Tarikh

Refleksi Lebaran (1): Saat Clifford Geertz Mengamati Puasa dan Lebaran di Indonesia

2 Mins read

Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah telah berlalu. Setelah dua hari raya dikungkung ganasnya pandemi, kini beragam tradisi kembali langgeng kita jalani. Mulai dari sungkem, mulih udik – mudik, salat Idul Fitri berjamaah, dan singgah silaturahmi ke sanak famili.

Dari ke semua tradisi ini, saya kemudian tertarik menengok sebuah bab soal puasa dan hari raya dalam buku Indonesianis masyhur. Yakni, Clifford Geertz dalam salah satu karya babonnya, The Religion of Java.

Dalam perjalanan tak kurang dari setengah abad lalu, circa 1953 dan terbit bukunya pada 1960, Geertz melakukan studi etnografi dan mencatat kehidupan serta menyingkap tabir masyarakat Jawa lewat Modjokuto – Pare, Kediri.

Catatan Geertz pada tahun 1950an yang kembali saya baca beberapa hari lalu itu tetiba memantik saya untuk merefleksikan catatan puasa dan hari raya dalam latar penelitian Geertz terhadap masa sekarang ini. Ada hal penting yang barang kali perlu untuk kita simak.

Catatan Geertz Soal Puasa dan Lebaran

Geertz mencatat beragam budaya pada masa-masa puasa, di antaranya ialah salat tarawih berjamaah dan darus – tadarus membaca Al-Qur’an bersama-sama. Perbedaan antara salat tarawih 23 dan 11 bilangan rakaat, metode darus membaca Al-Qur’an semalam suntuk dengan metode membaca juz tertentu dalam Al-Qur’an dan mengkhatamkannya bersamaan.

Perbedaan itu kemudian dibubuhi catatan soal sentimen antara para penganutnya. Modernis dianggap pemalas, tradisionalis dianggap serampangan.

Setelah menjalani puasa selama sebulan, Geertz tentu tidak lupa mencatat gong dari bulan Ramadan, Idul Fitri. Menurut Geertz, istilah Idul Fitri adalah istilah yang hanya khas bagi kaum santri – satu dari trikotomi Geertz yang terkenal, di samping kaum abangan dan priayi dalam masyarakat Jawa.

Baca Juga  Sejarah dan Alasan Islam Bisa Diterima oleh Masyarakat Bali

Bagi selain masyarakat santri, hanya istilah riyaya dan hari raya yang familier digunakan sebagai istilah pengganti bagi Idul Fitri. Walaupun bagi Geertz, aktivitas Ramadan kaum modernis sebenarnya juga lahir dari ekosistem urban, tempat berkembang kaum modernis, yang menuntut segalanya serba ringkas tanpa melepaskan esensi.

Idul Fitri adalah pesta. Masyarakat berpawai dengan pakaian baru, orang-orang memenuhi pusat perbelanjaan di pusat kota di penghujung Ramadan. Namun yang tak lepas dari pesta adalah prosesi salat Idul Fitri.

***

Geertz mencatat kebiasaan masyarakat tradisional – NU dengan menggelar salat di masjid, tak jauh berbeda dengan salat Jumat umumnya. Bertolak belakangan dengan itu, kelompok modernis – Muhammadiyah biasa menggelar salat di lapangan alun-alun.

Dalam tulisannya, Geertz memuji khutbah hari raya Ketua Masjumi di alun-alun yang bersemangat kemajuan, mulai dari isu emansipasi wanita hingga semangat integrasi sains.

Saat itu pula para priayi, seperti pejabat pemerintahan dan orang-orang terpandang dari kelas atas, turut hadir di lapangan. Sembari menjalankan ritual salat riyaya sebagai satu-satunya aktivitas keagamaan mereka sepanjang tahun.

Bagi kelompok-kelompok non santri, yang bertumbuh di kawasan kota – urban, puncak hari raya adalah hari perayaan terlepas dari segala rupa aktivitas ibadah dan budaya sepanjang Ramadan.

Sementara sebagian berpuasa sebagai syarat, lagi pula lakon puasa lekat pula dengan tradisi agama Hindu-Budha di Indonesia, sebagian pula, sekalipun tetap merayakan hari raya, tidak menghiraukan kewajiban puasa.

Catatan atas Proses Penentuan Awal Ramadan

Hal penting lain yang juga dicatat Geertz dalam bab puasa itu adalah proses penentuan awal Ramadan. Warga Muhammadiyah pada masa itu akan menunggu pengumuman Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jogjakarta. Yakni beberapa minggu sebelum Ramadan tiba sebagai penentu awal puasa.

Baca Juga  Kisah Hasan dan Husein Berdakwah Ketika Kecil

Adapun warga tradisionalis, termasuk juga negara melalui Kementerian Agama akan menunggu tampaknya hilal secara fisik sebelum mengumumkan jatuhnya hari puasa sehari atau dua hari sebelumnya.

Dari bab singkat tulisan Geertz setelah menyelesaikan mukimnya di Modjokuto soal hari raya kita itu. Selain dari aspek budaya dan praktik agama yang masih berlaku hingga hari ini, saya menangkap suatu model polarisasi yang kini agaknya terus menerus berubah dan berkembang.

Dahulu atau sampai dengan barang kali satu kali dekade ke belakang, kita masih familier dengan semacam rivalitas yang didasari oleh perbedaan yang menjadi tembok besar “kami” dan “kalian” di tengah masyarakat Islam.

Antara orang-orang Muhammadiyah dan NU, modernis vis-à-vis tradisionalis konservatif. Lantas pertanyaan yang menjadi sisa ialah, bagaimana kemudian pergeseran yang terjadi separuh abad setelahnya?

Selanjutnya, klik di sini

Editor: Yahya FR

Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *