Tarikh

Kisah Nabi Nuh dan Banjir Besar: Narasi Global Warming Pertama

6 Mins read

Estafet ajaran monoteisme dari Nabi Adam dan Nabi Idris kemudian berlanjut sampai masa kehidupan Nabi Nuh‘alaihis-salam? Menurut sumber-sumber biblikal, nabi ini dikenal dengan nama Noch(Noah). Berdasarkan sumber Al-Qur’an, nabi ini dikenal dengan nama Nuh. Konon dia hidup mencapai usia 950 tahun. Uniknya, kisah nabi ini tidak hanya direkam dalam sumber-sumber biblikal maupun Al-Qur’an, tetapi juga terdokumentasikan dengan baik lewat kisah-kisah sakral (mitologi) yang dimiliki beberapa bangsa di dunia. Yaitu, lewat mitologi “banjir besar” yang konon telah menghancurkan separoh peradaban dunia. Namun lebih unik lagi, kisah berdasarkan sumber-sumber biblikal, Al-Qur’an, dan mitologi bangsa-bangsa di dunia ini justru mencapai titik temu pada satu peristiwa penting, yaitu banjir besar, dengan indikasi-indikasi yang menyerupai fenomena yang saat ini masyhur disebut global warming. Maka kisah Nabi Nuh dan peristiwa banjir besar pada zamannya bisa jadi merupakan narasi pertama tentang fenomena global warming.     

Mitologi Banjir Besar

Bukan hanya kitab suci agama-agama Smitik saja yang memuat kisah banjir besar pada zaman Nabi Nuh. Di luar doktrin agama-agama Smitik, bangsa-bangsa lain di dunia mengenang peristiwa banjir besar dalam bentuk mitologi. Misalnya, bangsa Sumeria, Babilonia, Yunani, Jerman, dan Irlandia. Sekalipun dikisahkan dengan alur yang beragam, tetapi subtansi mitologi dalam tradisi bangsa-bangsa di dunia bertemu pada sosok yang diyakini sebagai Nabi Nuh.

Pertama, mitos dalam tradisi bangsa Sumeria. Dalam tradisi bangsa yang pertama kali menemukan kawasan Mesopotamia ini dikenal mitos tentang sosok Ziusudra. Konon, mitologi ini terdapat dalam Kitab Kejadian Eridu yang ditulis pada sekitar abad ke-17 SM. Kisahnya tentang banjir besar di kota Shuruppak yang meluas sampai ke kota Kish. Oleh para pakar mitologi, mitos Ziusudra dianggap sebagai padanan dari kisah Nabi Nuh.

Kedua, dalam tradisi bangsa Babilonia dikenal Epos Gilgames. Bangsa yang memiliki pertalian etnik dan kultural dengan bangsa Sumeria ini menjadikan epos Gilgames sebagai kisah maha hebat yang selalu dikenang secara turun-temurun. Karena memiliki ikatan etnik dan kultural dengan bangsa Sumeria, epos Gilgames milik bangsa Babilonia juga hampir sama dengan mitos Ziusudra. Sekalipun karakteristik kedua tokoh ini agak berbeda, tetapi latarbelakang epos Gilgames persis seperti pada kisah Ziusudra, yakni kisah banjir besar.

Ketiga, mitologi dalam tradisi bangsa Akkadia. Bangsa ini sebenarnya masih memiliki keterkaitan etnik dan kultural dengan bangsa Babilonia dan Sumeria. Dalam mitologi bangsa Akkad dikenal sebuah epos tentang sosok Atrahasis. Konon, epos ini ditulis kurang lebih pada 1700 SM. Yang cukup unik, sosok Atrahasis hampir mirip dengan figur Nabi Nuh.

Baca Juga  3 Maret 1924: Ketika Kekhalifahan Islam Berakhir

Keempat, mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Yunani kuno. Bangsa yang dikenal dengan kekuatan mitologinya ini mendokumentasikan kisah banjir besar secara komprehensif. Jika bangsa-bangsa lain mengenal mitologi banjir besar yang merepresentasikan kehidupan sosok Nabi Nuh, maka orang-orang Yunani mengenal dua peristiwa banjir besar: Ogigian dan Deukalion. Sumber mitologi ini terdapat dalam The Library karya Apolloardus. Khusus untuk epos Deukalion, kisahnya memang sangat mirip dengan peristiwa banjir besar pada zaman Nabi Nuh.

Kelima, dalam tradisi bangsa Jerman dikenal mitologi Norse. Kisah ini sama persis seperti dalam mitologi Yunani, Deukalion. Dalam konteks tradisi bangsa Jerman, tokoh utamanya diperankan oleh Bergelmir. Pakar mitologi Brian Banston menganggap mitologi bangsa Jerman ini setera dengan kisah banjir bah pada zaman Nabi Nuh.

Keenam, mitos banjir besar juga terdapat dalam tradisi bangsa Irlandia. Orang-orang Irlandia kuno menganggap nenek moyang mereka sebagai keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa Irlandia kuno dipimpin oleh cucu perempuan Nabi Nuh yang bernama Cessair. Sewaktu banjir bah selama 40 hari 40 malam, seluruh bangsa Irlandia tenggelam. Dalam mitologi ini dikisahkan bahwa hanya satu orang saja yang berhasil selamat dari peristiwa banjir besar tersebut.

Kisah Nabi Nuh

Nabi Nuh adalah keturunan bangsa Armenia, sebuah bangsa yang termasuk dalam kategori bangsa-bangsa tertua di muka bumi ini. Berdasarkan kisah versi Al-Qur’an, nabi ini menyeru kepada kaum yang bebal, tetapi mereka mengingkari ajakannya serta cenderung menyombongkan diri (kisah Nabi Nuh dapat dibaca dalam surat Al-A’raf ayat 59-64. Kisah yang sama terdapat dalam surat Nuh ayat 5-28). Di samping itu, kaum Nabi Nuh sedang dilanda kekeringan (kemarau), tetapi pada saat yang bersamaan mereka mengingkari Tuhan yang tunggal dan menjadikan sesembahan lain selain-Nya. Sumber Al-Qur’an mengisahkan bahwa pada zaman nabi ini, bangsa Armenia menyembah orang-orang shaleh dan tokoh-tokoh kharismatik, sekalipun sudah mati (menyembah kuburan).

Sewaktu Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya supaya kembali kepada ajaran monoteisme, justru mereka membantah, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr (Qs. Nuh : 23).

Baca Juga  Dakwah Nabi Nuh (2): Banjir Besar dan Tenggelamnya Anak-Istri Nabi Nuh

Siapakah sebenarnya Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr? Dalam konteks ini, Abdurrahman bin Hasan dalam Kitab Fath Al-Majid (1979: 103) mengutip pendapat Abdullah Ibnu Abbas ketika menjelaskan asbab an-nuzul ayat ini. Dijelaskan bahwa dalam surat Nuh ayat 23 terdapat nama Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang tidak lain adalah orang-orang shaleh pada zaman Nabi Nuh. Sampai orang-orang shaleh ini meninggal dunia, Setan membisiki mereka supaya memberikan penghormatan dan menyelenggarakan perayaan untuk mengenang mereka. Pada mulanya, perayaan tersebut masih ditolerir, karena tujuannya hanya sebatas untuk mengenang jasa baik orang-orang yang shaleh tersebut. Lambat laun, setelah melewati beberapa generasi, tujuan perayaan tersebut tidak lagi dipahami. Sampai akhirnya, perayaan tersebut menjadi sebuah ritual peribadatan dengan menjadikan orang-orang shaleh tersebut tuhan-tuhan.

Sekalipun kaum Nabi Nuh ditimpa azab kekeringan karena telah mendustakan ajaran monoteisme samawi, tetapi mereka masih tetap bebal. Justru ajakan Nabi Nuh untuk kembali kepada ajaran monoteisme ditentang secara keras. Meskipun sudah berkali-kali memperingatkan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, tetapi kaum Nabi Nuh tetap ingkar. Oleh karena itu, Nabi Nuh sempat mengadu kepada Tuhannya sebelum mereka diganjar dengan azab yang setimpal berupa banjir besar.

Inilah pengaduan Nabi Nuh kepada Tuhannya sebagaimana direkam dalam surat Nuh ayat 6-7: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” Dalam surat lain dikisahkan: “Nuh berdoa: “Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku” (Qs. Al-Mu’minun: 26). Lalu, Nabi Nuh memohon kepada Tuhannya: “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi” (Qs. Nuh: 26).  

Fenomena Global Warming

Sebenarnya, para ulama dan cendekiawan muslim masih memperdebatkan seputar azab yang menimpa kaum Nabi Nuh. Sebagian ulama berpendapat bahwa kaum Nabi Nuh dilanda kemarau biasa yang mengakibatkan paceklik berkepanjangan. Tetapi, beberapa cendekiawan muslim yang kritis membaca kembali latarbelakang historis peristiwa banjir besar yang menimpa kaum ini. Amat mustahil jika peristiwa banjir besar hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang sepele. Oleh karena itu, kemungkinan besar pada zaman Nabi Nuh telah terjadi kerusakan alam yang sedemikian parah, baik dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan maupun pembakaran hutan yang parah. Akibat kerusakan alam membawa pada perubahan iklim secara drastis. Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada masa Nabi Nuh mungkin seperti halnya fenomena yang akhir-akhir ini dirasakan oleh masyarakat dunia. Pemanasan global (global warming) telah mengancam kehidupan di muka bumi.

Baca Juga  Refleksi Lebaran (1): Saat Clifford Geertz Mengamati Puasa dan Lebaran di Indonesia

Berdasarkan kisah dalam Al-Qur’an, fenomena kemarau panjang atau dampak dari pemanasan global menyebabkan banjir besar yang hampir memusnahkan separoh kehidupan di muka bumi ini. Dikisahkan dalam Al-Qur’an bahwa azab turun dari langit tanpa kenal kompromi. Kemudian, sumber-sumber air di bumi terus memancar sehingga mengalir bersatu menjelma menjadi banjir besar. Surat Al-Qamar ayat 12 menyebutkan, “Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.”

Perdebatan masih berlanjut di kalangan para agamawan dalam memahami banjir besar pada zaman Nabi Nuh. Apakah mungkin banjir besar mampu menenggelamkan separoh peradaban di muka bumi? Jika fenomena alam berupa banjir mampu menghancurkan sebagian besar peradaban di muka bumi, tentu kita tidak dapat membayangkan, seberapa dahsyat banjir besar tersebut.

Dalam memahami fenomena alam pada zaman Nabi Nuh, yang konon telah menghancurkan peradaban umat manusia, maka penulis berusaha mengambil contoh yang mungkin akan lebih mudah untuk memahaminya berdasarkan fenomena alam yang telah terjadi akhir-akhir ini. Menurut hemat penulis, apa yang telah menimpa kaum Nabi Nuh merupakan peristiwa alam dengan dampak paling parah. Fenomena semacam ini barangkali lebih tepat untuk menggambarkan proses pemanasan global (global warming) yang terjadi ketika itu. Dampak dari pemanasan global, dalam konteks kekinian, sudah dapat diprediksikan. Secara perlahan-lahan, akibat proses pemanasan global, permukaan air laut mengalami pasang karena es di kutub utara dan selatan terus mencair. Akibatnya, pada kurun waktu tertentu, proses ini dapat menenggelamkan pulau-pulau di muka bumi. 

Salah satu indikasi nyata ancaman global warming ialah ketika seluruh sumber air (glester) mencair. Kemungkinan besar, banjir bandang pada zaman Nabi Nuh merupakan banjir glester yang akan terjadi pula pada zaman kita saat ini. Sebab, dalam Al-Qur’an dijelaskan indikasi bencana alam pada masa Nabi Nuh lewat metafora dan gambaran “at-tannur yang terus meleleh dan memancarkan air” (Qs. Hud: 40). Pasca peristiwa banjir besar (glester?) yang telah menimpa kaum Nabi Nuh, peradaban dan populasi manusia hampir punah. Hanya tinggal Nabi Nuh dan keluarga serta para pengikut setianya yang dapat selamat dari peristiwa banjir besar tersebut. Sebelum peristiwa banjir besar, Nabi Nuh mendapat perintah supaya membuat sebuah perahu (Qs. Hud: 37; Al-Mu’minun: 27). Mereka inilah yang selamat dari banjir besar seperti yang juga direkam dalam kisah-kisah mitologis bangsa-bangsa di dunia.

Editor: Yahya FR

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *