Falsafah

Bantahan Fazlur Rahman Terhadap Tuduhan Orientalis

3 Mins read

Dalam dunia Islam modern, barangkali nama Fazlur Rahman (1919-1988) bukanlah nama yang asing. Pemikir neomodernis kelahiran Pakistan ini besar dari keluarga yang religius dengan tradisi mazhab Hanafi yang cukup kental.

Ayahnya, Maulana Shihab al-Din, adalah seorang ulama lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband. Meskipun ayah Rahman lulusan tradisionalis, namun ia menyerap pemikiran modern. Tentu pemikiran ayahnya turut berpengaruh bagi pola pikir Rahman.

Sebagai pemikir beraliran neomodernisme, pemikirannya banyak berpengaruh bagi tokoh-tokoh intelektual muslim. Sebut saja Nurcholish Majid (Cak Nur), Buya Syafi’i Ma’arif, Ayahanda Amin Rais, dan Prof. Mulyadhi Kartanegara adalah empat murid dari Rahman.

Pemikiran Rahman yang berpengaruh bagi banyak tokoh intelektual muslim adalah juga buah persinggungannya dalam mengikuti jejak pemikiran modernis sebelumnya, seperti Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, hingga Muhammad Iqbal.

Pendidikan Fazlur Rahman

Rahman tercatat pernah mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Punjab dan meraih gelar MA dalam konsentrasi bahasa Arab pada tahun 1942. Pada 1950, ia meraih gelar doktor dari Oxford University dan menjadi guru besar di universitas tersebut. Ia juga pernah mengajar di Durham University, Chicagon University, dan di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada. Di dua universitas yang disebutkan terakhir ini, ia juga dikukuhkan sebagai guru besar pada tahun.

Salah satu teori Rahman yang merupakan seorang sarjana al-Qur’an, suatu istilah yang merujuk pada studi al-Qur’an secara akademis, adalah teori double movement, suatu hermeneutika yang menurutnya dapat diaplikasikan dalam memahami al-Qur’an. Teori ini digunakan untuk membedakan ideal moral yang diusung al-Qur’an dengan legal specific yang al-Qur’an pakai kala itu.

Meskipun Rahman menempuh pendidikan tinggi di Barat, akan tetapi kesadarannya, khususnya mengenai Islam, tetaplah kesadaran sebagai orang Timur. Rahman menyadari betul bahwa tak sedikit riset sarjana Barat mengenai Islam atau Timur, atau yang akrab disebut orientalisme, saat itu lebih merupakan upaya penimuran.

Baca Juga  Benarkah Mushaf Utsmani adalah Hasil Kepentingan Politik Utsman bin Affan?

Sebagaimana yang ditulis oleh Edward W. Said (1964), orientalis kala itu banyak bekerja dalam rangka menggambarkan persepsi dan pandangan mereka terhadap Timur, termasuk Islam, dalam paradigma dan sudut pandang Barat, alih-alih murni menyingkap Timur secara an sich. Hegemoni Barat dalam banyak aspek, terutama sosio-politik, memberi banyak warna terhadap penggambaran Timur.

***

Salah satu fokus studi orientalisme adalah kajian al-Qur’an, yang dipelopori oleh Abraham Geiger. Setelah Geiger, mulai bermunculan banyak tokoh orientalis yang mempelajari al-Qur’an, umumnya dengan kerja kritik sejarah al-Qur’an. Sayangnya, riset-riset yang dilakukan oleh para orientalis hingga saat itu lebih bercorak penolakan mereka terhadap autentisitas al-Qur’an sehingga Muhammad, menurut para orientalis, tidak layak diakui sebagai nabi. Dalam rangka membela tuduhan para orientalis, Rahman menulis dalam bukunya Islam (1968) sanggahan terhadap tuduhan-tuduhan yang rapuh itu.

Pertama, terhadap spekulasi bahwa monoteisme Islam terkait erat dengan pengaruh monoteisme Yudea-Kristiani dan monoteisme beberapa kalangan Arab, Rahman menyatakan bahwa kedua pernyataan tersebut “tidak salah dalam pernyataan, tetapi tidak merupakan penjelasan-penjelasan yang benar tentang asal-usul ataupun sifat Islam.”

Menurut Rahman, keduanya adalah suatu faktor pra-kondisi bagi perkembangan dan ekspansi Islam, sedangkan monoteisme sekelompok Arab sama sekali berbeda dengan monoteisme al-Qur’an yang menuntut implikasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.

***

Kedua, berkaitan dengan tuduhan bahwa Islam adalah semacam agama ‘nasional’ bangsa Arab, Rahman sekali lagi dengan tegas “menggarisbawahi fakta bahwa, baik  monoteisme maupun perasaan keadilan sosial-ekonomi (yang diusung Islam), bukanlah sifat khas penduduk kota Mekkah atau bangsa Arab semata; sebaliknya, paham persamaan yang dikemukakan Islam dalam sifatnya sendiri, betul-betul melampaui ideal nasional manapun juga.”

Ketiga, dugaan Nabi Muhammad menderita penyakit ayan, bagi Rahman adalah dugaan yang rapuh. Dalam telaah Rahman, ia tidak menemukan jejak ‘penyakit’ tersebut muncul sebelum umur 40 tahun. Di samping itu, apa yang diduga ‘penyakit ayan’ itu selalu terjadi bersamaan dengan turunnya wahyu yang bersifat spiritual dan tidak pernah kambuh di waktu yang lain.

Baca Juga  Challenge of Quranic Studies in the West: Andrew Rippin's Thought

***

Terakhir, baginya adalah sebuah keanehan yang tidak dapat dipercaya bilamana “suatu penyakit yang jelas kelihatan seperti ayan tidak diketahui dengan jelas dan pasti oleh suatu  masyarakat yang sudah beradat-istiadat seperti masyarakat Mekkah atau Madinah saat itu.”

Tentunya usaha pembelaan yang dilakukan oleh Rahman melawan tuduhan yang ditujukan kepada Nabi seperti di atas bukanlah pembelaan apologetik, melainkan pembelaan yang masuk akal. Usaha tersebut merupakan tanggung jawab moral Rahman dalam ‘membela Islam’, meskipun di sisi lain, pemikiran Rahman yang lain juga tidak kalah menghebohkan dunia Islam.

Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan isu keislaman, kemanusiaan, dan lingkungan
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds