Terlepas dari konsep yang Mas Menteri tawarkan, saya lebih demen membahas perihal maksud “merdeka”-nya Pak Menteri beserta jajarannya. Pasalnya, kalau strategi tata ulang pendidikan nasional dalam program Merdeka Belajar khususnya ‘Kampus Merdeka’, maka kata “merdeka” menjadi kata kunci yang sakral dan tentu sangat eye catching.
Pada intinya, gagasan ini mengenai upaya melepaskan dedek-kakak-abang sekalian dari belenggu pendidikan yang tak jarang disebut-sebut justru jauh dari kata pembebasan, alasan utama adanya pendidikan. Sejak wacana ini dikeluarkan hingga 2 Mei lalu terus dinarasikan, pro-kontra kebijakan anyar tentu ndak akan nguap begitu saja. Makin asik, kala sambut hangat wacana merdeka dalam belajar, semakin ramai gelombang kritik dan luapan kekhawatiran bin su’udzon adanya pesanan sang pemilik kapital. Dari hore… kita akan bebas, menjadi loh kok kayaknya otewe jadi robot kapitalis?!
Saya, mahasiswa, seneng dan was-was juga, ngambang layaknya sampah-sampah di lautan sana. Sejak wacana kebijakan ini keluar, kampus dan pimpinan utamanya begitu sumringah dan hits-charming luar biasa. Saya yang begitu dzolim dan lalainya ngibadah di kelas (ini pengakuan dosa ceritanya) tentu jenggilak senang mendengar kabar bahwa SKS ndak lagi harus dipenuhi dari hadir penuh di ruang kuliah. Apalagi mendengar kabar jatah skip akan bertambah dan anti cekal, haha….
Lalu, mulai satu-dua diskusi ala mahasiswa digelar, puncaknya hari pendidikan lalu elite kampus mengeluarkan kajian, catatan kritis kebijakan merdeka ini. Terungkap sisi ‘mendung’ program yang ada, tentang PTN-BH beserta komersialisasi, magang dan robot-robot industry, serta kesenjangan kualitas perguruan tinggi. Tapi, saya ndak berani membahas, bukan ahlinya, bukan empunya. Bisa aja kalau Anda sekalian mau membaca, BEM KM IPB sudah menyusun poin kritisnya sampai 56 halaman banyaknya. Ehe….
Hanya saja, saya sebagai manusia yang suka heran dan bertanya-tanya, satu kalimat tanya muncul di benak saya, “merdeka belajar, kampus merdeka, kok perumusannya mirip-mirip instruksi?” Aih, memang sukarela katanya, tapi tetap saja, bagi saya kata merdeka yang menjadi ikon program ini begitu nggateli.
Pertama dan paling umum kita tahu, merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bebas, berdiri sendiri, lepas dari tuntutan, leluasa. Merdeka dan konsep pendidikan merdeka sudah menjadi inti dari inti penyelenggaraan pendidikan kita bukan? Harusnya…
Baiklah, siapa Bapak Pendidikan kita? Bagus… Ki Hadjar Dewantara. Harum budi dan wasiat beliau mengenai pendidikan yang tujuannya tak lain adalah ‘memanusiakan manusia.’ Dalam rangka memerdekakan manusia dalam lingkaran perbudakan, serta tentunya lahir pribadi-pribadi yang mandiri, bisa mengatur dirinya sendiri. Titik tekan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah sama dengan titik tekan konstruktivisme. Strategi untuk mencapai tujuan tersebut selaras dengan filsafat konstruktivisme, menekankan kemandirian serta kesadaran why dan tujuan belajar. Populernya yakni model pembelajaran student centered learning.
Dewasa ini, model belajar ini pula yang terus dinarasikan dan coba diimplementasikan. Tapi, saya kok teringat Paulo Freire yang keras dengan kritik atas pendidikan ‘gaya bank’. Pendidikan yang menempatkan anak didik sebagai wadah dan objek semata. Jujur saja, saya dan Anda semua pasti terlatih untuk manut apa-apa yang disampaikan guru, menghapal, dan tentunya ndak terlalu paham, maksud beliau-beliau itu apa? Iya bukan?
Puji syukur, student centered learning sudah menjadi jalan yang diupayakan bersama untuk mencetak peradaban yang tak kan pernah mati. Pendidikan yang menempatkan anak didik sebagai subjek, yang memanusiakan manusia. Pendidikan seperti ini, lekat dengan Islam, kental dengan spirit pembebasan. Pembebasan manusia yang salah satunya dapat dirasai dari kasih Allah yang turun dalam surat Al-A’raf ayat 157.
”(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.
Bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhamad SAW untuk melepaskan umat manusia dari belenggu-belenggu dan kekuatan tirani lainnya. Dalam pandangan Hassan Hanafi, dikatakan bahwa Islam adalah agama protes, oposisi, dan revolusi. Islam mempunyai makna ganda, yaitu Islam sebagai ketundukan, yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas, dan Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas miskin. Ketika Islam dilihat sebagai upaya pembebasan manusia, pendidikan dalam Islam sebagai proses demokratis dan dialogis, serta transfer nilai-nilai keislaman, yakni tauhid.
Kembali pada program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, ndak perlu repot-repot bertanya kepada Mas Menteri maunya yang bagaimana? Lah wong anak didik itu subjek, kalau ketemuan sama beliau, maka kitalah, anak didiklah yang menyampaikan maunya bagaimana?
Gini deh, pertanyaan saya, yakin nih merdeka belajar?