Saya adalah anak Muhammadiyah yang dibesarkan dengan sentimen anti-NU. Ada banyak keluhan tentang NU yang saya dengar ketika kecil, hal ini membuat saya memandang entitas NU secara negatif saat masih kanak-kanak. Padahal, orang NU itu sama sekali tak pernah saya temui. Di kampung kami, kelompok tradisional diwakili oleh PERTI atau lebih sering kami sebut tarbiyah (bukan tarbiyah PKS). Sepengetahuanku, tak ada orang NU di kampung kami.
Cerita dari Masa Kecil
Interaksi saya dengan NU hanya melalui buku-buku. Ayah saya memiliki banyak buku-buku tentang NU sebanyak ia memiliki buku-buku tentang Muhammadiyah. Salah satu buku yang saya pinjam dari ayah dan tamat saya baca saat duduk di kelas 2 SMP adalah Guruku Orang-orang dari Pesantren yang ditulis oleh Saifuddin Zuhri.
Saat berdiskusi tentang isi buku itu, ayah saya bilang, “Macam tu lah kelakuan orang NU tu, tunduk mati sama kiainya. Kelakuan kayak gitu ndak laku di Muhammadiyah.”
Saya yang mendengar kalimat itu segera menginternalisasi bahwa Muhammadiyah lebih baik dari pada NU.
Kami, kelompok masyarakat yang tumbuh dalam sistem sosial yang diciptakan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, memang lebih terbiasa dengan atmosfer egaliter dalam berhubungan sosial. Kami tak mengenal “rasa” tinggi rendah dalam berinteraksi, maka dari itu tak pernah ada spirit kepatuhan mutlak terhadap otoritas.
“Tegak sama tinggi, duduk sama rendah. Yang tua tak disebut gelar, yang muda tak disebut nama.”
Begitulah petatah-petitih yang sering diulang-ulang disetiap permulaan acara di kampung kami, petatah-petitih yang mengingatkan bahwa semua orang yang ada dalam forum adalah setara.
Dengan latar belakang sosial dan budaya seperti itu, menjadi bisa kupahami mengapa keluarga besarku lebih bisa menerima budaya yang berkembang di Muhammadiyah dari pada budaya yang berkembang di NU.
Mengenal NU Saat Dewasa
Kelak, saat sudah lebih dewasa dan sudah memiliki kapasitas intelektual yang cukup, saya memandang budaya-budaya itu bukan sebagai sesuatu yang lebih tinggi, lebih rendah, lebih baik, dan lebih buruk, tapi hanya soal keterbiasaan dan preferensi. Baik dan buruknya tidak ditentukan oleh budaya yang terbentuk, tapi ditentukan oleh kondisi-kondisi yang menyertai.
Ada kalanya sikap egaliter Muhammadiyah itu menjadi sesuatu yang menyenangkan, tapi ada kalanya juga sikap egaliter itu menghasilkan sesuatu yang sangat menyebalkan. Contohnya, bisa kita lihat di grup-grup FB bagaimana orang-orang Muhammadiyah sendiri mampu menuding dan berkata-kata tidak pantas terhadap dua orang tua Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif dan Pak Amien Rais. Sesuatu yang saya kira takkan terjadi di NU, kader atau simpatisannya bisa menghina para tetuanya.
Demikian pula dengan sikap tunduk orang-orang NU terhadap kiainya. Hal ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan disatu kondisi, tapi juga bisa berubah menjadi sesuatu yang menyebalkan di kondisi yang lain. Kondisi seperti apa yang membuat budaya tunduk itu menjadi menyebalkan? Saya tidak tahu. Tentu hal semacam ini hanya diketahui dan menjadi rasan-rasan di kalangan NU sendiri.
Demikianlah dengan pemahaman ini saya tak lagi memandang NU dan Muhammadiyah sebagai sesuatu yang tinggi-rendah atau baik-buruk. Saya tak berminat lagi mengukur apapun yang menjadi budaya NU dengan ukuran-ukuran budaya Muhammadiyah yang saya punya. Saya akhirnya memilih sikap ‘bagimu ormasmu, bagiku ormasku’ tanpa pusing memikirkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara Muhammadiyah dan NU.
Imajinasi dan Kenyataan
Hal ini ditambah pula dengan interaksi saya yang terlambat dengan orang-orang NU. Ya, saya baru berinteraksi dengan orang-orang NU setelah berada di Jogja. Pengalaman berinteraksi langsung dengan beberapa teman-teman NU membuat saya merevisi beberapa imajinasi saya tentang orang NU.
Misalnya, saat saya bertemu dengan Prof. Abdul Gaffar Karim. Saya pernah yakin benar bahwa Prof. Gaffar adalah orang Muhammadiyah dan terkejut sekali saat mengetahui bahwa beliau adalah NU tulen. Padahal, profilnya tidak sesuai dengan profil NU yang ada dalam imajinasi saya.
Demikian pula sebaliknya, saya pun berkali-kali diduga NU oleh beberapa orang di dunia maya dan di dunia nyata. Padahal, kurang terbuka gimana saya di media sosial bahwa saya adalah bagian dari keluarga besar Muhammadiyah? Apa yang terjadi mungkin sama dengan apa yang saya alami. Bagaimana bagi sebagian orang profil saya mungkin tidak sesuai dengan profil Muhammadiyah yang ada dalam imajinasi mereka.
Kita mungkin merasa sangat mengenal Muhammadiyah dan sangat mengenal NU, tapi tak menutup kemungkinan proses kognitif kita tak sempurna dalam memproses informasi apa sebenarnya Muhammadiyah dan apa sebenarnya NU. Dan, sangat mungkin kita berperasaan salah terhadap sesuatu yang tak demikian adanya.
***
Maka dari itu, pikir-pikirlah dulu bila hendak melepaskan olok-olok dan berkomentar negatif terhadap Muhammadiyah dan NU. Jangan-jangan, kita hanya sedang memuaskan hasrat dan melampiaskan emosi negatif karena imajinasi yang salah dan pemahaman yang parsial tentang Muhammadiyah dan NU.
Editor: Nabhan