Mazhab syafi’i adalah sebuah mazhab fikih dengan jumlah pengikut yang banyak di Indonesia. Terlahir dari seorang tokoh muslim inspiratif bernama Muhammad Ibn Idris.
Beliau hidup pada dua dinasti, yaitu Umayyah dan Abbasiyah. Beliau merupakan seorang yang sangat cerdas dan mencintai ilmu agama. Berhasil menghafal Al-Qur’an di usia 9 tahun, pada usia belasan tahun beliau sudah menghafal kitab Al-Muwatha’ karangan Imam Malik yang berisi 1.200-an hadis.
Beliau juga seorang musafir ilmu, mempelajari ilmu fikih dari dua madrasah besar pada masanya, yaitu Madrasah Ahlul Madinah yang condong dengan hadis, dan Madrasah Ahlul Ra’yi di Iraq yang condong menggunakan rasio dalam berijtihad. Kemudian hasil belajar dari kedua madrasah tersebut lahirlah mazhab syafi’i.
Biografi Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn As-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdul Muthallib ibn Abdul Manaf.
Lahir di Palestina tepatnya di Gaza pada 150 H/767 M. Ia memiliki garis keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah saw. dari jalur ayahnya, yaitu Abdullah. Garis keturunannya bertemu Abdul Manaf yang merupakan kakek ketiga Rasulullah.
Pada masa dalam kandungan, kedua orang tua Imam Syafi’i meninggalkan Makkah dan merantau di Gaza, Palestina. Setibanya di Gaza, ayahandanya mendadak jatuh sakit dan meninggal dunia di sana. Kemudian, Imam Syafi’i diasuh oleh ibundanya dan dibawa kembali ke Makkah (Panji Adam, S.Sy. 2020, 197).
Riwayat Akademis Sang Musafir Ilmu
Sebelum menjadi seorang imam besar pendiri mazhab syafi’i, beliau melalui perjalanan akademis yang sangat gemilang dan cukup panjang. Di antara kegemilangan atau kecerdasan Imam Syafi’i yaitu ketika berada di Makkah, beliau berhasil menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun.
Selama di Makkah, Imam Syafi’i mempelajari fikih dan hadis dari para gurunya. Beliau juga berhasil menghafal kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas, sebelum akhirnya beliau berhijrah ke Madinah dan langsung bermulazamah dengan Imam Anas bin Malik.
Ketika belajar di Madrasah Madinah, beliau menyempatkan diri pergi ke perkampungan untuk ber-mu’sayarah dengan penduduk Madinah. Selain itu, beliau juga menyempatkan diri untuk pulang ke Makkah menemui ibunya, sekadar untuk meminta nasihat (Panji Adam, S.Sy. 2020, 198-199).
Satu waktu, Imam Syafi’i meminta izin sekaligus rekomendasi kepada Imam Malik untuk mempelajari fikih mazhab hanafi di Iraq. Melihat kecerdasan sang murid, Imam Malik memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk mempelajari fikih di Iraq.
Ketika di Iraq, Imam Syafi’i berguru kepada pewaris mazhab hanafi yang terkenal sangat rasional di dalam berijtihad, yaitu Muhammad ibn Hasan dan Abu Yusuf.
Konsep Belajar Diskusi dan Berargumentasi
Selama dua tahun, Imam Syafi’i telah berhasil menguasai metode diskusi, penetapan hukum, dan keluasan fikih mazhab hanafi melalui kedua murid Imam Hanafi serta tokoh-tokoh dari Iraq, Baghdad, Anatolia, dan Harran.
Setelah menguasai metode ijtihad mazhab hanafi, beliau kembali ke Madinah dan kembali hidup bersama Imam Malik. Di samping itu, Imam Syafi’i mengajarkan kitab Al-Muwatha’ kepada ahlul Madinah.
Beberapa kali Imam Syafi’i menjumpai ahlul Madinah yang menjelek-jelekkan mazhab hanafi. Pada akhirnya, Imam Syafi’i membuka forum diskusi dan adu argumentasi untuk menghormati dan membela fikih mazhab hanafi sebagaimana yang telah dipelajarinya di Iraq.
Konsep belajar melalui diskusi dan berargumentasi ini merupakan hal baru, karena belum ada semasa Imam Malik. Forum ini berfungsi sebagai jalan tengah untuk menjelaskan kepada ahlul Madinah yang memiliki fanatisme yang ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga memandang remeh mazhab hanafi (Rohidin 2004, 99).
Dalam semangatnya mendalami ilmu agama, Imam Syafi’i rela untuk berhijrah ke suatu tempat untuk mempelajari dan memahami sebuah ilmu.
Beliau juga mengajarkan setiap ilmu yang telah dipelajari, sehingga lahir pula para ulama hebat setelah berguru dengan Imam Syafi’i, di antaranya ada Imam Ahmad ibn Hanbal pendiri mazhab hambali, Abu Ya’qub Yusuf ibn Yahya al-Buthi, murid paling senior di Mesir dan biasa menggantikan Imam Syafi’i mengajar dan memberi fatwa ketika berhalangan hadir.
Selain itu, ada pula Ismail ibn Yahya Al Muzani, seorang murid yang cerdas dan termasuk ke dalam mujtahid mutlak, di antara karya Al-Muzani adalah al-Mukhtashar ash-Shaghir dan Jami’ al-Kabir.
Kitab Al-Umm dan Ar-Risalah Sebagai Fondasi Mazhab Syafi’i
Kitab Al-Umm (Induk) merupakan kitab utama atau rujukan mazhab syafi’i. Di mana beliau mendiktekan kepada murid-muridnya, baik di Iraq dan Mesir.
Bermula dari kitab Al-Umm ini, para muridnya meringkas penjelasan fikih, membuat matan-matan, dan mensyarah matan sesuai dengan kitab rujukan mazhab syafi’i.
Selain itu, Imam Syafi’i juga menuliskan kitab Ar-Risalah yang memuat tentang metodologi berijtihad dan meng-istinbath hukum-hukum. Sebagaimana mazhab fikih lainnya, Imam Syafi’i membuat tata cara meng-istinbath hukum sendiri.
Adapun dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Sedangkan, teknik berijtihad yang digunakan adalah qiyas dan takhyir apabila menghadapi ikhtilaf (Panji Adam, S.Sy. 2020, 202-205).
Sang Musafir Ilmu dan Pendiri Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid keturunan Quraisy dan silsilah nasabnya bersambung pada kakek Rasulullah yang ketiga. Terlahir sebagai seorang yatim dan hidup dalam kondisi keluarga yang sederhana.
Imam Syafi’i memiliki semangat, tekad, dan kecerdasan di atas rata-rata. Memiliki pribadi yang haus akan ilmu, sehingga rela berkorban untuk tinggal di suatu negara dalam beberapa waktu, demi berguru kepada para ‘alim ulama yang tinggal di negara tersebut.
Tidak hanya itu, Imam Syafi’i juga gemar mengajarkan apa yang telah ia pelajari, sehingga banyak pula dari para muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, bahkan seorang imam mazhab, salah satunya yaitu Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab hambali.
Imam Syafi’i sang musafir ilmu yang belajar dari dua kiblat fikih terbesar pada masanya, yaitu madrasah fikih di Madinah yang condong berijtihad dengan hadis, dan madrasah fikih di Iraq yang condong berijtihad dengan menggunakan ra’yu (logika).
Dari hasil belajar di kedua madrasah fikih tersebut, Imam Syafi’i mensintesakan keduanya dan membuat metode penetapan hukum sendiri, sehingga lahirlah mazhab syafi’i.
Editor: Lely N