhatamkan Al-Qur’an. Membaca beberapa potong ayat dengan tadabbur atau dengan menyelami maknanya jauh lebih baik daripada sekedar membaca beberapa juz.
Umar bin Khattab yang berlisan Arab fasih bahkan menyelesaikan hafalan Al-Baqarah selama delapan tahun. Hal itu ia lakukan karena ia enggan untuk lanjut ke ayat berikutnya sebelum benar-benar memahami kandungan makna dan mengamalkannya.
Adab Batin
Selain adab zahir, membaca Al-Qur’an juga memiliki unsur-unsur batin tersembunyi yang tidak boleh luput juga. Hati seorang qori’ harus lebih menghadap Allah Swt sang pemilik kalam yang menurunkan ayat daripada lafal ayat-ayat yang ia baca. Dengan harapan, sang pembaca bisa masuk ke dimensi lebih dalam dari Al-Qur’an daripada sekedar makna luarnya saja.
Al-Ghazali sangat menekankan pembacaan di tingkat tadabbur, sampai ia mengatakan bahwa satu ayat yang dibaca pada semalam dengan tadabbur lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali. Senada dengan ini, Al-Ghazali juga sering menegaskan dalam berbagai karyanya, bahwa kualitas sebuah ibadah lebih utama daripada kuantitasnya.
Ibadah sederhana, seperti shalat dua raka’at misalnya, yang dilakukan secara istiqomah lebih baik dibandingkan dengan sholat berpuluh-puluh raka’at hanya dalam satu malam saja. Sehingga para ulama mengatakan istiqomah atau konsistensi merupakan anugerah dan karamah terbesar.
Untuk bisa menyentuh intisari dan cahaya makna Al-Qur’an, perlu juga menghindarkan diri dari segala yang bisa menjadi penghambat hati untuk menangkapnya. Bagi hamba dengan iman yang lemah terdapat dua hambatan utama; hijab keraguan dan hijab syahwat duniawi yang ada pada kebanyakan orang. Sedangkan hijab yang bisa menghalangi hati hamba dengan iman yang kuat antara lain adalah kegelisahan hati atas ketetapan niat yang dibuat dan kegelisahan untuk membenarkan bacaan ayat yang ia lafalkan.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Bagaimana bisa menyentuh asrar (rahasia) ilahi yang tersembunyi jika hatinya saja teralihakan untuk mengoreksi bagaimana lisan dan dua bibirnya membaca ayat?”
Makna ilahi yang terbuka dan tertanam di hati seorang hamba lantas akan menjelma sebagai haal atau kondisi jiwa. Di mana hatinya menjadi lapang dan berbunga-bunga ketika tiba di ayat-ayat rahmah dan ampunan. Hatinya menjadi kerdil ketika sampai pada ayat-ayat tentang kebesaran Tuhan. Menjadi sempit dan khawatir ketika sampai pada ayat-ayat adzab. Air mata yang tumpah melalui tadabbur Al-Qur’an akan menjadi air mata yang istimewa.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, menjelang bulan Ramadhan yang merupakan bulan Al-Qur’an, alangkah baiknya kita menilik ulang kembali program dan rencana tilawah kita di bulan Ramadhan nanti agar menjadi lebih berkualitas dan tidak sebatas bacaan zahir yang mengejar kuantitas saja.
Sebab, Al-Qur’an sejatinya bukanlah teks fisik yang tertulis dan tercetak di lembar-lembar Mushaf. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang tidak berwujud namun dapat tersampaikan dan dipahami dengan hati dan akal budi.
Editor: Soleh