Dalam perspektif antropologi pada sejatinya pakaian adalah bagian dari cara manusia untuk beradaptasi dengan alam (lingkungan) agar bertahan (survive). Kebudayaan pada hakekatnya adalah strategi manusia menghadapi alam. Walhasil, pakaian itu adalah kebudayaan.
Antropologi Pakaian
Tentu kebudayaan itu dalam manifestasinya nanti dipengaruhi oleh adat (custom), kepercayaan (beliefs), dan nilai-nilai (value) yang dianutnya. Bahkan, adat, kepercayaan, atau nilai-nilai itu menjadi pola dari dan pola bagi tindakan budayanya. Ilmu yang mempelajari corak dan model pakaian sebagai fenomena kebudayaan biasanya disebut antropologi busana atau antropologi pakaian (Anthropology of Dress and Fashion).
Sebagai kebudayaan pakaian itu berbeda dari satu suku bangsa ke suku bangsa yang lain. Masing-masing kebudayaan memiliki jenis dan corak pakaian yang berbeda sesuai alamnya masing-masing. Di negara yang memiliki musim dingin (winter) dan musim panas (summer) manusia menciptakan pakaian untuk menghadapi musim dingin dan pakaian untuk menghadapi musim panas.
Dalam musim dingin di bawah nol derajat yang menggigil, manusia menciptakan pakaian tebal atau mantel (overcoat). Jika tidak demikian mereka akan membeku dan mati kedinginan.
Bagi orang yang tinggal di negara tropis seperti Indonesia pakaian yang khusus seperti itu tidak diperlukan. Yang penting nyaman dan menyerap keringat yang terbuat dari bahan kapas (cotton). Seperti halnya orang Arab yang hidup di padang pasir yang gersang dengan tingkat kelembapan udara yang khusus mereka akan membuat pakaian sesuai dengan lingkungan alamnya sendiri.
Pakaian Orang Arab
Orang Arab menyukai pakaian terusan lengan panjang yang menjuntai ke bawah sampai melewati mata kaki yang dinamakan thawb atau thob, qomish (gamis), Robe, Kaftan, atau Tunik. Di Irak dan Biladu Syam (Levant) disebut dhisdashah. Sementara di negara-negara Arab Afrika Utara disebut jilabiyah, jelaba atau gandura.
Biasanya pada musim panas mereka cenderung memilih yang berwarna putih, dan jika musim dingin berwarna hitam atau biru laut. Di negara-negara Arab Teluk seperti Emirat Arab (Dubai, Abu Dhabi, Sarjan, dan lain-lain) pakaian seperti itu namanya juga kandora, dengan sedikit berbeda pada kerahnya saja.
Laki-laki juga mengenakan takiyah di kepalanya, yakni kopiyah putih (di Indonesia disebut kopyah putih di Malaysia disebut songkok haji). Di Palestina dinamakan ghutrah atau ghutra di kepala, yakni tutup kepala berwarna putih dan hitam, shumagh, lengkap dengan igal atau agal sebagai pengikatnya. (sering dipakai Yasser Arafat, pemimpin PLO dan Presiden Palestina yang legendaris itu).
Di Arab Saudi bagian utara laki-laki mengenakan penutup kepala tradisional yang namanya mihramah, dan mudhawarah. Ghutrah tanpa agal sering disebut dengan hamdaniyah agar terasa lebih kasual dan santai. Kemudian dilengkapi celana panjang (shirwal, izhar) warna putih.
Laki-laki Arab Saudi juga mengenakan mishlah atau ‘aba, yakni jubah berwarna coklat atau hitam semacam cloak atau bist. Jubah ini dikenakan sebagai pakaian formal para pejabat kerajaan, dan juga oleh imam sholat dan para khatib di Arab Saudi. Juga selalu dikenakan pada acara-acara resmi sebagai pakaian nasional. Lihat saja Raja Arab Saudi atau amir-amir negara Arab Teluk lainnya beserta seluruh pejabatnya selalu mengenakan pakaian tradisional tersebut dengan penuh percaya diri yang luar biasa mengagumkan.
Demikianlah kira-kira pakaian baku dan standar bagi laki-laki Arab terutama Arab Teluk seperti di Kerajaan Saudi Arabia. Mereka tampil seperti itu dalam semua forum internasional di dalam dan di luar negeri, ketika menerima tamu negara atau melakukan kunjungan resmi kenegaraan, tanpa sedikitpun kelihatan minder, apalagi malu hati dan rendah diri. Alih-alih ada rendah diri (inferiority complex), mereka malah tampil dengan pakaian tradisionalnya dengan penuh kebanggaan dan bermarwah sebagai sebuah bangsa yang berkepribadian secara kebudayaan.
Sementara perempuan Arab kalau acara keluar rumah atau ke tempat lain yang diperkirakan akan sampai dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrim mereka biasa mengenakan abaya warna hitam yang mungkin sekali untuk menutup pakaian mereka yang sangat modern dan modis yang sudah dikenakan di dalam. Pakaian perempuan sangat fashionable yang biasanya sangat modern dan modis itu hanya akan diperlihatkan kepada sesama perempuan atau laki-laki yang masih muhrim.
Semakin Tradisional Semakin Maju?
Sangatlah menarik untuk diteliti mengapa bangsa-bangsa Arab yang teguh berpakaian tradisional justru tampil menjadi negara-negara Arab yang paling kaya dan maju. Ndelalah juga negara-negara yang pemimpin dan rakyatnya tetap setia dengan pakaian tradisonalnya tersebut adalah juga memiliki sistem ketatanegaraan yang tradisional pula: kerajaan atau keamiran yang bercorak monarki.
Berbeda sama sekali dengan negara-negara Arab yang pakainnya sudah “modern” dan sistem kenegaraannya sudah menjadi republik dan “demokrasi”. Mungkin hanya kerajaan Jordan yang cara berpakaiannya sudah Barat tetapi negaranya tetap monarki.
Negara-negara Arab Teluk seperti Emirat, Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman, tampil sangat maju. Kota-kotanya sangat maju dan modern, bahkan nyaris tak ada bedanya dengan kota-kota besar di Eropa, tetapi budaya berpakaian warga negaranya masih bertahan dengan pakaian tradisonal yang anggun itu. Apalagi Emirat dan Qatar: kota-kotanya, seperti Dubai, Abu Dhabi, atau Doha sangatlah maju dan modern, bersih dan rapi, dengan gedung-gedungnya menjulang tinggi laksana pencakar langit yang dibangun dengan teknologi tinggi dan bagus. Bahkan Al-Buruj, bangunan tertinggi di dunia ada di Dubai.
Singkatnya, negara-negara Arab Teluk yang pakaiannya tradisional itu kondisi insfrastrukturnya serba modern, sistem transportasinya maju, dan malah sudah menjadi kota pintar (smart city).
Mungkin ada yang membantahnya dengan mengatakan bahwa itu semua karena minyak. Tapi kalau benar karena minyak bagaimana kita menjelaskan kemajuan Dubai yang nota bene tidak memiliki minyak seperti Abu Dhabi? Tapi Dubai memiliki maskapai penerbangan dan bandara internasional terbesar di dunia, pasar yang paling berkembang pesat, dan memiliki expatriate dari seluruh dunia yang secara prosentasi terbesar di dunia. Tidak mungkin menjadi negara yang menarik orang asing datang begitu besarnya kalau bukannya karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menjanjikan.
Emirat Arab adalah negara kecil yang sangat powerful di Timur Tengah karena kemampuan militernya yang sangat kuat didukung dengan alutsista yang sangat canggih. Dan menariknya, pemimpin-pemimpinan keamiran Arab berpakaian Arab tradisional. Di manapun dan kapanpun baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam forum formal.
Lihat saja ketika MBZ menerima kunjungan resmi Presiden Joko Widodo belum lama berselang untuk dimohon menjadi pengarah pembangunan ibukota RI yang baru di Kalimantan Timur. Bayangkan saja kemajuan dan kehebatan UEA.
Sementara negara-negara Arab lainnya yang berbentuk republik yang nota bene pakaiannya sudah “modern” (baca: pakaian orang Eropa) justru secara ekonomi miskin, secara politik tidak stabil, dan secara militer lemah. Sangatlah menarik untuk diteliti korelasi antara pakaian Arab tradisional dan kemajuan yang dicapai oleh suatu negara Arab, apapun pengertian kemajuan tersebut.
Negara-negara Arab yang dalam berpakaian bergaya Barat tidak ada satupun yang maju perekonomiannya. Sementara sebaliknya: negara-negara Arab yang dalam berpakaian tetap tradisional adalah negara-negara yang maju dan kaya. Lihatlah GDP per capita UEA ($40,325), Kuwait ($29,616), Qatar ($61,264), Oman ($15,170), Bahrein ($23,715), dan last but not least Kerajaan Saudi Arabia ($20,747).
Bandingkan saja dengan negara-negara Arab yang sudah meninggalkan pakaian tradisionalnya: Mesir ($2,441), Irak ($5,114), Aljazair ($4,048), Tunisia ($3,494), Maroko ($3,083), Lebanon ($7,857), State of Palestine ($3,054), Sudan ($2,879), Jordan ($4,095), dan Yaman ($1,123).
Walhasil, dilihat dari sudut antropologi, negara-negara Arab yang masih mempertahankan pakian aslinya yang tradisional cenderung semakin kaya perekonomiannya dan juga makin maju. Sebaliknya negara-negara Arab yang sudah meninggalkan pakaian tradisionalnya justru secara ekonomi lemah, secara politik tidak stabil, dan secara kebudayaan tidak berkepribadian. Benar-benar sebuah misteri yang misterius.
Tentu ini perspektif ilmu antropologi yang mungkin berbeda dengan perspektif keilmuan lainnya, seperti misalnya, ilmu ekonomi. Namanya juga antropologi…hehehe*