Tafsir

Akidah Kuat, Produktivitas Hebat

6 Mins read

Ajaran-ajaran fundamental yang menjadi dasar bagi ajaran agama dan menjadi pangkal pengamalan agama dalam  Islam disebut akidah. Sebagai dasar ajaran, akidah merupakan prinsip yang menjadi dasar pendirian mazhab dan diterima kebenarannya oleh para pengikutnya sebagai aksioma. Kemudian sebagai pangkal pengamalan agama, akidah merupakan keputusan hati yang mantap sehingga menjadi kepercayaan dan keyakinan yang diikuti umat.

Akidah dalam Islam, dikenal dengan akidah tauhid. Idealnya, akidah ini benar dan kuat-fungsional. Baik sebagai dasar ajaran, maupun sebagai pangkal pengamalan Islam. Akidah yang benar dan kuat ini dalam Al-Qur’an disebut kalimah thayyibah.

Kalimah Thayyibah

Kalimah thayyibah (perkataan baik) yang menunjuk kepada akidah yang benar dan kuat-fungsional, terdapat dalam Ibrahim, 14: 24-25.  Dalam ayat ini, kalimah thayyibah diumpamakan sebagai pohon yang baik (syajarah thayyibah), akarnya menghunjam dalam ke bumi, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan menghasilkan buah di setiap waktu.

Kata (kalimah) dalam Al-Qur’an tidak hanya digunakan dengan pengertian  “kata”, sebagaimana dalam bahasa, tapi untuk menunjuk banyak pengertian, termasuk ide yang menjadi keyakinan dan diungkapkan melalui perkataan dan perbuatan nyata. Seperti ide bahwa Tuhan memiliki anak yang diyakini kalangan tertentu, yang diungkapkan dalam pengakuan keimanan, dan perbuatan pemujaan kepada-Nya (Kahfi, 18: 4-5).

Jumhur ulama menjelaskan bahwa maksud kalimah thayyibah dalam ayat tersebut adalah kalimat La ilaha illa Allah, tidak ada Tuhan selain Allah. Telah diketahui bahwa kalimat ini merupakan bagian dari syahadat yang menjadi kredo dalam pernyataan memeluk Islam dan bacaan “zikir” yang paling utama untuk beribadah kepada Allah (HR Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasa’i). Dalam teologi Islam,  ditekankan bahwa  syahadat tidak hanya bermakna sebagai ucapan penanda memeluk Islam, baik bagi yang baru menyatakan atau sudah lama memeluknya, tetapi juga sebagai pengungkapan komitmen ber-Islam Kaffah.

Doktrin Islam Kaffah terdapat dalam al-Baqarah, 2: 208. Berdasarkan munasabah (pertautan) dengan 4 ayat sebelumnya (ayat 204-207), pengertian doktrin itu  adalah orientasi peradaban spiritual-materiil. Ini berarti bahwa perintah supaya umat masuk ke dalam “Islam” Kaffah dalam ayat dimaksud adalah perintah kepada umat untuk mengembangkan peradaban spiritual dan materiil secara bersama-sama.

Mereka tidak boleh hanya mengembangkan peradaban spiritual atau peradaban materiil saja. Jadi, umat yang hanya mengembangkan salah satu di antara 2 peradaban ini dengan mengabaikan yang lain berarti tidak ber-Islam Kaffah.

Dengan demikian, syahadat La ilaha illa Allah yang disebut syahadat tauhid adalah akidah tauhid yang menjadi dasar ajaran mazhab-mazhab dalam Islam yang dapat berfungsi sebagai landasan teologis untuk pengembangan peradaban spiritual dan materiil secara bersama-sama. Inilah akidah tauhid yang benar.

Baca Juga  Pengertian Ilmu Tajwid dan Hukumnya

Hanya saja dengan benar saja, akidah tauhid belum dapat disebut  kalimah thayyibah yang  dalam Ibrahim, 14: 24-25, sebagaimana disinggung di depan,    diumpamakan seperti  syajarah thayyibah yang menghasilkan buah tanpa ada musimnya.

Pesan dari perumpamaan ini adalah akidah tauhid di samping benar juga harus kuat-fungsional sehingga produktif menghasilkan kebaikan yang menjadi buah amal kebaikan umat di sepanjang waktu.

Sesuai dengan doktrin Islam Kaffah di atas umat yang akidahnya kuat harus terus-menerus melakukan amal kebaikan berupa usaha dan perbuatan mengembangkan peradaban spiritual dan materiil dengan  kekayaan dan ketinggiannya masing-masing.

Untuk menjadi kuat dan produktif demikian, akidah tauhid yang benar tidak cukup hanya  menjadi ajaran agama saja, tetapi harus menjadi sistem gagasan dan sistem sosial yang hidup di kalangan umat. Untuk dapat menjadi sistem demikian akidah tauhid harus sesuai dengan kesadaran dan kebutuhan umat sebagai hamba dan khalifah Allah dengan semua perannya di muka bumi.   

Aktualisasi kalimah thayyibah dengan pengembangan peradaban spiritual dan materiil secara bersama-sama merupakan wujud dari  keberagamaan positif, yakni keberagamaan yang membangun kehidupan.

Keberagamaan positif sebenarnya merupakan ajaran Al-Qur’an yang otentik tentang keberagamaan ketika dalam an-Nisa’, 4: 125 ia menegaskan keberagamaan terbaik dengan menyebutkan kapasitas umat sebagai muhsin.

Hamim Ilyas: Bagaimana Ciri-ciri Akidah Kuat

Kapasitas Muhsin

Muhsin merupakan kata benda bentuk pelaku (ism al-fa’il) yang kata kerjanya adalah ahsana-yuhsinu, bentuk transitif dari hasuna-yahsunu-husn-hasan. Arti kata husn, menurut al-Jurjani- meliputi 3 pengertian: keadaan sesuatu menarik bagi watak manusia, seperti gembira; keadaan sesuatu menjadi sifat kesempurnaan, seperti ilmu; dan keadaan sesuatu menjadi sandaran pujian, seperti ibadah (at-Ta’rifat, 1971: 46).

Pengertian ini diikuti oleh Abdul Mun’im al-Hafni yang memberikan tambahan pengertian dan penjelasan dengan ada perbedaan sebagian contoh. Dia menambahkan pengertian husn juga adalah keadaan sesuatu sesuai dengan tujuan dan memberikan maslahat.

Kemudian dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan watak dalam pengertian itu adalah watak manusia yang menyenangi manfaat dan menolak madharat. Selain itu, dia menjelaskan bahwa lawan dari husn itu adalah qubh, buruk. Sebagai lawan dari husn, qubh itu berarti keadaan sesuatu yang tidak disenangi watak manusia, seperti rasa pahit; menjadi sifat kekurangan, seperti kebodohan; dan sandaran celaan, seperti maksiat (al-Mu’jam al-Falsafi, 1990: 98-99).

Berdasarkan arti yang berkembang dalam bahasa dan filsafat ini, maka muhsin dalam an-Nisa’, 4: 125 itu memiliki pengertian yang luas, yakni  orang yang memiliki kapasitas untuk melakukan dan menghasilkan kebaikan-kebaikan dengan kriteria-kriteria berikut:

  1. Kebaikan itu menarik watak manusia yang menginginkan manfaat dan menolak madharat, seperti kemajuan, kegembiraan dan rasa manis.
  2. Kebaikan itu menyempurnakan hidup manusia sebagai makhluk kebudayaan, seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
  3. Kebaikan itu membuat hidup manusia terpuji, seperti akhlak dan ketaatan kepada Tuhan.
  4. Kebaikan itu mengantarkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya dan tujuan penyelenggaraan bidang-bidang kehidupan yang dikelolanya.
  5. Kebaikan itu memberikan maslahat berupa manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.
Baca Juga  Akidah Rusak Karena Belajar Filsafat, Masa?

Pengertian kebaikan yang luas itu tampaknya yang dimaksudkan oleh az-Zamakhsyari dan al-Baidlawi ketika  menjelaskan bahwa muhsin adalah orang yang melakukan  kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan. Juga yang dimaksudkan at-Thabari dalam memberi pengertian muhsin sebagai orang yang melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan, mengharamkan segala yang diharamkan dan menghalalkan segala yang dihalalkan-Nya.

Di samping berhubungan dengan makna kata, keluasan pengertian muhsin juga berhubungan dengan bentuk transitifnya yang membutuhkan obyek. Obyek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebaikan dalam ayat tersebut tidak disebutkan. Dalam tafsir, ada kaidah ‘adam dzikr al-maf’ul bih yadull ‘ala al-‘umum, tidak disebutkannya obyek menunjukkan bahwa cakupannya (obyek) luas.

Berdasarkan kaidah ini, maka sasaran kapasitas melakukan dan menghasilkan kebaikan yang dimaksudkan dalam ayat itu luas meliputi diri sendiri dan pihak lain, baik sesama manusia maupun sesama makhluk Allah yang lain.

Never Ending Process of Ihsan

Pemahaman bahwa muhsin dalam an-Nisa’, 4: 125 adalah orang yang memiliki kapasitas melakukan dan menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri dan pihak lain, diberikan   berdasarkan bentuknya sebagai kata benda (ism al-fa’i) yang memiliki pengertian lebih kuat daripada  kata kerja ahsana-yusinu.

Kata kerja ahsana menunjukkan bahwa pelakunya telah melakukan perbuatan baik, namun   belum tentu dia orang yang baik atau  dia orang baik, tapi melakukan kebaikan belum menjadi identitasnya.

Adapun ism al-fa’il menunjukkan bahwa yang disebut muhsin adalah orang yang melakukan  kebaikan yang sebanyak-banyaknya dan yang dilakukannya ini menghasilkan kebaikan yang juga sebanyak-banyaknya  bagi dirinya sendiri dan pihak lain yang menjadi sasaran kebaikannya. Hal ini terus menerus terjadi sehingga dia dikenali dengan identitas sebagai pelaku kebaikan.  

Pemahaman demikian seperti pemahaman kata “penulis” yang hanya dapat digunakan untuk menyebut orang yang profesinya adalah menulis dan tidak dapat digunakan untuk menyebut orang yang melakukan perbuatan menulis, meskipun tiap hari dia melakukannya.

Manusia memiliki kemampuan untuk menjadi muhsin dengan pengertian di atas. Karenanya dalam al-Qashash, 28: 77 Allah memerintahkan Nabi SAW  (dan umatnya) untuk berbuat baik dan  memberikan kebaikan sebagaimana Dia telah berbuat baik dan memberikan kebaikan kepadanya (dan kepada mereka).

Baca Juga  Tiga Kandungan Pokok Alquran: Tujuan, Cara, dan Bukti

Dengan perintah ini, Dia tidak bermaksud supaya mereka melakukan dan memberikan kebaikan yang tidak  terhitung dan tidak terbatas sebagaimana yang Dia lakukan dan berikan. Perintah ini di luar kemampuan mereka untuk melakukannya. Allah tidak mungkin memberi perintah demikian.

Dengan perintah itu, Dia bermaksud supaya mereka melakukan dan memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya dengan terus-menerus melakukan dan memberikannya sebagaimana yang Dia lalukan dan berikan. Ini berarti manusia harus menempuh never ending process of ihsan, proses ihsan yang tiada akhirnya, supaya mereka dapat melaksanakan perintah tersebut.

Untuk dapat tepat melaksanakan never ending  process of ihsan, manusia harus melakukan dan menghasilkan kebaikan sesuai dengan kedudukan mereka sebagai hamba dan khalifah Allah dengan peran-peran yang melekat pada mereka secara optimal dan maksimal, yaitu peran-peran yang seharusnya dilaksanakan dengan baik sebagai:

  1. Pribadi (Ali Imran, 3: 159 – lemah lembut  dan  memiliki tekad yang kuat)
  2. Hamba Allah (al-Furqan, 25: 63 – ramah dan damai) 
  3. Anggota keluarga (an-Nisa’, 4: 19 – mu’asyarah bil ma’ruf, saling bergaul dengan baik)
  4. Warga komunitas (Ali Imran, 3: 113 –ummah qa’imah, komunitas yang menegakkan nilai-nilai kehidupan)
  5. Warga masyarakat (al-Baqarah, 2: 148 –fastabiqul khairat, berada di depan dalam semua kebaikan)
  6. Warga negara (al-Baqarah, 2: 126 – negara yang aman dan damai serta kemakmuran untuk seluruh warga negara)
  7. Warga dunia (al-Baqarah, 2: 37 – bumi tempat yang menyenangkan bagi  manusia).

Penutup

Dari uraian di atas jelas bahwa  akidah kuat, dalam perpektif Al-Qur’an, membuat penganutnya menjadi muhsin yang menghasilkan produktivitas hebat dalam mengembangkan peradaban spiritual dan materiil. Konkritnya, muslim yang kuat akidahnya adalah orang yang mantap imannya, khusyuk ibadahnya, mulia akhlaknya, kuat etos kerjanya, monumental karyanya, tinggi ilmunya, canggih teknologinya, makmur ekonominya, dan seterusnya. Hasilnya pun nyata: unggul peribadinya, muthmainnah dirinya, sakinah keluarganya, tegak komunitasnya, maju masyarakatnya, sejahtera negaranya, dan bahagia bangsa manusianya.

Penegakan akidah kuat-produktivitas hebat demikian, membuat muslim tidak hanya menegakkan kalimah thayyibah, tapi juga 3 kalimah Allah yang lain, yaitu kalimah Rabbika, keputusan-Nya yang lengkap kebenaran dan keadilannya (al-An’am, 6: 115);  al-kalimah Allah hiya al-‘ulya, keimanan kepada-Nya yang mengalahkan kepercayaan atau  ideologi-ideologi yang lain (at-Taubah, 9: 40); dan kalimah rabbikal husna, keputusan Allah yang terbaik untuk membebaskan dari kesengsaraan (al-A’raf, 7: 137).

Hal ini berarti bahwa  perjuangan li i’lai kalimatillah, meninggikan kalimat Allah, yang benar  adalah mengembangkan peradaban  spiritual dan materiil secara bersama-sama itu sampai sekaya-kayanya dan setinggi-tingginya sehingga semua umat manusia bahagia sebahagia-bahagianya.  

Hamim Ilyas: Ciri kebaikan Seorang Muhsin
Editor: Yahya FR
Desainer: Galih QM
Avatar
28 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *