Review

‘An-Taradin: Dimulai Ta’aruf, Disempurnakan Paska Akad

5 Mins read

Suami Wakil Tuhan?

Baru-baru ini, sebelum masuk bulan Ramadhan, jagat sosial media dihebohkan tingkah laku orang muda yang baru saja menikah, lalu merasa dirinya sebagai wakil Tuhan karena sudah berstatus sebagai suami. Benarkan suami adalah wakil Tuhan?

Rasanya terlalu naif, tidak berhak, sebagai manusia, memosisikan diri sebagai wakil Tuhan. Sedangkan Nabi Muhammad Saw yang sudah dijamin Allah Swt sebagai manusia paling mulia dan terjamin surga, senantiasa mengingatkan umatnya untuk berbuat baik yakni ‘yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga/istrinya. Dan saya adalah orang yang paling baik terhadap istri/keluargaku (HR Tirmidzi).

Dalam hadis ini jelas, bahwa Rasulullah mengingatkan kita untuk berbuat baik, dan larangan menguasai orang lain. Lalu, bagaimana kita sebagai manusia biasa, bisa menjadikan suami sebagai wakil Tuhan?.

Memosisikan diri sebagai wakil Tuhan, bila dikaji dari perspektif Kitab Mamba’ al-Sa’adah fi Usus Husn al-Mu’asharah wa Ahammiyah al-Ta’awun wa al-Musyarakah fi al-Hayatal-Zaujiyah maka sikap itu tidak akan terjadi.

Narasi Faqihuddin Abdul Kodir

Karena dalam kitab ini, Kyai Faqihuddin Abdul Kodir, menarasikan pertama, pernikahan bermuara pada tujuan mencapai kemaslahatan. Dalam Islam, pernikahan adalah sesuatu yang membahagiakan dan menyenangkan bagi kedua belah pihak. Bukan salah satu pihak saja. Dan bukan menjadi satu pihak lebih berkuasa daripada pihak lainnya. Sebagaimana QS. an-Nur ayat 32-33.

Kedua, pernikahan bagaikan dua sisi mata uang; maslahat atau mudharat. Mengutip pendapat al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, lebih lanjut Kyai Faqih menarasikan bahwa maslahat bisa terwujud bila manfaat pernikahan untuk bersenang-senang atas pemenuhan hasrat seksual yang halal dijalankan dengan ma’ruf dan atas dasar ikhlas dan ridha.

Sedangkan mafsadat bila pernikahan, terutama dalam hubungan seksual, diniatkan untuk menguasai tubuh pasangan kita, mengontrol hidup, melakukan kekerasan dalam pernikahan sehingga pasangan merasa ter-dzalimi.

Karena sekalipun hubungan seksual dalam pernikahan sebagai sesuatu yang halal nan menyenangkan, tetapi bukan berarti suami berhak menguasai tubuh istrinya, atau sebaliknya.

***

Ketiga, mukaddimah pernikahan. Maksudnya pernikahan sejatinya diawali hal yang paling fundamental yakni kepatuhan pada nilai-nilai moralitas yakni ketakwaan, rasa takut kepada Allah Swt bahwa dengan pernikahan tersebut menjauhkan diri dari sikap ibadah atau justru berpotensi menyakiti pasangan kita nanti.

Itu sebabnya, mukaddimah pernikahan harus dimulai dari memilih pasangan yang layak (sekufu), perkenalan yang mulia, dan persiapan mental, fisik, ekonomi, dan sosial yang maksimal.

Baca Juga  Sebuah Tawaran Memutus Mata Rantai Perkawinan Dini

Itu sebabnya, pesan Rasulullah Saw bahwa ‘perempuan dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, dapatkanlah wanita yang taat beragama, niscaya kamu akan beruntung (HR Bukhari dan Muslim)’ bersifat resiproksi. Jika perempuan akan menikah, maka pilihlah laki-laki yang se-kufu dengan empat hal itu, perkenalan yang baik, dan kesiapan seluruhnya.

***

Keempat, ridha dan ikhlas. Dikisahkan Rasulullah Saw pernah membatalkan pernikahan Khansa binti al-Khidam yang dipaksa menikah oleh ayahnya, padahal ia tidak suka. Khansa, keturunan Bani Amr bin Auf bin Aus. Ia dilamar dua laki-laki yakni yakni Abu Lubabah bin Mundzir, sahabat Nabi, seorang pahlawan dan pejuang Islam.

Dan laki-laki kedua adalah keturunan Bani Amr bin Auf yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Khansa, yakni anak dari pamannya. Khansa lebih tertarik pada Abu Lubabah. Tetapi, ayahnya memaksakan pernikahan dengan kerabatnya.

Khansa pun mengadu pada Rasulullah Saw, dan Rasul pun membatalkan pernikahan itu. Seraya berpesan bahwa seorang ayah tidak berhak memaksakan pernikahan anak perempuannya.

Inilah yang ditulis Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad, yang juga ditulis Kyai Fakih, bahwa ‘seorang ayah tidak diperkenankan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak perempuannya yang sudah baliq dan berakal menyerahkan hartanya, padahal sang anak tidak rela.

Termasuk bagaimana mungkin seorang ayah memaksakan anaknya menyerahkan kelaminya pada laki-laki yang tidak disukai anaknya. Ridha dan ikhlas inilah yang dimaksudkan sebagai ‘an-taradin, memulai perjanjian (akad) pernikahan, kerelaan terjadinya sebuah akad pernikahan, tanpa paksaan atau ancaman.

***

Kelima, menumbuhkan cinta dan kasih sayang terus-menerus. Pernikahan dalam perspektif Kyai Fakih adalah kesalingan atau mubadalah, maksudnya, apa yang menjadi syarat pada suami, juga berlaku pada istri, demikian pula sebaliknya. Bila istri dituntut setia, demikian pula suami. Sehingga penyempurnaan pernikahan memang terjadi secara terus-menerus paska akad pernikahan.

Dari lima hal dalam kitab Mamba’ al-Sa’adah bab dua tersebut. Ada empat tema besar yang bisa kita simpulkan.

Tema Besar Pernikahan: Diawali dengan Ta’aruf Diakhiri dengan Akad

Yakni, pertama, pernikahan harus diawali dengan ta’aruf untuk saling mengenal dan membangun kesepakatan bersama seperti bila menikah lalu memiliki anak, apakah suami istri bersepakat saling bantu dalam pengasuhan anak, bukan dibebankan hanya pada istri. Itu dibicarakan ketika ta’aruf.

Bila salah satu bekerja dan mendapatkan promosi posisi dan gaji yang lebih besar, apakah pihak lain bersedia mendukung tanpa merasa rendah diri bila pasangannya punya jabatan, gaji lebih tinggi.

Baca Juga  Bolehkah Menikah Beda Agama?

Termasuk bila suatu saat dalam pernikahan, salah satu pihak sakit menahun, mengalami disabilitas, apakah tetap bersedia untuk bersetia, tidak selingkuh, tidak bercerai, dan tidak pula poligami.

Sehingga, ta’aruf bukan hanya membahas bisa tidaknya shalat, mengaji, gelar, atau lulusan mana, anak siapa. Tetapi ta’aruf juga membayangkan hal-hal masa depan dengan kesadaran konsekuensi penuh kesiapan mengambil sikap atas bangunan kesepahaman bersama yang sudah dibicarakan saat ta’aruf.

Kedua, khitbah. Sejatinya harus dijalani untuk semakin menguji kesiapan jelang pernikahan. Hal ini karena tahapannya sudah semakin maju dari ta’aruf. Misalnya pembicaraan tentang peran-peran yang selalu diperdebatkan banyak pihak, misalnya pembagian peran dan pekerjaan rumah tangga secara bersama, tanggung jawab pengasuhan, hingga pilihan-pilihan seberapa banyak punya anak dan seberapa sering istri akan hamil, hingga alat kontrasepsi apa yang nanti akan digunakan dengan kesadaran tanpa menyakiti tubuh perempuan atau berdampak buruk pada reproduksi perempuan. Sebagaimana aturan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi CEDAW, Deklarasi Kairo 1994, dan Beijing Plat Form 1995.

Ketiga, perjanjian pernikahan. Pernikahan adalah mitsaqon ghalidzan sebagai ikatan yang kokoh. Ikatan itu bisa dibangun dengan atau tanpa perjanjian pernikahan. Dalam kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah, perjanjian pernikahan dibolehkan dan sah. Termasuk perjanjian tidak akan berpoligami. Maka perjanjian ini menjadi syarat sah-nya sebuah pernikahan.

***

Di Indonesia, perjanjian pernikahan diatur dalam beberapa kebijakan, bisa pemisahan harta dalam pernikahan, hingga perjanjian lainnya. Dalam KUHPerdata, pasal 119 yakni ‘sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Pasal 35 Undang-undang Perkawinan, Pasal 29 Undang-undang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yakni:

  • Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  • Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  • Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
  • Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Serta, Pasal 45 hingga Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terutama, dalam Pasal 45 KHI, bahwa perjanjian pernikahan dibolehkan dalam bentuk taklik talak, dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Terakhir, akad. Sebagai hal yang fundamental dalam sebuah pernikahan juga harus dilalui dengan ‘an-taradin dua belah pihak. Menghadirkan perempuan dalam akad pernikahan, duduk bersama calon suami, wali dan saksi, tidak menempatkan perempuan sebagai calon istri dalam ruang terpisah, sudah memosisikan perempuan sejajar dengan laki-laki sejak awal pernikahan.

Baca Juga  Keluarga Sakinah: Sukses Investasi Dunia Akhirat

Akad ‘An-Taradin yang Ridha dan Ikhlas, Ta’aruf yang Setara

Bila perempuan menolak menjalani upacara adat yang bermaksud pengabdian istri pada suami seperti mencuci kaki laki-laki, maka pilihan itu harus dihargai. Hingga pilihan seorang perempuan yang tidak ingin dinikahkan oleh ayahnya karena ayahnya adalah pelaku KDRT, pelaku incest, atau meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun sehingga ibu kandung yang harus membesarkan anak-anaknya sebagai single parents termasuk tidak maunya nama ayah ditulis dalam undangan, disebutkan nama ayah dalam proses pernikahan juga patut dihargai dan dihormati serta dijalankan. Karena itu adalah pilihan merdeka perempuan. Dalam banyak kisah, Rasulullah Saw sudah mencontohkan bahwa suara perempuan wajib di dengar, sebagai pilihan merdeka, manusia utuh yang juga berhak bersikap.  

Pada akhirnya, pernikahan memang harus diniatkan untuk kebahagiaan dua belah pihak. Bukan kebahagiaan salah satu saja. Lalu yang lain ter-dzalimi. Semoga Ramadhan 2021 ketika semua berada di rumah menuntun kita pada upaya membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.

Dan bagi yang akan menikah, maka mohon persiapkan semuanya secara matang dan mulailah berani bersikap dan mengambil keputusan. Mari memulai dengan ‘an-taradin yang ridha dan ikhlas, ta’aruf yang setara, khitbah yang merdeka,membangun janji untuk saling setia dan bahagia, serta menyempurnakan sakinah mawaddah warahmah paska akad.

Editor: Yahya FR

Avatar
12 posts

About author
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I Anggota LHKP PP Muhammadiyah I Penulis Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Articles
Related posts
Review

Resensi Buku "Pemilu dan Pilkada 2024"

1 Mins read
Sinopsis Regenerasi kepemimpinan yang menjadi hajatan bangsa setiap 5 tahun sekali harus menjadi momentum penting untuk membawa Indonesia ke masa yang lebih…
Review

Resensi Buku: Kedewasaan Beragama

1 Mins read
Sinopsis Di tengah dunia yang terus berubah dengan segala kompleksitas masalahnya, agama semestinya menjadi semacam oase di tengah padang tandus. Agama menjadi…
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *