Riset

Bencana Alam: Peringatan Agar Manusia Menghargai Sains

4 Mins read

Sejak peristiwa gempa bumi berkekuatan 9,3 SR di Pantai Barat Sumatera pada tahun 2004, istilah Tsunami telah mengisi perbendaharaan kata keseharian orang Indonesia. Karena mengakibatkan Tsunami Aceh dengan korban meninggal mencapai 280.000 jiwa, ingatan terhadap kejadian itu sangat melekat dalam memori kolektif masyarakat. Sri Lanka, India, dan Thailand juga menerima dampak gempa megathrust tersebut.

Tsunami sebetulnya adalah bagian dari aktivitas perindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan vertikal di permukaan laut. Tsunami pada umumnya dipicu oleh gempa atau gerak lempeng bumi. Tsunami hingga kini menjadi identik dengan ‘bencana alam’ yang mahadahsyat. Orang-orang yang tinggal di pesisir pantai menjadi sangat waspada dengan potensi Tsunami. Pasca gempa dan tsunami di Aceh, berbagai tempat di Indonesia telah disiapkan. Tanggul buatan hingga ekosistem terumbu karang dan kawasan pohon pesisir pantai menjadi solusi.

Kesadaran Sains

Menjelang akhir tahun 2018, gelombang Tsunami kembali menjadi pembahasan di media nasional dan menyebar cepat di platform media sosial. Tsunami yang baru-baru saja terjadi di Banten dan Lampung Selatan pada tanggal 22 Desember memastikan bahwa potensi gelombang besar di Indonesia tidak dapat dianggap sebagai kejadian insidental.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah memungkinkan manusia untuk memprediksi ‘bencana alam’ melalui alat dan perhitungan matematis serta pengujian model. Tsunami Selat Sunda sudah diprediksi sejak lama. Widjo Kongko pakar tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tanggal 3 April 2018 menyampaikan bahwa berdasarkan pada skenario pemodelan, Kabupten Pandeglang berpotensi mengalami tsunami setinggi 57 Meter. Presentasi Widjo menimbulkan respon reaktif karena sudah tersebar luas. Polda Banten memanggil Widjo dengan tuduhan ‘meresahkan masyarakat’. Pernyataan Widjo tentang potensi tsunami setinggi 57 Meter di Padeglang tentu tidak saja meresahkan masyarakat, tapi juga menganggu iklim investasi.

Baca Juga  Terapi Mewujudkan Kalender Islam Pemersatu

Sebagaimana dikutip dari tribunnews.com, Ditreskrimsus Polda Banten misalnya secara terbuka menyatakan bahwa pernyataan Widjo akan memunculkan kekhawatiran pada investor untuk menanam modal di Pandeglang. Widjo bukan orang biasa, dia menyelesaikan studi doktoralnya di Leibniz Universitaet Hannover, Jerman dan menekuni penelitian tentang tsunami di Indonesia selama bertahun-tahun.

Meskipun bukan satu-satunya, Widjo adalah ilmuwan yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Pemidanaan terhadap Widjo atas tuduhan ‘meresahkan masyarakat’ sangat bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Padahal dalam literatur riset geologi Indonesia, sejarah telah mencatat bahwa tsunami terjadi berkali-kali di Selat Sunda, yakni terjadi pada tahun 416, 1722, 1851, 1852, 1883, 1889, 1928, dan 1958.

Penyebabnya mulai dari erupsi gunung api bawah laut, gempa bumi, hingga longsoran di bawah laut. Dikutip dari kajian Yudhicara dan Budiono (2008) kondisi tektonik Selat Sunda dikenal sangat rumit, menghubungkan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia serta menjadi tempat terbentuknya sistem busur kepulauan yang berasosiasi dengan Palung Samudera, zona akresi, busur gunung api, dan cekungan busur belakang.

Semua hal ini memungkinkan potensi gelombang besar yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Tanpa perhatian yang serius dari pemerintah daerah kejadian yang sama akan terus menerus berdampak besar.

Kebijakan Pro-Ekologis

Kebijakan investasi yang begitu gencar digerakkan jangan sampai menafikan kajian akademis tentang potensi kebencanaan. Iklim investasi yang tepat selalu memperhatikan kondisi ekologi dan sosial. Pembangunan infrastruktur dan eksplorasi kawasan pantai dan pegunungan tentu saja akan berdampak balik terhadap kehidupan manusia.

Selama ini ‘bencana alam’ selalu dikonotasikan sebagai ‘bencana’ karena dianggap terjadi tanpa ada campur tangan manusia. Diasumsikan bahwa kejadian alam yang berdampak pada manusia terjadi secara alamiah dan bagian dari aktivitas bumi. Padahal, bencana tidak saja berhubungan dengan siklus alam, tetapi juga sangat berkaitan dengan bagaimana manusia mengenal lingkungan hidupnya sendiri.

Baca Juga  Kita Bukan Anti-Sains, Hanya Kurang Total Ber-Sains

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi yang mengatur tata kota harus mulai cermat. Mereka harus mulai mempertimbangkan aspek dampak ekologi dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Misalnya untuk kebijakan investasi, jangan sampai menempatkan laba daerah lebih tinggi daripada pertimbangan ekologis. Terutama bagi daerah yang tengah gencar memajukan industri pariwisata.

Dinas Lingkungan Hidup bekerja sama dengan badan geologi harus terus mendorong pemerintah untuk sadar dengan ekses ekologi yang mungkin akan timbul. Kepentingan kelestarian ekologi dan ekosistem harus menjadi prioritas pertama dalam semua kebijakan. Kejadian alam memang tidak dapat diprediksi, tapi cara untuk memahaminya kian maju dan aksesibel.

Ketangguhan Masyarakat Sipil

Peristiwa alam seperti Tsunami sebetulnya telah melahirkan kekuatan sipil. Melalui kampanye untuk melek ekologi, mereka terus menerus mengedukasi publik. Lembaga seperti MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Disaster) misalnya adalah bentuk dari filantropi kebencanaan yang tumbuh sebagai kekuatan sipil. Tsunami Aceh telah menggerakkan kesadaran publik bahwa dampak peristiwa alam terhadap manusia dan ekosistem dapat diminimalisir.

Selain Muhammadiyah dengan MDMC yang dibentuk pada tahun 2007, gerakan-gerakan sigap kebencanaan di bawah narasi filantropi juga dikembangkan oleh kelompok sipil lainnya Aksi Cepat Tanggap pada tahun 2005. Negara sendiri mulai secara sistematis mengkonstruksi sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Perpres No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasionla Penanggulangan Bencana (BNPB).

Transformasi sistem respon kebencanaan di Indonesia memang sangat panjang dan sangat berkaitan dengan perkembangan gerakan filantropi di Indonesia. Gerakan-gerakan filantropi tersebut juga dimungkinkan sebagai manifestasi gerakan nasionalisme dan pemberdayaan sosial.

Peristiwa alam memberikan pelajaran penting bagi manusia. Menjelang tutup tahun 2018, setidaknya ada dua kejadian alam yang telah memaksa perhatian publik secara intensif, yakni gempa bumi di Donggala dan Tsunami di Selat Sunda. Peristiwa alam semacam ini seharusnya sudah cukup untuk memberikan sinyal tentang pentingnya pendidikan publik terhadap potensi kejadian alam serupa, meminimalisir dampak dengan memperhatikan secara serius kajian Amdal, kajian geologi, dan perubahan iklim. Kejadian alam adalah bagian dari siklus, sedangkan potensi bencana yang lain juga dapat disebabkan oleh terancamnya keseimbangan ekosistem kawasan akibat eksplorasi bawah tanah (tambang), habisnya lahan untuk ruang terbuka hijau, dan reklamasi besar-besaran. Perlu diperhatikan bagaimana misalnya dampak reklamasi terhadap keseimbangan ekosistem pesisir pantai.

Baca Juga  Memetik Benih-benih Hikmah di Balik Corona

Peristiwa alam juga tidak sekedar menjadi medium pesan teologis atau pertanda eskatologis. Peristiwa alam memang dapat menjadi sarana manusia untuk merenungi makna spiritual perjalanan hidupnya. Tetapi peristiwa alam juga dapat dimaknai sebagai peristiwa sains di mana berbagai aktivitasnya dapat dipahami melalui hukum alam. Itu tidak berarti bahwa kita kehilangan makna teologisnya sama sekali. Pemaknaan keagamaan tetap penting selama selalu dibarengi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan sebagai instrumen mencapai kebenaran hakiki.

.

Editor: Yahya Fathur R
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds