Tarikh

Refleksi Lebaran (2): Catatan Setengah Abad Clifford Geertz

3 Mins read

Tulisan sebelumnya, klik di sini

Lebih jauh dari catatan-catatan itu, ada perubahan penting yang perlu menjadi sorotan. Selain tentu saja, bahwa perbedaan teknis soal penentuan hari pertama bulan Ramadan dan jumlah rakaat salat tarawih yang dicatat oleh Clifford Geertz tetap dan agaknya akan terus terjadi.

Dalam lini masa sejarah, Merle Ricklefs dalam bukunya yang terbit pada 2012 mencatat perubahan itu ditandai dengan kemunculan dan perkembangan kelompok eksklusif dan puritan. Yang kemudian, dikenal juga dengan kelompok Wahabi – merujuk pada gerakan puritan ekstrem Muhammad bin Abdul Wahhab di Saudi.

Perkembangan kelompok Wahabi ini pula ditandai dengan makin menguatnya sikap anti pada produk budaya lokal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Sikap semacam itu oleh Ricklefs disebut sebagai pintu awal menuju perkembangan yang lebih ekstrem.

Salah satu contoh yang ia ambil ialah tokoh semacam Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Ba’asyir. Perkembangan serupa juga dicatat oleh Amanah Nurish yang mengerjakan peninjauan kembali kerja etnografi Clifford Geertz yang ia tuangkan dalam bukunya Agama Jawa yang terbit pada 2019 lalu.

Kelompok Ekstrem yang Mengancam

Bahwa di locus yang sama dengan penelitian Clifford Geertz, muncul kelompok ekstrem yang dinilai dapat mengancam keberagaman masyarakat yang semula adem ayem. Kelompok ini ialah orang-orang dengan pemahaman ekstrem dengan hobi finger pointing pada kebiasaan dan aktivitas sosial masyarakat.

Mereka ini adalah kelompok puritan ekstrem, yang kemudian mulai membangun komunitas dan masjid-masjid. Mereka menyebarkan dakwah dengan muatan ajakan kebencian tak langsung. Yakni dengan cara mengklaim kebenaran mutlak serta sesat menyesatkan kelompok lain.

Pergeseran Setengah Abad Clifford Geertz

Oleh sebab itu, muncul pergeseran setengah abad setelah Clifford Geertz soal sentimen antar kelompok. Bila dulu sentimen modernis tradisionalis atau Muhammadiyah dan NU terasa kental, sekalipun pada praktiknya tidak menghalangi keduanya hidup berdampingan, kini sentimen sebab perbedaan-perbedaan itu semakin memudar.

Baca Juga  Mukjizat dan Azab 'Hidangan dari Langit'

Contoh teknisnya ialah sebagaimana juga disebutkan Nurish, bahwa perselisihan penetapan puasa dan jatuhnya lebaran kini memasuki ruang dialog yang longgar, no hard feelings.

Selain karena perkembangan daerah rural yang cenderung konservatif menjadi kawasan urban yang cenderung modern, memang kedua kelompok ini memiliki nature yang moderat. Berbeda dengan kelompok ekstrem puritan yang tengah berkembang.

Pergeseran Polarisasi

Pergeseran polarisasi itu juga tertangkap jelas di dunia maya. Salah satu yang juga absen dari catatan Ricklefs, tentu saja karena perkembangan zaman yang pesat, adalah kuasa internet dan kehidupan siber masyarakat Islam Indonesia.

Penceramah Wahabi atau yang berafiliasi dengan paham serupa, sebagaimana dicatat Ricklefs, kebanyakan adalah alumni pendidikan Arab Saudi. Mereka memberi corak warna yang tegas di dunia maya. Para penceramah dengan jutaan pengikut di media sosial, dengan terang benderang menyerang budaya dari urusan wayang, cara berpakaian, hingga urusan musik.

Alih-alih penguatan polarisasi yang dicatat Geertz terjadi pada bulan dan urusan puasa saja, kini polarisasi Islam Jawa – Indonesia menjadi pertentangan seluruh aspek kehidupan kita. Our way of life sebagai umat Islam Indonesia.

Fenomena ini, maksudnya panggung bagi kelompok ekstrem. Juga barang kali berkaitan dengan kritik dan perubahan yang terjadi pada trikotomi abangan, santri, dan priayi yang menjadi tesis Geertz. Jurang pemisah antara ketiganya kini telah kabur menyisakan garis abu-abu yang juga nyaris tidak tampak.

Misalnya dengan budaya ucapan Idul Fitri. Istilah-istilah yang familier di kalangan santri saja pada masa Geertz meneliti, kini menjadi istilah awam. Misalnya, kini pesan berantai di WhatsApp kita penuh dengan ucapan “taqabalallahu minna waminkum” dan sejenisnya. Tentu tak ada yang salah dari hal ini, hanya saja potret ini adalah indikator perubahan identitas yang nyata terjadi di tengah masyarakat Islam Indonesia.

Baca Juga  Sejarah Nasyiatul Aisyiyah: Bermula dari Kegiatan Ekstrakurikuler

Para penganut agama Islam, yang bertuliskan Islam di KTP, ada di antaranya mengidamkan identitas santri. Atau bahkan malah identitas religiositas yang sayangnya hari ini kadang kala tak lepas pula dengan kelompok yang gagal memisahkan agama dan budaya Arab sebagai tempat kemunculan Islam.

Identitas kesalehan yang privat itu kini makin menjadi suatu identitas yang menguat di ranah publik. Barang kali juga pergeseran ini adalah sebab menguatnya Islam politik di Indonesia.

Islam Sebagai Kekuatan Politik

Islam adalah kekuatan yang diperhitungkan dalam kontestasi politik Indonesia. Ada relasi antara para ulama – agamawan dan umara – politisi dan penguasa. Lalu, ada pula gerakan Islam politik dengan agendanya masing-masing.

Yang oleh guru kami, allahyarham Pak Bahtiar Effendy dalam disertasinya di Ohio tahun 1994 disebut sebagai dua faktor berupa pragmatisme kepentingan politik dan ide besar posisi Islam dalam bernegara dan bermasyarakat.

Contoh kasusnya adalah pengajian di jalur pedestrian yang mengirimkan pesan signifikansi dan keperkasaan agama dalam ruang publik Indonesia. Perkembangan semacam itu perlu diwaspadai untuk tidak terjerumus pada posisi yang ekstrem. Menguatkan polarisasi dengan kelompok moderat.

Clifford Geertz: Bagaimana Setengah Abad ke Depan?

Jadi, bila catatan di atas adalah pergeseran setengah abad setelah Clifford Geertz, bagaimana kiranya catatan setengah abad ke depan? Dari polarisasi saat ini, tampaknya menarik untuk terus mengeksplorasi maksud orang-orang ketika merujuk pada istilah Islam Nusantara Berkemajuan sebagai jawabannya.

Akhirnya saya menilai, juga sebagai orang Jawa, ucapan yang tepat untuk menutup catatan ini adalah sugeng riyadi. Sugeng maknanya selamat, riyadi kependekan dari rina dan riyaya yang bermakna hari raya dan din dari bahasa Arab yang bermakna agama. Moga bangsa kita selamat dalam beragama setelah hari raya. Sugeng riyadi.

Editor: Yahya FR

Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *