Menyendirilah ke tempat yang sepi. Ambil posisi nyaman dan pejamkan mata perlahan-lahan. Tarik nafas yang dalam melalui hidung, tahan sebentar, lalu hembuskan pelan-pelan. Konsentrasi dan fokuslah pada udara yang masuk dan keluar dari tubuhmu.
Saat kau merasa siap, kembalilah ke masa muda yang indah. Saat orang tuamu lengkap, saat kau tak menghitung-hitung pendapatan dan memikirkan cicilan, saat kau merasa bebas menentukan menjadi apa pun dirimu di masa depan. Bisakah kau rasakan gejolak kebahagiaannya? Ingatkah seperti apa dan siapa dirimu pada saat itu? Ingatkah pada cita-cita yang kau harapkan terjadi dimasa depan?
Kembali tarik nafasmu dan hembuskan pelan-pelan. Jika sudah cukup tersenyum mengenang masa lalu, kembalilah pada dirimu yang sekarang. Munculkan bayangan tentang dirimu hari ini. Apa yang kau rasakan? Siapa dirimu saat ini? Apakah kau menjadi seperti yang dulu kau inginkan? Dan pertanyaan paling penting, apakah kau sudah merasa penuh dan bahagia dengan hidupmu yang sekarang?
Persoalan yang Sama, Namun Berbeda
Kesempatan untuk mengakses kenangan-kenangan masa lalu dan bersikap jujur dengan apa adanya diri kita sekarang, itulah yang ditawarkan oleh Riri Riza dalam film terbarunya berjudul Bebas. Film ini diadaptasi dari film hits Korea Selatan berjudul Sunny.
Bebas adalah nama geng SMA yang beranggotakan Kris, Suci, Gina, Jessica, Jojo, dan Vina. Kris, sosok yang paling berani dan percaya diri, secara natural tampil menjadi pemimpin geng Bebas. Berkebalikan dengan Kris, Vina menjadi anggota geng termuda dengan kepribadian yang gugup dan mudah cemas. Sedangkan Suci, Gina, Jessica, dan Jojo, merupakan gambaran remaja-remaja kelas menengah Jakarta yang menjalani masa remajanya dengan riang gembira.
Sebagai “orang daerah” yang baru pertama kali pindah ke “pusat,” Vina berhutang banyak pada Geng Bebas selama proses adaptasi sosialnya di Jakarta. Sedikit demi sedikit, penampilan Vina berubah menjadi lebih kota, tapi tidak dengan kepribadian lugunya. Ia tetap lugu seolah tak bisa ia basuh-basuh.
Bersama geng Bebas ia menemukan rasa aman, sedikit keberanian, dan pengetahuan tentang pergaulan remaja-remaja Jakarta pada tahun 1995. Namun sayang, kebersamaan Vina dengan teman-temannya tak berlangsung lama. Sebuah kejadian traumatik akhirnya memaksa mereka untuk berpisah.
Riri Riza membawa kita bolak-balik dari tahun 2018 ke tahun 1995. Vina dewasa dan Vina remaja muncul bergantian dengan konfliknya masing-masing. Peristiwa yang dihadapi oleh Vina di masa sekarang seolah tersambung dengan apa yang dihadapi oleh Vina dua puluh tiga tahun yang lalu.
Dalam kehidupan nyata, kita pun sering mengalami hal yang demikian, bukan? Ketika belum selesai dengan satu persoalan, kita memang akan terus menghadapi persoalan yang sama dalam bentuk yang berbeda-beda.
Saya tidak mengenang Riri Riza sebagai pembuat film komedi, tapi entah mengapa dalam film Bebas berkali-kali saya kesulitan menahan tawa. Ada banyak adegan segar yang hadir begitu saja tanpa terkesan ada usaha keras untuk membuatnya menjadi lucu. Beberapa kelucuan itu berasal dari detail-detail masa lalu yang juga saya alami di tahun 1995.
Bermain game boy, mengikat jaket ke pinggang, melinting lengan baju beberapa lipatan ke atas, dan berkomunikasi dengan menyelipkan konsonan “g” dalam setiap suku kata (contoh: Ada apa ini? Diucapkan menjadi, Agadaga agapaga iginigi?), semuanya berhasil membuat saya bernostalgia dan menertawakan masa lalu.
BEBAS: Membicarakan Barang Mewah Orang Dewasa
Bagi saya, film Bebas sangat brillian secara teknis. Namun tak hanya itu, film ini juga berhasil membawa saya pada perenungan-perenungan mendalam tentang diri sendiri. Bagian terpenting dari film Bebas adalah pertanyaan yang diajukan oleh Kris yang sedang sekarat, “Ada nggak hal-hal yang pengen banget lo kerjain, tapi belom kesampaian?”
Sebuah pertanyaan yang sederhana, yang jawabannya bisa jadi juga sederhana, tapi belum tentu sederhana pada praktiknya. Setidaknya, demikianlah yang terjadi pada diri Vina dan Jojo. Tak hanya kedua tokoh itu, kita sendiri pun selalu menyimpan hal-hal yang sangat ingin kita lakukan, namun belum bisa dilakukan, atau bahkan tidak bisa dilakukan sama sekali.
Orang dewasa, meskipun tampak sanggup melakukan apa saja, namun sejatinya terkungkung oleh masalah keuangan, konstruksi sosial, dan bahkan rasa takutnya sendiri. Seperti Vina yang lupa cara menjadi diri sendiri karena harus menjadi isteri dan ibu yang “baik”. Jojo yang tak mampu menemukan cinta sejati karena tekanan sosial dan tuntutan orang tua. Atau Gina yang hampir menyerah dengan cita-citanya karena himpitan ekonomi.
Film ini menggambarkan dengan sangat baik bagaimana gelombang kehidupan terkadang menyeret kita jauh dari tujuan yang kita inginkan. Sejujurnya, film ini membuat saya lega karena sepertinya tak hanya saya yang mengalami konflik antara ideal self dan real self (curhat, hehehe…). Saya yakin, setiap individu dewasa membawa konflik ideal self vs real self-nya sendiri-sendiri.
Persoalannya, seberapa jujur kita pada diri sendiri untuk mengakui adanya kesenjangan antara diri yang kita anggap ideal dengan kenyataan diri kita pada hari ini? Andai pun menyadari, seberapa berani kita mengambil langkah untuk memperkecil kesenjangan tersebut?
Film Bebas mengajak kita mempertimbangkan betapa pentingnya memperjuangkan kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Namun yang tak didiskusikan dalam film ini adalah konsekuensi ketika kita memperjuangkan kebebasan tersebut.
***
Bebas: membicarakan barang mewah orang dewasa. Orang dewasa selalu memiliki banyak hal untuk dipertimbangkan. Tindakan yang diambil oleh orang dewasa sering kali terkait dengan keluarga, seperti pasangan, anak, atau orang tua. Apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan harapan orang-orang terdekat kita. Terkadang, mengubur harapan-harapan pribadi lebih mudah untuk kita pilih demi menjaga harmoni.
Saya pikir, itulah mengapa diri yang “Bebas” adalah barang mewah bagi orang dewasa. Berbahagialah orang-orang yang memiliki keberanian memperjuangkan kebebasannya dan memiliki orang-orang terdekat yang mendukung perjuangan tersebut.