Covid-19 adalah virus yang sangat berbahaya. Meskipun sebagian ada yang menganggap bahwa tingkat fatalitas virus ini lebih rendah dibandingkan virus-virus yang lain. Seperti H7N9 flu burung, Marberg, MERS, SARS, H5N1 flu burung, dan ebola. Tetapi bukan berarti virus corona boleh diabaikan dan tidak perlu mendapat perhatian.
Bau Mulut Dilarang ke Masjid
Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw pernah memberikan peringatan kepada para sahabatnya. Peringatan tersebut diperuntukkan bagi mereka yang tidak menghilangkan bau mulut ketika hendak pergi ke masjid. Nabi bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
Barangsiapa makan bawang merah atau bawang putih, hendaklah ia menjauhi kami, atau beliau mengatakan: Hendaklah ia menjauhi tempat shalat kami (HR. al-Bukhari).
Dalam hadis yang lain diriwayatkan,
عن جابر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا ، فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang kurrats, maka janganlah dia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang mengganggu manusia (HR. Muslim).
Dua hadis ini bukan menunjukkan bahwa makan bawang atau makan makanan yang memiliki bau tajam adalah sesuatu yang haram. Menurut pendapat yang rajih (kuat), hadis-hadis tersebut hanya menjelaskan sesuatu yang makruh (tidak disukai). Yaitu mengonsumsi makanan yang berbau tajam. Bagi yang tetap ingin memakannya, tetap diperbolehkan.
Pesan yang jauh lebih penting dari dua hadis di atas adalah ketidakbolehan (kemakruhan) menghadiri masjid setelah mengkonsumsi makanan yang berbau tajam dan tidak ada upaya atau memang dengan segaja tidak mau menghilangkan baunya.
Meskipun dalam hadis-hadis tersebut hanya disebutkan beberapa jenis makanan saja, bukan berarti larangan atau kemakruhan tersebut hanya terbatas pada makanan yang disebutkan di dalam hadis.
Penjelasan Para Ulama dan Analogi
Al-Nawawi menjelaskan bahwa larangan atau kemakruhan tersebut berlaku pada semua jenis makanan yang memiliki bau tajam. Tidak hanya itu, orang yang mengkonsumsi makanan berbau tajam selain tidak boleh atau setidaknya makruh menghadiri salat jamaah di masjid. Juga menghadiri semua bentuk ibadah lain yang memungkinkan berkumpulnya banyak orang.
Menurut al-Baghawi alasannya adalah agar orang-orang yang ada di dalam masjid (atau perkumpulan tersebut) tidak terganggu dengan bau tajam yang dihasilkan. Oleh karenanya, Ibnu Baththal berkesimpulan bahwa larangan atau kemakruhan menghadiri salat jamaah di masjid (dan ibadah lain yang memungkin berkumpulnya banyak orang) adalah pada unsur “dapat merugikan/mengganggu orang lain” (kullu ma yata’adzdza bihi).
Senada dengan Ibnu Baththal, Ibnu ‘Abd al-Barr mengatakan bahwa jika ‘illah (kausa hukum/ratio legis) mengeluarkan orang dari masjid atau melarang menghadiri jamaah di masjid adalah karena dapat menggangu orang lain, maka hal ini dapat diqiyaskan (dianalogikan) pada segala sesuatu yang dapat mengganggu orang lain yang ada di masjid tersebut, seperti ucapan kasar, berbuat onar di masjid, angkuh, memiliki aroma tak sedap, mengidap penyakit yang berbahaya seperti kusta atau semacamnya, dan apa saja yang dapat mengganggu orang lain di dalam masjid.
***
Dengan kata lain, ‘illah (kausa hukum/ratio legis) dilarangnya atau dimakruhkannya menghadiri salat jamaah adalah adanya unsur yang (berpotensi) dapat merugikan atau menzhalimi orang lain.
Jika analogi (qiyas) ini digunakan untuk memotret fenomena wabah corona, maka dapat disimpulkan bahwa larangan atau kemakruhannya lebih ditekankan dan lebih tegas daripada larangan menghadiri masjid bagi orang yang berbau mulut. Sebagaimana analogi (qiyas) larangan yang lebih tegas tentang seorang anak memukul orang tua dengan dianalogikan pada larangan berkata tidak baik pada orang tua.
Pasalnya, virus corona jauh lebih berbahaya dari sekadar bau mulut kita. Tampaknya belum pernah kita membaca penelitian ilmiah atau mendengar berita bahwa ada orang yang meninggal akibat bau mulut kawan, sementara di sisi yang lain kita menyaksikan virus corona hingga hari ini telah memakan banyak sekali korban.
Bagaimana jika orang yang sehat? Sebagaimana disebutkan di bagian awal bahwa di antara faktor yang membuat virus corona sangat berbahaya adalah karena jenis virus ini tidak bisa terdeteksi. Adalah sangat mungkin orang yang secara zahir tampak sehat dan berperilaku normal, tapi diam-diam ternyata dia sedang membawa virus mematikan itu.
Karenanya perlu ditekankan dan digarisbawahi di sini bahwa tidak hadirnya ke masjid dalam konteks wabah corona ini bukanlah bentuk pembangkangan terhadap syariat Islam. Apalagi pengingkaran terhadap takdir Allah. Ia semata-mata adalah bentuk ikhtiyar dalam rangka mencegah (sadd al-dzari’ah) hal mudharat terjadi, yakni penyebaran virus mematikan bernama corona.
Tidak Hanya Masjid
Dengan memperhatikan akibat yang sangat berbahaya dari virus corona, himbauan untuk tidak berkumpul atau berkerumun dalam jumlah yang banyak di satu tempat, seyogyanya tidak hanya berlaku di masjid saja. Tapi juga seharusnya di tempat-tempat lain, baik untuk beribadah maupun melakukan aktifitas lain. Perlu adanya otoritas yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan aktifitas manusia dalam jumlah banyak, agar kemungkinan tersebarnya virus ini dapat diminimalisir.
Jadi, yang harus ditekankan adalah mengurangi kontak fisik, bukan mengurangi kepedulian pada orang lain. Spirit yang harus disebarkan, mengutip Mohamad Shohibuddin, adalah “not social distancing, but physical distancing with social solidarity”. Wallahu a’lam.