Review

Belajar Perdamaian dari Kisah Imam dan Pastor

4 Mins read

Coba sejenak kita renungkan dan sesekali mencoba melakukan pencarian di mesin pencari web dengan menggunakan kata kunci “agama” dan “kekerasan” lalu membandingkannya dengan pencarian untuk kata kunci “agama” dan “perdamaian”. Hasilnya akan menunjukkan bahwa agama dan kekerasan jauh lebih banyak, dalam mencapai jutaan pencarian, dibandingkan agama dan perdamaian, yang hanya sedikit hasilnya.

Banyak situs konten dari web itu membicarakan agama sebagai sumber kekerasan. Sedikit sekali yang melihat solusi untuk memecahkan masalah kekerasan berbasis agama. Kenyataan di atas hadir bukan tanpa alasan. Sebab, hampir tiap hari media massa sering menyajikan berita-berita mengenai kekerasan di masyarakat. Mulai dari pengeroyokan maling ayam, maling kendaraan bermotor, sampai pembunuhan sadis di luar batas nilai-nilai kemanusiaan antaretnis dan antaragama.

Fenomena ini belum lagi ditambah dengan seringnya manusia secara sempit mereduksi kehadiran orang lain, dengan mereduksinya ke dalam keyakinan ideologis (manusia beriman atau tidak beriman) dan dalam beragama (manusia yang berbeda agama atau keyakinan dengan kita tidak perlu dihormati, karena itu boleh disingkirkan).

Realitas ini tentu merupakan masalah sosial yang perlu dicarikan solusinya. Agama memang sering dijadikan legitimasi bagi aksi-aksi kekerasan, tetapi agama juga bisa dan bahkan hadir memang untuk menciptakan rahmatan lil alamin.

Namun, kita seringnya terjebak pada yang pertama, yakni agama sebagai sumber kekerasan. Kita berharap agama mampu membawa kasih sayang dan perdamaian tetapi di satu sisi yang kita perhatikan selalu agama yang membawa kekerasan dan perang.

Buku Tentang “Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang”

Dari kenyataan di atas, maka tidak heran jika beberapa penulis yang berasal dari komunitas intelektual, seperti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) dan Program Agama dan Lintas Budaya (CRCS) keduanya berada di UGM, Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM), dan beberapa intelektual. Mencoba menghadirkan sebuah buku yang ingin melihat bagaimana agama mampu membawa perdamaian bagi umat manusia.

Baca Juga  Roman-Roman Karya Hamka: Memukau Sekaligus Dikritik Habis-Habisan

Hadirnya buku ini berawal untuk menyambut kedatangan Imam Ashafa dan Pastor James ke Indonesia pada Oktober 2017. Bukan tanpa alasan buku ini dipersembahkan untuk mereka, hal itu dikarenakan dua agamawan asal Nigeria (yang masing-masing mewakili agama Islam dan Kristen), merupakan pelopor dan pegiat binadamai, yang sebelumnya bermusuhan, ternyata di dalam perjalannya mampu mengubah paradigma bermusuhan itu menjadi paradigma binadamai yang memberikan inspirasi bagi penguatan toleransi lintas-iman.

Bukan hanya dua agamawan itu saja yang dibahas dalam buku ini. Sebagai pelengkap, buku ini juga membahas beberapa contoh terkait peran agamawan dalam upaya-upaya binadamai di tanah air. Seperti membahas peran perempuan lintas-iman dalam upaya binadamai di Maluku, khususnya kota Ambon.

Hubungan Muslim-Kristen di Kupang: menegosiasikan ruang dan menjaga perdamaian. Dan meretas jalan damai berbasis masyarakat dan agama: dari Maluku untuk Indonesia dan dunia.

Inspirasi Buku

Seperti disebutkan di atas, buku ini mulanya terinspirasi dari kisah hidup Imam Muhammad Ashafa (Islam) dan Pastor James Wuye (Kristen) yang sebelumnya terlibat konflik dan permusuhan berbasis agama antara Islam dan Kristen di Nigeria sejak 1990-an. Sebagai dampaknya, Imam Ashafa kehilangan guru dan sepupunya, dan Pastor James kehilangan tangannya.

Keduanya menjadi gambaran nyata bagaimana agama bisa menjadi pendorong kekerasan. Terlepas apakah penyebab konflik kekerasan itu tunggal murni agama atau ada faktor lain seperti politik.

Agama Bukan Faktor Tunggal Penyebab Kekerasan

Sebagaimana disimpulkan Katherine Marshal, dalam percakapannya dengan Imam Ashafa dan Pastor James, ia berkata, “Dalam lapis demi lapis penyebab berbagai konflik di dunia, agama merupakan satu bagian dari narasi, tapi hal itu terkait dengan banyak faktor lainnya”.

Dengan kenyataan demikian keduanya sadar bahwa kekerasan yang dilandasi kebencian satu sama lain telah melahirkan kerugian di kedua belah pihak. Maka, keduanya kemudian hijrah dari kekerasan ke binadamai.

Baca Juga  Andai George Floyd Warga Palestina

Proses mereka hijrah dan membangun sikap saling percaya satu sama lain, diungkapkan oleh Rene Garfinkel sebagai salah satu contoh “transformasi personal”. Yakni suatu sikap yang saling membangun kepercayaan satu sama lain. Tetapi kesalingpercayaan itu bukan dibangun pada diri mereka sendiri, melainkan disebarkan ke segala tempat yang mereka jangkau.

Tujuannya tak lain yakni membangun binadamai diantara komunitas beragama. Dari sini mereka sadar bahwa agama juga mampu membawa sumber perdamaian.

Peran Penting Agama dalam Binadamai

Sebagaimana dirangkum David Little mengenai pengalaman “Religious Peacemaker”, yang menyarikan tiga peran penting agama dalam binadamai, yakni; 1). Agama memberikan kerangka tafsir yang menjadikan perdamaian sebagai cita-cita luhur dalam beragama. 2). Peran agamawan yang memiliki modal sosial sebagai aktor untuk mengajak semua pihak dalam mengatasi konflik sebagai persoalan bersama. 3). Agama sebagai pendorong yang penting didengarkan dan dijawab dalam penyelesaian konflik seperti, ekonomi, politik, serta budaya.

Maka sejak Mei tahun 1995, kedua agamawan ini kemudian mendirikan Forum Dialog Pemuda Muslim-Kristen (Muslim-Christian Youth Dialogue Forum, MCYDF) di Nigeria, dengan tujuan memperkuat komitmen mereka kepada perdamaian.

Memperjuangkan Binadamai: Agama Sumber Perdamaian

Usaha yang dilakukan oleh Imam Ashafa dan Pastor James dalam upaya-upaya binadamai tidak berhenti pada dirinya sendiri. Melainkan disebarkan ke penjuru dunia dengan cara-cara, seperti melembagakan pengalaman dalam pusat mediasi antar-iman, dengan fokus perhatian pada anak-anak muda sebagai “agen-agen perdamaian”.

Memanfaatkan media-media populer, pada tahun 2006 terdapat film dokumenter terkait aktivitas dan pengalaman mereka, yang berjudul The Imam and the Pastor, diproduksi oleh Initiatives for Change Internasional. Lanjutan film ini, berjudul An African Answer, diproduksi pada 2010, menggambarkan kerja-kerja dua agamawan ini di Kenya.

Baca Juga  Ecofeminism: Upaya GCWRI Dorong Kepemimpinan Pemuda dan Perempuan untuk Menggerakkan Perdamaian dan Kelestarian Alam

Setidaknya terdapat dua hal yang dapat dipelajari dari pengalaman Iman Ashafa dan Pastor James yang terangkum dalam buku ini.

Pertama, dialog yang penting dibangun dalam komunitas keagamaan atau lintas iman dan agama. Selama ini, banyak dari kita sering terjebak pada sikap acuh tak acuh antara sesama yang berbeda keyakinan.

Sebagaimana pengalaman dua agamawan ini yang mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik agama. Yakni kurangnya toleransi dan rasa hormat terhadap iman dan praktik ibadah masing-masing. Ketidakmampuan untuk memaafkan, kurangnya pemahaman, kurangnya dialog, kurangnya kesabaran, dan pengendalian diri.

Kedua, kesadaran bahwa sejatinya semua agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih. Sebagaimana surah Al-Anbiya: 107, “Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”.

Dan seperti dikatakan Imam Ashafa bahwa, “Kita pertama-tama dan yang utama adalah manusia. Kita harus berlomba-lomba dalam (menghidupkan) nilai-nilai kejujuran, kesucian, kebersamaan, dan cinta kasih.

Bahkan bukan saja dalam Islam yang mengajarkan mengenai cinta kasih dan perdamaian melainkan dalam agama lain, seperti dalam Al-Kitab Roma 12: 9-10: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat”.

***

Hal ini juga yang diterapkan dua agamawan itu dengan menyatakan bahwa dalam menangani konflik, pihak Muslim maupun pihak Kristen perlu saling mendoakan, saling menghargai keyakinan, melatih kesabaran, bersedia memaafkan dan mengupayakan perdamaian, kejujuran, dan ketulusan.

Kiranya dengan pengalaman dua agamawan yang digambarkan dalam buku ini mampu menginspirasi kita dalam upaya binadamai menjaga Indonesia yang lebih adil, aman, dan sejahtera. Seperti juga dalam contoh-contoh implementasi yang digambarkan dalam buku ini terkait upaya-upaya binadamai di daerah yang rawan konflik.

Dimas Sigit Cahyokusumo
20 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds