Review

Bisakah Puritanisme Bersanding dengan Pluralisme?

3 Mins read

Buku Pluralisme Positif: Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan Muhammadiyah karya Abdul Mu’ti dan Azaki Khoirudin (2019) ini, tampaknya lanjutan dari buku sebelumnya, Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan karya  Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq (2009). Bersama Fajar Riza Ul Haq, Abdul Mu’ti telah menemukan suatu fakta sosial unik di tengah praktik kehidupan antar umat beragama dengan latar belakang yang kompleks dalam lingkungan Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur (NTT).      

Dari sudut pandang visi dan misi organisasi, keberadaan amal usaha—khususnya di bidang pendidikan—tidak  bisa lepas dari peran dakwah Islamiyah yang telah menjadi identitas gerakan Muhammadiyah. Namun kasus di NTT, Muhammadiyah lewat amal usaha pendidikannya mampu bersinergi dengan kelompok mayoritas penganut agama Katolik. Bentuk sinergi lebih spesifik dalam penyelenggaraan sekolah-sekolah Muhammadiyah di area minoritas muslim tersebut. Para pengelola amal usaha (sekolahan) dan murid-muridnya mayoritas non muslim.

Jika membaca realitas sosial yang demikian menggunakan kacamata konfensional, tentu saja praktik penyelenggaraan sekolah-sekolah di NTT dinilai menyeberang dari tradisi organisasi. Sebab, selain sebagai gerakan Islam dan gerakan tajdid, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah. Keberadaan amal usaha menjadi salah satu pilar dalam perkaderan Muhammadiyah. Apakah gerakan dakwah Muhammadiyah lewat sekolah-sekolah dapat disebut Islamisasi di tengah mayoritas non muslim? Apakah para pengelola dan murid di sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT dapat disebut sebagai aktivis atau kader Muhammadiyah?

Inilah fakta sosial yang begitu kompleks dan butuh penjelasan teoritis dan praktis tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT.    

Bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berhaluan puritan yang pluralis atas dasar prinsip egaliter mampu bersanding—bahkan berkolaborasi—dengan para penganut agama Katolik adalah suatu keniscayaan (hlm. 81-91). Inilah fakta sosial yang rupanya tidak hanya ditemukan di NTT, tetapi juga ditemukan di Kawasan Papua lewat kehadiran Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) yang mayoitas pengelola dan para mahasiswanya non muslim. Maka dibutuhkan teoritisasi dengan mencari rumusan dan konsep tentang pluralisme untuk menjelaskan fakta sosial di NTT dan Papua tersebut.

Baca Juga  Perintah Shalat Sudah Ada Sebelum Peristiwa Isra’ Mi’raj!

Pluralisme yang selama ini distigmakan secara negatif (konfensional), ternyata memiliki varian baru yang justru memiliki makna sebaliknya (non konfensional). Dengan meminjam kerangka konseptual pluralisme menurut Kuntowijoyo (hlm. 115-116), maka praktik pluralisme yang terjadi di Muhammadiyah NTT dan Papua adalah bentuk pluralisme yang positif. Buku Pluralisme-Positif karya Abdul Mu’ti dan Azaki Khoirudin bermaksud untuk memberikan rumusan konseptual dan implementasi dalam pendidikan Muhammadiyah secara lebih komprehensif.

Selama ini, persepsi umat Islam tentang wacana pluralisme memang cenderung negatif. Pluralisme masih dimaknai sebagai kecenderungan untuk berpindah-pindah, mencampuradukkan atau tidak berterus terang terhadap keyakinan agama. Padahal, dalam implementasinya pluralisme dapat berwujud sikap terus terang dan berpegang teguh pada suatu keyakinan, namun pada saat yang bersamaan bisa menerima orang lain yang berbeda keyakinan.

Konteks pertama bentuk pluralisme yang bernilai negatif karena tidak memiliki pendirian, mencampuraduk keyakinan yang sudah pasti berbeda, dan bersikap tegas serta jujur. Konteks kedua adalah bentuk pluralisme bernilai positif karena bersikap tegas dan jujur, berpegang teguh pada keyakinan sendiri, tetapi sekaligus membuka ruang toleransi untuk orang lain yang berbeda keyakinan (hlm). Inilah teori pluralisme-positif yang pernah digagas Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid, hlm. 288-289) yang menginspirasi lahirnya buku ini.

Fakta sosial unik di lingkungan Muhammadiyah di kawasan Indonesia Timur (NTT dan Papua) memang dapat menjadi semacam model hubungan harmonis dan kolaboratif antara berbagai kelompok keyakinan dengan menempatkan Muhammadiyah sebagai kohabitasi atau ‘payung besar’ tanpa harus kehilangan identitas. Justru, identitas baru muncul dalam praktik toleransi otentik yang dilakukan para pengurus Muhammadiyah di Kawasan NTT dan Papua.

Proses adaptasi yang baik telah mengubah cara pandang baru dalam memaknai hakekat dakwah Islamiyah kepada kelompok non muslim yang tidak mengharuskan mereka menjadi muslim. Dakwah Islamiyah, begitu juga penyampaian mata pelajaran Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (ISMUBA) di sekolah-sekolah Muhammadiyah setempat mengalami proses modifikasi secara total.

Baca Juga  Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

Selain sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT yang mayoritas guru dan murid-muridnya non muslim, di kawasan Papua juga bertebaran amal usaha di bidang pendidikan tinggi yang mayoritas dosen dan mahasiswanya non muslim.

Sampai saat ini, berdasarkan hasil kajian Mu’ti dan Azaki , paling tidak ada enam Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang memiliki jumlah mahasiswa mayoritas non muslim (Universitas Muhammadiyah Kupang, IKIP Muhammadiyah Maumere (NTT), Universitas Muhammadiyah Sorong, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura (Papua). Seperti dalam kasus sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT, maka mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) di Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Papua juga mengalami proses modifikasi secara total (hlm. 168-173).

Inilah praktik toleransi otentik Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan Manhaj Salafi-Reformis yang ternyata mampu berkolaborasi dengan kelompok non muslim (puritan yang pluralis). Lebih jauh lagi, Muhammadiyah telah mempraktikkan toleransi otentik lewat jalur pendidikan dengan seperangkat komponennya (manajemen, kurikulum, dan lain-lain) yang tidak bertujuan untuk mengislamkan warga Katolik di NTT dan Papua, tetapi hanya cukup untuk mengenal Islam dan Muhammadiyah sehingga terbangun prinsip saling memahami perbedaan antar keyakinan.

Hemat penulis, inilah jalan moderasi dengan desain yang soft sehingga tidak menimbulkan gejolak dan gesekan konflik antara keyakinan. Sangat direkomendasikan bagi para aktivis, pendidik, pegiat dialog antar keyakinan, baik di lingkungan Muhammadiyah maupun umat Islam di Indonesia.   

Sumber: Suara Aisyiyah edisi Desember 2019.

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *