Oleh: Fauzan A. Sandiah
Apa yang kita sebut sebagai “radikalisme” berhubungan dengan implementasi kaku ideologi salafisme dan islamisme. Terlepas dari betapa kontroversialnya konsep “radikalisme” yang sekarang digunakan dalam program-program pemberantasan ekstrimisme keagamaan, istilah ini terlanjur diterima begitu saja.
Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan konsep radikalisme yang dimaknai sebagai ekspresi politik antithesis sekularisme, pluralisme dan toleransi. Selama kurang lebih tujuh belas tahun, terhitung sejak tragedi Bom Bali, muncul asumsi praktis bahwa upaya penangkalan paham ekstrimisme keagamaan hanya bisa dilakukan oleh kelompok muslim tradisionalis. Alasan utamanya, karena kelompok muslim tradisionalis dikenal menguasai khazanah pengetahuan Islam klasik melalui kitab kuning. Apakah benar kecakapan khazanah kitab kuning sudah cukup untuk menangkal pemahaman kaku keagamaan yang saat ini demikian berkembang?
Kitab Kuning dan Muslim Tradisionalis
Kitab kuning, dijelaskan oleh Martin van Bruinessen adalah warisan agung tradisi khazanah Islam di Nusantara. Bukan cuma surau, pondok atau pesantren beraliran salaf tradisionalis saja yang mengajarkan kitab kuning, tapi juga pondok pesantren berorientasi modernis seperti Gontor pun mengajarkannya. Kitab kuning adalah teks-teks keagamaan meliputi studi aqidah, fiqih, akhlak tasawuf dan nahwu shorof. Kalangan muslim pesantren menggunakan kitab kuning sebagai bagian penting dari proses pembelajaran. Peran Kiai memang sentral dalam proses belajar, tapi kitab kuning adalah semacam perantara signifikan. Beberapa kitab disarikan oleh ulama dari kitab-kitab babon.
Kitab kuning jarang ditemukan di pondok-pondok beraliran modernis, kecuali hanya beberapa saja. Alasan utamanya karena kebanyakan kitab tersebut sangat dominan corak teologi Asy’ariyah dengan mazhab fiqih Syafi’I serta Ghazalian dalam sisi tasawuf. Pada awal abad 20, ulama-ulama modernis lebih tertarik pada kitab-kitab Ibn Taimiyah dan menekuni kitab tafsir Muhammad ‘Abduh yang dianggap lebih progresif sebagai pemikiran keagamaan. Ibn Taimiyah dikenal sebagai pendiri gerakan salafy, sedangkan Muhammad Abduh dianggap sebagai penerus paham salafy yang lebih modern. KH. Hasyim Asy’ari, salah satu figur ulama tradisionalis yang kharismatik juga mengagumi Muhammad Abduh, kendati ia tidak begitu suka cara Abduh mengejek ulama tradisionalis.
Kitab kuning punya posisi menarik. Kebanyakan pengamat Islam menganggap kitab kuning sebagai variabel penting yang membedakan muslim tradisionalis dengan modernis. Kelompok muslim tradisionalis identik dengan santri-santri pondok salaf yang sangat kuat dengan tradisi kitab kuning. Sedangkan kelompok modernis terdiri dari ulama atau pelajar-pelajar muslim pribumi yang tertarik dengan gagasan pemurnian ajaran Islam. Islam tradisionalis dekat dengan tasawuf, sedangkan Islam modernis punya konsep purifikasi keagamaan. Perbedaan ini lamban laun terlihat makin jelas seiring dengan polarisasi dan preferensi politik kedua kelompok ini.
Menangkal Radikalisme
Pertanyaan berikutnya apakah penguasaan kitab kuning punya korelasi dalam proses pemberantasan “radikalisme”? Jawabannya iya, sejauh kita merujuk pada upaya ulama-ulama tradisionalis membentengi tradisi Islam salaf dari kritikan ulama-ulama modernis yang rasional dan kritis. Tapi kita perlu mempertimbangkan konteks-konteks sosial politik lainnya. Kekuasaan kolonial di Jawa masih kuat, artinya ada persoalan kesejahteraan yang menjadi masalah nyata umat Islam saat itu. Ada baiknya tidak terburu-buru membaca pertentangan antara ulama tradisionalis atau modernis itu terjadi dalam dua arah yang saling bereaksi. Fokus utama ulama modernis adalah kesehatan dan pendidikan. Kebanyakan waktu dan tenaga ulama modernis adalah mengurus persoalan nyata ekses dari proses kolonialisme.
Figur ulama terpenting nusantara, KH. Ahmad Dahlan tidak menjalankan proyek wahabisasi atau salafisasi yang identik disematkan pada ulama-ulama berorientasi modernis. Lebih daripada mempersoalkan urusan-urusan berbau ideologi semacam itu, KH. Ahmad Dahlan melihat masalah utama umat Islam adalah penjajahan. Eksploitasi kemanusiaan itu semakin diperparah dengan terjadinya jejaring kekuasaan berbasis kapital simbolis yang terjadi dalam tubuh kelompok Islam sendiri. Tapi KH. Ahmad Dahlan sama sekali tidak melakukannya dengan mengkritik habis semua praktik hirarkis dalam proses relasi kuasa antara Kiai dan jamaah.
Ahmad Dahlan bekerja sistematis. Ia memulainya dengan program-program spesifik, kesehatan, pendidikan dan literasi. Di sinilah letak kekeliruan fatal yang hingga saat ini diproduksi berulang-ulang bahwa seolah-olah ulama modernis tidak punya kontribusi apapun dalam penangkalan paham ekstrimisme keagamaan. Ulama-ulama modernis terlatih bekerja secara global dan cekatan dengan perkembangan dunia. Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan memperkenalkan praktik yang kita kenal hari ini sebagai integrasi keilmuan. Ia mengapropriasi sains sebagai jalan keluar mengatasi hambatan-hambatan kemajuan umat Islam.
Ide itu barangkali dianggap mengancam kemapanan khazanah Islam tradisionalis. Karena konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan sains dan metode mutakhir pemikiran sosial-politik berpotensi mendinamisasi relasi-relasi kultural yang mapan. Sangat mengejutkan bahwa lompatan-lompatan pemikiran KH. Ahmad Dahlan pada awal abad 20 masih belum mampu diselesaikan oleh umat muslim abad 21.
Meredam Paham Irhabiyah
Persoalan radikalisme itu bukan semata-mata kegagalan kognitif. Memang ada hubungan yang nyata antara pemahaman keagamaan yang dangkal dengan sikap kaku dalam beragama. Tapi itu tidak bisa dianggap sebagai variabel yang terpisah dengan persoalan sosiologis dan politik. Kebanyakan paham radikal saat ini mengacu pada taktik-taktik praktis ulama abad pertengahan dan doktrin-doktrin selama masa perang perebutan kekuasaan abad 19 dan perang teluk abad 20. Ulama-ulama yang dianggap sebagai pionir paham radikal seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Abdullah Azzam dan Usamah bin Laden menjadi begitu kontekstual dalam benak kelompok radikal karena persoalan kegagalan negara menangani kepanikan sosial.
Paham radikal bisa berbahaya sejauh mereka mulai masuk pada empat gagasan perang, yakni qital fisabillah, jihad fardlu ‘ain, irhabiyah, dan tauhid hakimiyah. Sejauh tidak ada tanda-tanda gagasan semacam itu, tingkat radikal tadi murni sebagai ekspresi keagamaan yang kaku saja. Satu dari empat gagasan itu yang paling berbahaya adalah irhabiyah atau terorisme perang.
Aksi pemboman Bali tahun 2002 yang menewaskan 200 orang adalah konsekuensi tak terelakkan dalam tubuh kelompok Islam radikal yang mulai pecah. Aksi terorisme yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu terjadi karena fragmentasi dalam Jama’ah Islamiyah (JI). Aksi yang digawangi Abdul Aziz alias Imam Samudera dan Ali Ghufron itu terinspirasi dari gagasan Usamah Bin Laden bahwa musuh utama umat Islam adalah Amerika dan sekutu. Ini agak berbeda dengan sebagian faksi dalam JI yang melihat bahwa musuh utama adalah musuh yang dekat dengan tantangan umat Islam di Indonesia.
Proses-proses interpretatif faktual adalah problem kognitif kelompok jihad. Jadi bukan sekedar salah kaprah atau menjauhi khazanah Islam klasik. Problemnya adalah mereka terlalu dekat dengan sumber kepanikan sosial. Amerika adalah representasi dari simbol represif yang pongah, adikuasa dan peradaban pengetahuan mahatahu. Kebijakan-kebijakan propaganda Amerika di Afghanistan dan ambisi menjadi polisi dunia, memberi konteks faktual perasaan terancam pada sebagian diri aktivis JI. Proses rumit itu melibatkan perasaan panik yang sangat lokal dan solidaritas perang.
Perasaan terancam dan terbatasnya alternatif pemikiran solutif atas masalah-masalah politik dan sosial umat muslim ini bisa diselesaikan dengan sosialisasi pengetahuan Islam klasik yang kaya. Tapi, itu tidak menyelesaikan arus lalu lintas solidaritas perang yang bisa menghinggapi siapa saja. Kelompok radikal harus bersentuhan dengan cara-cara praktis dan temporal dalam menghadapi ancaman kemanusiaan yang dihasilkan dari proses politik global. Itu yang tidak bisa ditangani sekedar dengan debat khazanah kitab kuning.
Baik kalangan santri neo-tradisionalis dan kelompok intelektual muslim modernis punya aspek kontribusi yang berbeda. Hal itu tidak perlu dipertentangkan terutama dalam hubungannya dengan upaya edukasi paham keagamaan yang moderat dan berbasis pada pembaruan sosial. Masing-masing dibekali oleh perangkat intelektualisme yang berbeda. Mempertentangkan kontribusi keduanya justru berujung pada sikap menihilkan kerja-kerja nyata kelompok muslim kontemporer. Pembedaan itu harusnya sudah berhenti seiring dengan semakin terbukanya akses pendidikan bagi kelompok santri dan makin majunya inovasi iptek muslim modernis. Sebab, tantangan utama umat muslim sangat nyata di depan mata.