Banyak yang sering salah kaprah dalam memahami Islam Nusantara (IN). Memandang kalau IN adalah sejenis sekte atau aliran Islam yang baru. Dan, bagi mereka sebab Islam itu ya hanya Islam saja, sehingga tidak ada yang namanya IN melainkan hanya kesesatan berpikir.
Kekeliruan demikian disebabkan cara memahami IN semata dengan pendekatan yang normatif. Sehingga, terjebak pada anggapan kalau IN adalah Islam lain atau Islam baru yang bersumber dari Nusantara, bukan lagi Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, konsep IN tidak demikian.
Jika kita mau menggeser sedikit pandangan dalam memahami IN, dari semata normatif ke pendekatan yang lebih antropologis, misalnya, maka akan dapat dipahami bahwa IN sederhananya adalah keragaman dalam berislam.
Secara normatif sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, dan dalam pengamalannya (keberislaman) memunculkan keragaman. Sebagaimana dijelaskan M. Abdul Karim dalam buku Islam Nusantara, bahwaAl-Qur’an dan Sunnah tidak terikat oleh batasan ruang dan waktu. Namun, karena ajarannya seringkali bersifat umum, sehingga memberikan ruang ijtihad dan dapat mengaplikasikan Islam pada setiap kondisi masyarakat.
***
Ketika Islam masuk dan menyebar di Nusantara, maka ajaran Islam yang universal untuk seluruh manusia diperhadapkan pada kondisi masyarakat Nusantara, yang kemudian membuat Islam menusantara atau diaplikasikan pada keadaan masyarakat setempat. Satu konsep yang oleh Gus Dur disebut dengan istilah “pribumisasi Islam”.
Rumadi Ahmad dalam artikel Rancang Bangun Islam Nusantara, menjelaskan bahwa secara istilah IN adalah Islam yang tumbuh, berkembang, dan hidup di kawasan Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat ajaran Islam dengan realita dan budaya Nusantara.
Ini sejalan dengan penjelasan Kiai Aqil Siradj (dalam satu video) bahwa IN bukan mazhab baru, aliran baru, atau sekte baru, melainkan hanya tipologi (watak) Islam yang ada di kawasan Nusantara.
Kawasan Nusantara tersebut jika mengacu pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebutan (nama) bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Sementara, jika melihat kata Nusantara dari versi awalnya, di masa Majapahit dalam Sumpah Palapa-nya Gajah Mada, maka merujuk pada seluruh wilayah Asia Tenggara.
Jadi, IN tidak hanya sebatas tipologi Islam pada wilayah Kepulauan Indonesia saja, namun bisa dipahami lebih luas lagi ke kawasan sekitarnya (Asia Tenggara).
Kenapa Bisa Muncul Kekhasan dalam Islam di Nusantara?
Munculnya kekhasan dalam Islam di Nusantara tidak lepas dari proses Islamisasi itu sendiri. Di mana, ketika Islam masuk dan menyebar di Nusantara, maka diperhadapkan dengan masyarakat yang punya kebudayaan sangat mapan.
Kematangan peradaban Nusantara waktu itu bahkan sampai pada sistem keagamaan. Sebagaimana dijelaskan Kiai Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo, semenjak Kala Pleistosen Akhir para penghuni kuno Kepulauan Nusantara sudah mengenal peradaban yang berkaitan dengan agama.
Sejalan dengan penjelasan itu, Ahmad Syafii Maarif dalam Sublimitas Islam di Indonesia (pengantar beliau dalam buku Islam Nusantara karya M. Abdul Karim), juga menjelaskan bahwa sebelum Islam hadir, masyarakat Nusantara telah mengenal serta menjalankan sistem budaya dan agama yang begitu kompleks dan menyeluruh.
Sehingga, sulit bahkan tidak mungkin jika kekayaan budaya lokal (indigenous culture) yang sudah sangat mengakar dicabut begitu saja. Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya pun tidak mungkin memaksakan diri untuk menolak budaya yang ada di Nusantara.
Para wali (ulama) penyebar Islam di Nusantara sangat memahami keadaan itu. Sehingga, mereka melakukan pendekatan dakwah yang akulturatif. Tidak serta merta memaksakan Islam pada masyarakat Nusantara. Jelas, jika proses dakwah dilakukan secara keras menolak kemapanan budaya, maka yang ada malah Islam ditolak dan tidak mendapatkan ruang di Nusantara.
Dengan pendekatan dakwah yang demikian, maka proses masuknya Islam di Nusantara terjadi secara damai (penetration pacifique). Yang meski tidak instan (tidak cepat), melainkan perlahan-lahan, namun terbukti sukses mengislamkan mayoritas masyarakat Nusantara.
***
Pendekatan dakwah para penyebar Islam yang menghargai kemapanan budaya Nusantara, menghasilkan akulturasi antara Islam dengan budaya Nusantara. Proses ini yang kemudian melahirkan begitu banyak budaya, tradisi, serta seni IN.
Misalnya, dalam seni IN terdapat kesenian wayang seperti yang dikenal saat ini. Pertunjukan wayang yang telah ada sejak abad 9 M dengan salah satu ciri karakter tokoh menyerupai wujud manusia, ketika Sunan Kalijaga berdakwah, meski tahu kalau wayang bukan dari Islam, namun tidak ditolak dan justru dimanfaatkan untuk sarana dakwah.
Unsur-unsur wayang yang bertentangan dengan ajaran Islam dihilangkan, dan kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam. Tokoh wayang yang awalnya berupa wujud manusia, diubah sedemikian rupa menjadi wujud semu seperti saat ini. Dan, kemudian cerita-cerita yang sarat makna dengan ajaran Islam dimasukkan oleh Sunan Kalijaga dalam pertunjukan wayangnya.
Contoh lain, dalam tradisi IN terdapat tradisi Monginbalu Konbulan, yang merupakan tradisi mandi suci secara massal menyambut Ramadhan dalam masyarakat muslim Bolaang Mongondow.
Seni dan tradisi demikian yang telah menghiasi kehidupan muslim Nusantara selama puluhan hingga ratusan tahun itulah yang disebut dengan tipologi atau kekhasan Islam di Nusantara. Jadi, pada dasarnya IN itu bukan Islam baru serta bukan kesesatan, melainkan Islam yang telah lama dijalankan sehingga menjadi warisan kekhasan masyarakat muslim Nusantara dalam berislam.
Editor: Yahya FR