PerspektifReview

Bayang-bayang Domestikasi Perempuan Nelayan di Dipasena

3 Mins read

Pada biru yang membawa pilu. Dia terdiam mengenang murahnya masa lalu. Negeriku dengan tak terhingganya kolam susu. Manusiaku yang tak pernah membendung nafsu.

Untuk perempuan-perempuan nelayan, untuk Ibu kita sekalian, dan untuk perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tulisan ini saya persembahkan untuk momentum peringatan Hari Nelayan, 6 April 2020. Saya ingat bahwa saya pernah  menonton sebuah film dokumenter berjudul “Perempuan Nelayan.”

Sebuah karya kolaborasi Jurnal Perempuan yang mengangkat kisah perempuan nelayan, yang mana salah satunya adalah perjuangan atas pengakuan perempuan petambak  di Dipasena, Lampung. Telah terjadi domestikasi perempuan nelayan di sana. Dipasena merupakan daerah tambak udang terbesar di Indonesia. Hebatnya, daerah tersebut juga pernah disebut-sebut akan menjadi pusat produksi udang dunia.

Namun begitu, film dokumenter ini justru menunjukkan fakta-fakta miris Dipasena. Dalam film ini, tampak betapa buruknya infrastruktur jalan Dipasena. Buruknya infrastruktur jalan bahkan membuat salah seorang warga keguguran dan harus diangkat rahimnya. Fakta lain tentang Dipasena adalah ketidakramahan struktural pada perempuan, khususnya pada perempuan petambak Dipasena. Betul-betul telah terjadi proses domestikasi perempuan nelayan di Dipasena.

Menonton dan menyelami film ini, saya mendapat visualisasi betapa absennya program-program pengarusutamaan gender dan sempitnya ruang pengakuan hukum bagi perempuan yang bekerja, khususnya di sektor perikanan. Stereotipe dan cara pandang maskunilitas begitu lekat dalam tiap sektor kehidupan kita sekalian. Perempuan petambak yang terlibat penuh dalam proses pertambakan masih hanya dianggap melakukan kerja domestik saja.

Tepat pada tahun rilis film ini, Presiden Joko Widodo sedang menjabat untuk periode pertamanya. “Poros Maritim” menjadi salah satu program utama dengan janji menempatkan nelayan sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Mengingat, jati diri Indonesia adalah negara maritim. Pun pada faktanya, nelayan menyumbang kontribusi 70 persen dalam produksi perikanan dunia.

Baca Juga  Menyambut Museum Muhammadiyah

Dalam rangka melindungi nelayan kecil, lahirlah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Berkaca pada dokumentasi tim produksi film Perempuan Nelayan, nyatanya diskursus mengenai perempuan nelayan begitu sempit dan samar.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam, nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Bagi saya, pendefinisian tersebut begitu terbatas, hanya pada orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Padahal begitu panjang proses dan banyak subjek yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Misalnya perempuan-perempuan dalam sektor perikanan yang berperan untuk membersihkan, mengolah, dan memasarkan ikan ataupun hasil laut lainnya.

Proses domestikasi perempuan nelayan atau tidak diakuinya perempuan sebagai nelayan mengakibatkan mereka tidak mendapatkan akses kredit, jaminan kesehatan, teknologi pengolahan serta pelatihan dan penyuluhan yang pemerintah selenggarakan. Hal tersebut begitu memprihatinkan, mengingat mereka juga berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan ‘nelayan’ dengan curahan tenaga yang sama dan risiko bahaya yang tidak berbeda.

Sadar atas kondisi timpang demikian, muncul gerakan perempuan dalam rangka menuntut perwujudan keadilan. Contoh kasus perempuan nelayan di Dipasena, ditemukan bahwa para perempuan petambak menginginkan rekognisi atas kerja mereka, menginginkan dirinya menjadi bagian dari organisasi Persatuan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW), menginginkan keterlibatan dirinya dalam partisipasi publik.

Bagaimana tidak! Mereka tidak hanya membantu tugas suami, namun penuh mengurus proses pertambakan dari pagi hingga malam.

Pada akhirnya, yang terjadi adalah beban kerja ganda perempuan yang menambak dan masih dibebani tugas-tugas domestik seperti mengurus anak dan rumah. Sayangnya, kerja berat perempuan lagi-lagi tidak diakui sebagai pekerjaan yang turut menyumbang perekonomian nasional.

Baca Juga  Dilarang Mengutuk Hujan: Buku Penuh Esai Reflektif

Jika kita hitung pekerjaan sehari-hari ibu tumah tangga, mencuci disetarakan dengan jasa laundry, membersihkan rumah disetarakan dengan jasa pembersih rumah, memasak disetarakan dengan jasa koki di restoran, dan lain sebagainya, konversi tersebutlah yang sepantasnya diterima perempuan sebagai balas jasa atas kerjanya. Konversi curahan kerja tersebut tentunya turut menyumbang perekonomian nasional.

Kesenjangan gender di masyarakat kita, tidak hanya berkembang sebagai akibat budaya lekat patriarkhi dalam keluarga, tetapi juga sebagai akibat produk struktur sosial kita. Bagaimana kemudian berbagai latar belakang dan bumbu-bumbu stereotipe menguatkan dominasi laki-laki bahkan dalam sistem produksi.

Pembedaan laki-laki dan perempuan mengakibatkan kesenjangan gender seperti beban kerja ganda, marginalisasi, subordinasi, bahkan kekerasan yang sebagian besar perempuan menjadi korbannya. Transformasi sosial berkat kesadaran untuk mengubah keadaan menjadi tugas kita sekalian, khususnya negara melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya. Sampai kapan kiranya cinta kasih dan romantisme menjadi bungkus eksploitasi perempuan sebagai tenaga murah bahkan mungkin tanpa bayaran?

Transformasi sosial atas kesenjangan gender sejatinya bukanlah hal baru. Sejak tahun 2002, PBB telah merumuskan satu definisi formal mengenai gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender. Bahwa pada dasarnya, pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk sampai kepada kesetaraan gender.

Pun di Indonesia sendiri, jelas tertuang dalam Inpres no 9 tahun 2000, bahwa dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, segala yang berkaitan dengan program pembangunan nasional haruslah berperspektif gender. Minimal, kita harus punya data terpilah gender. Masalahnya, bahkan perempuan nelayan saja tidak diakui, sudah barang tentu data terpilah gender hanyalah cerita saja.

Perempuan petambak Dipasena menjadi catatan cacatnya strategi pengarusutamaan gender negara kita. Kenyataan marginalisasi perempuan dari ruang publik menjadi bukti absennya program-program pengarusutamaan gender. Tidak hanya itu, perjuangan demi pengakuan perempuan nelayan yang tak kunjung didapatkan juga menjadi bukti pengabaian kapabilitas afiliasi perempuan.

Baca Juga  Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

Demi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, demi kesetaraan dan keadilan, bahwa perempuan dan laki-laki adalah warga negara, yang sama hak dan kewajibannya. Tidak ada alasan pemerintah untuk tidak mengubah definisi nelayan yang lekat dengan maskulinitas.

Pengakuan perempuan nelayan harusnya bukan hal rumit, mengingat peran dan kontribusnya di sektor perikanan. Setidaknya, dengan membuka akses perempuan nelayan untuk memiliki kartu nelayan dan mendapatkan hak dengan sebagaimana mestinya.

Editor: Arif

Avatar
4 posts

About author
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Institut Pertanian Bogor 2020.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *