Dalam kajian hadits tidaklah asing ketika mendengar kata hadits maudhu’ (hadits palsu), yaitu tingkatan terendah dalam kualitas hadits nabi, di bawah hadits dhaif, hasan, dan shahih. Mahmud al-Thahhan mendefinisikan hadits maudhu’ sebagai: “Hadits buatan dan palsu yang dinisbatkan seolah-olah berasal dari Nabi saw”. Lalu, bagaimana awal kemunculan hadits palsu?
Hadits Palsu
Memahami definisinya saja terasa seperti ada sebuah paradoks. Pasalnya kita tahu bahwa yang namanya hadits itu adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pendiaman (taqrir). Sedangkan hadits maudhu’ sebagaimana definisi diatas adalah hadits buatan yang palsu, yang sebenarnya bukan berasal dari nabi.
Namun inilah yang memang terjadi. Bahwa pada realitanya hadits palsu muncul lalu berkembang dan masih eksis bahkan sampai dengan sekarang ini untuk sebuah kepentingan-kepentingan tertentu.
Ulama telah sepakat bahwa meriwayatkan hadits palsu/memalsukan hadits itu hukumnya haram dan merupakan dosa besar sebagaimana sabda nabi:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap memperoleh tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu hadits maudhu’ juga tidak boleh disampaikan kecuali disertai penjelasan bahwa hadits tersebut adalah palsu. Sebagaimana pula yang disabdakan oleh Nabi saw:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku sedangkan ia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk orang-orang yang berbuat dusta”. (HR. Muslim)
Belum lama ini umat islam sempat dihebohkan dengan fenomena isu kemunculan Dukhon pada 15 Ramadhan kemarin dengan berdasar sebuah hadits nabi yang notabene ternyata berdasar pada sebuah hadits palsu.
Namun tulisan kali ini tidak ingin membahas mengenai itu. Dalam kesempatan ini penulis mencoba mengulas hadits maudhu’ dari awal kemunculannya dan kaitannya dengan kaum syi’ah sebagai pelopor terhadap pemalsuan hadits.
Awal Kemunculan Hadits Palsu
Periode sahabat merupakan periode yang sangat kecil kemungkinannya terdapat pemalsuan hadits. Sebab mereka merupakan orang-orang yang sangat taat kepada nabi bahkan memuliakan beliau.
Hal ini dapat dibuktikan sebagaimana yang dituliskan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Miftah al Jannah fii al-Ihtijaj bi al-Sunnah. Beliau memaparkan apa yang dituturkan para sahabat.
Dikatakan oleh al-Bayhaqi, berasal dari al-Barra’: “Tidaklah semua kami mendengar hadits Rasulullah saw, kami semua memiliki pekerjaan dan kesibukan, tapi tidak ada orang berbohong, maka yang hadir (dihadapan nabi) akan menyampaikan (dari Nabi) kepada yang tidak hadir.”
Qatadah menceritakan bahwa Anas menuturkan sebuah hadits. Maka seseorang bertanya, “Apakah engkau mendengar sendiri hadits itu dari Rasulullah saw? Dijawabnya, Ya, atau hadits itu dituturkan kepadaku oleh orang yang tidak dusta. Demi Tuhan kami tidak pernah bohong, dan kami tidak tahu apa itu bohong.”
Dalam bukunya Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa Al-Siba’i mengemukakan bahwa, adapun pada masa kaum Tabi’in, tidak diragukan juga kebohongan di kalangan tuanya lebih sedikit daripada dikalangan mudanya. Sebab di kalangan tua sikap dalam menghormati kedudukan Rasulullah saw masih sangat tinggi. Jadi dorongan untuk memalsukan hadits sempit.
Toh juga ketika itu masih ada para sahabat nabi atau tokoh-tokoh tabi’in yang terkenal dengan pengetahuan, keagamaan, dan ketaqwaan mereka.
Kemudian al-Siba’i juga mengatakan bahwa perselisihan politik yang muncul antar sesama orang-orang Muslim di masa-masa akhir kekhalifahan Utsman dan di masa Ali adalah penyebab awal adanya pemalsuan hadits.
Lalu siapakah orang yang pertama kali memalsukan hadits?
Salah seorang Guru Besar Ilmu al-Qur’an Dan Hadis Universitas al-Azhar Kairo, Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah menjelaskan dalam bukunya Al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi kutub al-Tafsir bahwa pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, ada seorang bernama ibnu Saba’, si Yahudi tercela tersebut berkeliling ke penjuru negeri.
Ibnu Saba’ mengumpulkan manusia lalu dia mengklaim bahwa Ali ra. adalah penerima wasiat Nabi saw dan merupakan orang yang berhak menduduki kursi kekhalifahan dibandingkan dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khatab ra. Ini menjadi sejarah awal kemunculan hadits palsu.
Sebab-Sebab Pemalsuan
Lalu dia memalsukan hadits atas nama Nabi Muhammad yang artinya “Setiap Nabi memiliki penerima wasiat, dan penerima wasiatku adalah Ali”.
Dia beserta pengikutnyalah yang kemudian hari menjelma menjadi sebuah mazhab teologi yang kita kenal dengan Syi’ah, yaitu sebuah sekte dalam Islam yang selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw (ahlu al-bait). Di sinilah keterkaitan Syi’ah dengan awal kemunculan hadits palsu.
Dalam bukunya al-Wad’u fi al-Hadits, Umar Fallatah menjelaskan secara detail sebab-sebab terjadinya pemalsuan hadits.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut adalah;
(a). Orang-orang zindiq yang ingin merusak agama Islam dari dalam,
(b). Melegitimasi mazhab, keyakinan, atau kelompok tertentu, seperti paham politik, mazhab fikih, maupun mazhab teologi (akidah),
(c). Memotivasi orang awam guna melakukan kebaikan, akan tetapi cara ini salah karena memalsukan hadits yang begitu sakral dalam Islam
(d). Untuk mendapatkan keuntungan duniawi, seperti untuk melariskan dagangan, mendapatkan upah, dll.
Syi’ah Bikin Ulah
Melihat sebab-sebab pemalsuan diatas, maka pemalsuan hadits pertama kali oleh ibnu Saba’ (syi’ah) merupakan cara untuk melegitimasi mazhab keyakinannya itu.
Kemudian pada generasi selanjutnya setelah syi’ah berkembang, mereka terpecah juga kepada beberapa golongan, sebut saja syi’ah Zaidiyah, Imamiyah, Rafidlah, dll. yang secara keyakinan mereka semua berbeda dengan kaum ahlu al-Sunnah dalam memandang ahlu al-bait terutama dalam memuliakan sosok sahabat Ali bin Abi Thalib.
Merekapun semakin berulah menjadi-jadi, bahkan pada era akhir abad ke-2 Kaum Syi’ah Rafidlah adalah sekelompok yang terkenal paling banyak berdusta.
Contoh hadits palsu yang di buat oleh mereka adalah bahwa Nabi saw dalam perjalanan pulangnya dari haji wada’ mengumpulkan para sahabat di tempat yang disebut Ghadir Khum lalu memegang tangan Ali dan berdiri bersama Ali itu di depan para sahabat dengan disaksikan mereka semua, dan Nabi saw bersabda “Inilah (Ali) penerima wasiatku dan saudaraku serta khalifah sesudahku, maka dengarlah dan taatilah”. Kaum ahlu al-Sunnah memandang bahwa hadits tersebut jelas palsu.
Disebutkan Oleh Ibnu Taimiyah bahwa Suatu ketika Imam Malik pernah ditanya tentang Syi’ah Rafidlah, jawab beliau “Jangan ajak mereka bicara, dan jangan mengambil riwayat dari mereka, karena mereka itu bohong semua.“
Begitulah, kaum syi’ah Rafidlah telah berbuat berlebihan dalam memalsukan hadits menurut kepentingan dan hawa nafsu mereka. Melihat banyaknya pemalsuan hadits itu sampai-sampai Khalil berkata dalam kitabnya al-Irsyad, “Berkenaan dengan keunggulan Ali dan anggota rumah tangganya kaum syi’ah Rafidlah telah memalsukan sekitar tiga ratus ribu hadits” (Al-Siba’i, 1991).
Editor: Nabhan