Feature

Al-Hanafiyyah Al-Samhah, Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia

3 Mins read

Toleransi yaitu sikap menghargai, menghormati antar kelompok dalam lingkup yang lain. Dalam Al-Qur’an pun ,agama Islam mengajak kepada umatnya untuk selalu menjalin kehidupan yang harmonis sesama umat manusia.

Sejak era globalisasi, kelompok atau orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti dituntut agar bisa bersinergi, berkolaborasi, bersosialisasi antar sesama. Tuntutan untuk bisa hidup berdampingan itu bisa dibilang terjadi di seluruh bagian dunia.

Belum lama di Amerika, dimana orang berkulit hitam diperlakukan tidak adil oleh oknum polisi. Lalu komunitas Black Lives Matter (BLM, dari bahasa Inggris “nyawa orang kulit hitam itu berarti) atau sebuah gerakan aktivis mancanegara dari Afrika Amerika menentang kekerasan maupun rasisme sistemik terhadap orang kulit hitam.

Seperti yang kita tahu, sejak dahulu orang kulit hitam dijadikan budak dan tidak memiliki hak untuk hidup dengan layak sebagaimana orang berkulit putih. Itulah contoh praktik rasisme yang melakukan diskriminasi terhadap kelompok minioritas. Berbeda warna kulit saja ternyata dianggap pengganggu di lingkup beberapa negara rarisme, apalagi berbeda keyakinan?

Keberagaman Indonesia

Salah satunya di Indonesia sendiri. Sebagai mayortitas, Indonesia mempunyai semboyan Bhinekka Tunggal Ika secara harfiah diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.

Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Dari semboyan negara kita pun diajarkan apa itu toleransi. Dimana Indonesia dengan jumlah total populasi sekitar 250 juta penduduk, mempunyai lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, ada lebih dari 600 bahasa daerah yang dipakai di 34 provinsi dan bicara soal agama, ada 6 agama di Indonesia yang di akui yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu.

Baca Juga  Cikal Bakal Percetakan Pertama di Muhammadiyah

Belum lagi agama-agama aliran kepercayaan lainnya. Menghargai keyakinan orang lain, mempunyai pikiran terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan sebagai mayoritas atau minioritas adalah hal yang perlu kita terapkan dimanapun.

Dalam sejarahnya, umat Islam pernah menjadi kelompok minoritas dan juga mayoritas di suatu tempat. Ketika berposisi sebagai mayoritas, umat Islam telah membuktikan mampu hidup damai dengan kelompok minoritas.

Dalam pemerintahan Islam, kelompok minoritas ini menjadi tanggung jawab dan hak-hak mereka harus dijaga dan dipenuhi. Tapi ironisnya, isu toleransi di Negara kita masih sering terjadi.

Entah itu kesulitan membagi rumah ibadah, penyerangan, perusakan, dan pengusiran penganut aliran lain, mendebatkan ajaran yang satu dengan yang lainnya dan masih banyak peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan yang dinilai tidak sesuai dengan janjinya soal pemenuhan hak asasi manusia.

Teleransi dalam Beragama

Mendebatkan ajaran kita dengan yang lainya itu tidak akan ada habisnya karena memang dari frekuensinya saja sudah berbeda, semua agama itu mengajarkan kebaikan tinggal kitanya saja bagaimana akan yang menjalankanya.

Semua orang mempunyai keyakinan yang berbeda-beda, keyakinan kita sebagai umat islam yaitu;

 أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.

Kita tidak boleh memaksa kehendak orang lain agar mempunyai keyakinan yang sama seperti kita. Toleransi itu intinya menghornati pendapat pihak lain, ajaran lain, walaupun kita tidak setuju.

Jika kita sedang menjadi minioritas ingin di perlakukan dengan baik di Negara orang, maka perlakukanlah ke mereka semua yang menjadi minioritas di Negara ini dengan sama rata jangan di beda-bedakan. Seperti dalam makna tafsir berikut;

Baca Juga  Buletin Jumat: Praktik Toleransi ala Rasulullah

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ لَكُمْ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” Surat Al-Kafirun Ayat 6.

Yakni jika kalian telah rela dengan agama kalian, maka aku juga telah rela dengan agamaku. Dan agama kemusyrikan kalian itu hanya bagi kalian dan tidak akan mempengaruhiku; begitu pula agama ketauhidanku hanya bagiku dan tidak akan sampai kepada kalian pahalanya (Zubdatut Tafsir).

Bagi kalianlah agama kalian, yaitu kemusyrikan yang kalian yakini. Dan bagiku agamaku yaitu tauhid dan Islam yang Aku yakini dan tidak akan Aku ingkari. Kesimpulannya yaitu bahwa Tuhan yang kita sembah tidak sama, dan peribadatan kita juga tidak sama. Bagi kalian agama kalian dan kalian bertanggung jawab atas hal itu, dan bagiku agamaku dan aku bertanggung jawab atas hal itu (Tafsir al-Wajiz).

Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri menamai Islam sebagai Al-Hanafiyyah Al-Samhah, ajaran yang lurus tapi penuh toleransi, bisa juga diartikan sebagai semangat mencari kebenaran yang lapang dada, toleran tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.

***

Toleransi dimaknai dengan mundur selangkah demi mencapai hubungan harmonis, mundur tetapi tidak mengorbankan prinsip toleransi membawa kita pada kedamaian bermasyarakat yang indah, jika kita memahami tentang prinsip perbedaan dan keberagaman yang merupakan Sunnatullah. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menunjukan sikap toleransi.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds