Posisi perempuan I Dalam tesis Bung Karno mengatakan, “bahwa untuk mewujudkan kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa perjuangan perempuan di dalamnya. Sesudah kemerdekaan pun untuk menyusun negara dan masyarakat, tetap tak dapat diwujudkan tanpa perjuangan perempuan.”
Artinya, peranan perempuan sangat penting diperhatikan dalam mewujudkan sosialisme Indonesia demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembahasan soal isu perempuan tidak pernah selesai, dikarenakan terdapat unsur penindasan terhadap perempuan, baik dalam lingkup ekonomi maupun politik. Di masa pemerintahan Orde Lama, banyak muncul organisasi perempuan untuk terlibat dalam perjuangan atau wadah perkumpulan untuk membahas isu-isu tertentu.
Sebut saja organisasi perempuan yang terkenal cukup progresif di masanya seperti Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia).
Namun yang terjadi, justru banyak organisasi perempuan tersebut berafiliasi dengan partai politik karena memiliki kesamaan orientasi ideologi atau keagamaan. Partai politik merangkul berbagai organisasi perempuan, sehingga tidak lazim organisasi perempuan tersebut justru diklaim sebagai underbow partai.
Akan tetapi, politik perempuan belum dirasakan juga secara merata. Organisasi perempuan kebanyakan justru dijadikan sebagai ladang perebutan meraih suara parpol dalam pemilu.
Posisi Perempuan Zaman Orde Baru dan Pasca Reformasi
Beda halnya kondisi perempuan pada masa pemerintahan Orde Baru. Di mana posisi perempuan dalam politik justru semakin terpuruk. Orde Baru menafsirkan bangunan sosial kenegaraan diibaratkan seperti keluarga, di mana peran ibu adalah melengkapi status kekuasaan bapak.
Negara menempatkan kaum perempuan hanya di wilayah domestik, yakni bertindak sebagai pendamping yang taat pada suami, terampil mengurus rumah tangga, dan menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya.
Kontrol yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap perempuan juga melalui PKK dan Dharma Wanita. Perempuan didoktrin melalui Panca Dharma Wanita, dan dikontruksi menjadi pelayan rezim saja.
Kondisi inilah yang makin memperburuk kondisi perempuan, sehingga mereka tidak terlibat dalam politik. Secara tidak langsung, perempuan hanya ditempatkan di wilayah domestik dan justru melanggengkan kekuasaan laki-laki.
***
Usai Orde Baru tumbang kemudian digantikan dengan Pasca Reformasi, posisi perempuan bisa dibilang cukup baik dengan sebelumnya. Gerakan perempuan menghasilkan penambahan quota 30% khusus bagi perempuan di dalam parlemen. Bagi gerakan feminis, quota 30% ini dianggap sebagai legitimasi agar terjadi syarat perubahan posisi politik perempuan.
Hal ini harusnya menjadi kesempatan terbaik bagi kalangan perempuan untuk bisa terlibat aktif dalam politik. Namun yang terjadi tidaklah demikian, justru basis keterpilihan calon legislatif perempuan melalui jaringan kekerabatan dengan elite politik.
Artinya, perempuan yang terpilih karena memiliki jaringan kekerabatan dengan elit politik, seperti adik, kaka, ataupun istri dari penguasa/pejabat politik serta petinggi partai politk yang mencalonkan mereka.
Kondisi ini tentu saja belum menjawab esensi dari politik perempuan. Advokasi agar perempuan bisa terlibat dalam parlemen masih sangat relevan diperjuangkan. Akan tetapi, jika perekrutan kaum perempuan hanya berlandaskan pada jaringan kekerabatan justru dapat melanggengkan kesenjangan kuasa politik dan ekonomi.
Hal ini justru mengkonsentrasikan kekuasaan elit di tangan segelintir orang di dalam partai politik atau parlemen. Dalam artian, makin meluasnya praktek politik oligarki. Bahkan bisa saja kehadiran perempuan hanya dijadikan sebagai syarat administratif semata. Kondisi demikian menjadi perhatian besar bagi kita semua saat ini.
Politik Perempuan dan Perjuangan Melawan Oligarki
Praktik oligarki di dalam pemerintahan hanya sekedar ingin meraih kekuasaan dan yang menguasai hanya segelintir orang. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk keadilan bagi seluruh perempuan justru dicekoki dengan praktik-praktik oligarki.
Berada di sistem patriarki maka politik perempuan masih harus diperjuangkan. Tidak harus masuk di parlemen, tetapi dapat berangkat dari bawah. Dengan melakukan penyadaran terhadap kaum perempuan tentang pentingnya peran mereka dalam mengisi kemerdekaan.
Pentingnya pengetahuan bagi perempuan untuk bisa terlibat dalam politik dan ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial.
Sekarang ini, seharusnya bukan lagi perdebatan antara laki-laki dan perempuan. Bukan mana lebih tinggi haknya antara laki-laki dan perempuan. Hemat penulis persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sudah cukup terpenuhi.
Laki-laki sekarang bisa bekerja dan perempuan pun bisa, laki-laki bisa menyenyam pendidikan perempuan pun demikian. Tetapi yang menjadi titik masalahnya adalah penindasan antara penguasa kepada rakyat kecil, antara para oligarki dan proletar.
Maka dari itu, baik laki-laki maupun perempuan yang tertindas harus bersatu untuk melawan segala bentuk penindasan. Harus sama-sama memperjuangkan hak secara adil baik dalam bidang politik dan ekonomi.
Apabila hal itu mampu terwujud, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa akan dirasakan secara bersama. Keadilan sosial akan sulit terwujud jika praktek oligarki makin lenggang dan merasuki sistem pemerintahan kita. Wallahu a’lam.
Editor: Faizin