Al-Baghawi merupakan seorang fakih, muhaddis, dan mufassir yang banyak mengkaji tentang Al-Qur’an, hadis, dan sunnah nabawiyyah. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad al-Husayn bin Mas’ud bin Muhammad al-Farra’ al-Baghawi. Sumber tradisional Arab sering mengacu kepadanya dengan istilah al-Farra’.
Dari Al-Farra’ hingga Muhyi al-Sunnah
Sebutan ini disebutkan beberapa sumber, seperti al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi’ulum Al-Qur’an misalnya, sebagai acuan pada profesinya sebagai seorang pedagang bulu binatang. Namun sebagian juga menyebutkan bahwa profesi tersebut adalah pekerjaan sang ayah, Mas’ud bin Muhammad, dan sebutan itu adalah milik beliau.
Sebagian besar menyebutnya sebagai al-Baghawi, yang dinisbahkan kepadanya dari nama kampung halamannya sendiri, yakni Bagha, sebuah kampung di Provinsi Khurasan, Iran, yang terletak di antara Hirrah dan Maruw.
Ketepatan tahun kelahiran al-Baghawi masih diperdebatkan. Menurut Yaqut ibn Abdullah al-Hamawi, ia lahir pada tahun 1041 (433 Hijriah) dan wafat pada tahun 1122 M (516 Hijriah). Sedangkan Khayruddin al-Zirikli mengungkapkan bahwa al-Baghawi lahir pada tahun 1044 (436 Hijriah), dan berdasarkan Ali Ayaziy, ia lahir pada tahun 1046 (438 Hijriah) dan wafat pada tahun 1122 M (516 Hijriah).
Semasa hidupnya, terdapat sejumlah julukan yang diberikan kepadanya, seperti rukn al-din, muhyi al-sunnah, zahir al-din, qami’ al-bid’ah, shaikh al-Islam, dan seterusnya. Salah satu yang termasyhur adalah muhyi al-sunnah (orang yang menghidupkan sunnah), yang mana julukan ini berawal dari kisah yang diungkapkan al-Baghawi sendiri dalam kitab Sharh al-Sunnah.
Ia mengaku bahwa setelah kitab itu selesai ditulisnya, Rasulullah ﷺ datang dalam mimpinya dan mengatakan, “Ayhayta sunnati bi syarh ahaditsiy.” yang artinya, “Engkau telah menghidupkan sunahku karena engkau menjelaskan hadis-hadisku.”
Keistimewaan Perangai al-Baghawi
Banyak sumber yang menyebutkan bahwa al-Baghawi dikenal sebagai seorang yang sederhana, seorang yang zuhud (hatinya bebas dari pengaruh duniawi), wara’ (saleh), dan qana’ah (selalu merasa bersyukur dan berkecukupan).
Tajuddin as-Subki pernah mengatakan dalam bukunya, Syadzarat adz-Dzahab, bahwa dari sifat zuhud dan qana’ah al-Baghawi, sampai-sampai makannya selalu hanya dengan menggunakan roti. Apabila bosan, ia mencampurkan minyak zaitun pada rotinya.
Muhammad Ali Ayaziy juga menyebutkan bahwa sifat wara’ al-Baghawi dicerminkan dari kebiasaan bersuci al-Baghawi sebelum ia pergi mengajar. Dan saking sederhananya, hampir seumur hidupnya al-Baghawi tidak pernah mencampuri urusan politik, serta berhubungan dengan penguasa maupun pejabat politik.
Awal mula studi Islam al-Baghawi berawal dari kampung halamannya, di mana di sana ia belajar fikih dan hadis sebelum berguru pada al-Imam al-‘Allamah al-Qadhi al-Husain bin Ahmad bin Muhammad al-Marwarudzi, atau Imam Qadhi Husain, seorang qadi dan tokoh mazhab Syafi’i.
Gurunya pun tidak hanya satu. Beberapa ulama menyebutkan bahwa al-Baghawi cukup sering bepergian demi belajar dari beragam ulama yang berbeda di berbagai macam tempat.
Identitas para guru tersebut melingkupi Abu ‘Umar ‘Abdu al-Wahid bin Ahmad al-Malihi, Abu al-Hasan Muhammad bin Muhammad al-Shiraziy, Abu al-Hasan Abd al-Rahman bin Muhammad al-Dawudiy, Ya’qub bin Ahmad al-Sairafi, Abu al-Hasan ‘Ali bin Yusuf al-Dawudiy, dan masih banyak lagi.
Selain belajar, kegiatan al-Baghawi juga diisi dengan mengajar. Para muridnya adalah antara lain adalah Abu Mansur Muhammad bin As’ad al-‘Attariy, Abu al-Futuh Muhammad bin Muhammad al-Ta’iy, Abu al-Makarim Fadlullah bin Muhammad al-Nauqaniy, Al Fakhr bin ‘Ali al-Bukhariy, dan seterusnya.
Ahli sejarah sepakat bahwa ketika wafat, jasad al-Baghawi disemayamkan tak jauh dari pemakaman gurunya, sang qadi, Imam Qadhi Husain, di pemakaman al-Talaqani, Marwarrudz.
Daftar Karyanya
Karya al-Baghawi terbilang beragam dari hukum Islam, penafsiran teks kitab suci Al-Qur’an, hingga sunnah dan hadis. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Ma’alim al-Tanzil, atau biasa disebut sebagai Tafsir al-Baghawi, kitab tafsir Al-Qur’an.
Kedua, At-Tahdhib fi Fiqh al-Iman ash-Shafi’i, membahas tentang yurisprudensi Islam.
Ketiga, Sharh as-Sunnah, membahas tentang penjelasan mengenai sunnah Rasulullah ﷺ.
Keempat, Masabih as-Sunnah, juga membahas tentang ilmu sunnah Rasulullah ﷺ.
Kelima, Al-Arba’in Hadithan, membahas tentang ilmu hadis.
Keenam, Al-Jam’u baina al-Sahihayn, masih tentang ilmu hadis.
Ketujuh, Al-Anwar fi Shamail an-Nabi al-Mukhtar, mengkaji syamail (pembahasan sosok dan perilaku Rasulullah ﷺ) dan hadis.
Kedelapan, Majmu’ah min al-Fatawa, membahas tentang ilmu fikih.
Dan seterusnya, mengingat tidak semua karya beliau didokumentasikan secara pasti.
Editor: Zahra