Review

Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen: Jejak Literatur Muhammadiyah Pada Awal Abad 20

5 Mins read

Vernakularisasi al-Quran di akhir abad 19 dan awal abad 20 menjadi menjadi salah satu peristiwa yang menarik untuk ditelusuri. Proses penghentian menulis dengan aksara Jawa secara paksa oleh rezim penguasa kolonial tersebut semakin diperparah dengan berubahnya sikap orang Jawa yang menjadi antipati terhadap bahasnya sendiri, bahasa Jawa. Padahal, aksara Jawa dan bahasa Jawa laksana tubuh yang berkaitan.

Penggunaan alfabet Latin kemudian secara serentak dipandang mewakili sebuah langkah  menuju modernitas pada tulisan bahasa Jawa. Demikian halnya Balai Pustaka yang menggunakan aksara alfabet pada tahun 1917. Posisi aksara carakan pun menjadi semakin terancam dengan maraknya Latinisasi oleh pemerintah Kolonial Belanda (h.44-45)

Latinisasi oleh Hindia Belanda pun diperparah kembali dengan masuknya Jepang tiga tahun sebelum kemerdekaan. Mempertebal Latinisasi dan meminggirkan aksara Jawa dilakukan saat kolonialisme Jepang pada tahun 1942-1945.

Vernakularisasi Pesan Agama

Kesadaran vernakularisasi –pelokalan bahasa agar pesan-pesan keagamaan menjadi mudah diterima masyarakat lokal- -kemudian menggeser penulisannya menjadi Pegon dan Jawi meski tetap tidak meninggalkan alfabet Arab. Meskipun demikian, di belahan Jawa bagian selatan, pusat kekuasaan Mataram Islam, tidak terpengaruh dengan diglossia.

Dalam kehidupan keislaman, mereka melakukan pola adopsi dan adaptasi antara Islam dengan budaya Jawa. Begitu pula ketika melakukan upaya penafsiran terhadap  al-Quran (h.25). Diglossia juga dialami di dunia Melayu karena tradisi penulisan dan penyalinan teks-teks keislaman banyak dilakukan ke bahasa Arab.

Buku Warisan Islam Nusantara: Tafsir al-Quran Carakan dan Narasi Reformisme menjadi salah satu kliping sejarah vernakularisasi kitab suci umat Islam. Sejarah al-Quran berbahasa Jawa dalam aksara carakan berjudul  Kitab Kur’an: Tetedakanipun ing Tembang Arab Kajawekaken (1858). Pada abad ke-20, al-Quran yang ditulis huruf carakan berjudul Qur’an Jawi yang ditulis oleh Ki Bagus Ngarpah, Mas Ngabehi Wiro Pustoko, dan Ki Rono Suboyo. Ketiganya merupakan abdi dalem di Keraton Surakarta (h.41). Kitab Tafsir juga ditulis oleh Mas Ngabehi Muhammad Amin bin ‘Abdul Muslim berjudul, Qur’an Jawen.

Muhammadiyah dan Budaya Jawa

Dua kitab tafsir aksara jawa berjudul Qur’an Jawen (QJ) dan Tafsir Qur’an Jawen (TQJ) menjadi bukti membuktikan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam pertama di Indonesia yang memperkenalkan tafsir al-Quran. Sistem penulisan yang disusun secara runtut dari juz pertama hingga akhir pada TQJ, sedangkan QJ selama penelusuran penulis hanya ditemukan 78  halaman dalam bentuk fisik. 

Mengapa tafsir aksara carakan sangat penting di awal pendirian Muhammadiyah? Pada awal berdiri Muhammadiyah cenderung menggunakan literasi aksara Jawa saat menuliskan karya-karyanya. Ini dilakukan sebagai bentuk representasi dari tradisi priyayi Jawa yang mendukung budayanya. Selain itu, ini  salah satu cara untuk melestarikan bahasa Jawa yang notabene budaya Jawa.

Baca Juga  Socrates: Manusia Tidak Boleh Takut Akan Kematian!

Identitas Muhammadiyah

Bagi Martin van Bruinessen, aksara carakan menunjukkan Muhammadiyah memiliki identitas pembeda dari antara kalangan reformis dan tradisionalis. Jika tradisionalis melakukan kepenulisan pada karyanya dengan menggunakan bahasa Arab untuk menambahkan nilai kehormatan, sedangkan kalangan reformis justru menggunakan bahasa Indonesia dengan huruf Latin atau bahasa lokal.

Muhammadiyah di awal berdirinya, amat lekat dengan  tradisi Islam Jawa Kauman yang menjadikan dakwah Muhammadiyah juga harus menyesuaikan dengan tradisi Jawa. Atas dasar inilah, tokoh-tokoh Muhammadiyah memperkenalkan dan mengajarkan Islam baik secara lisan/tulisan dengan membawa unsur Kejawaan.

Jawaban Muhammadiyah melihat umat yang memiliki kemampuan berbeda dengan masyarakat Islam Jawa Kauman memahami teks-teks Islam yang berbahasa Arab adalah pekerjaan berat tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam dakwahnya. Cara dakwah Muhammadiyah pun menggunakan  bahasa Jawa dan aksara carakan sebagai media tulis teks-teks ajaran Islam sebagai bahan pengajaran. Di sini, para tokoh Muhammadiyah awal menjelma menjadi audience design mengubah cara berkomunikasi sesuai dengan situasi dan konteks di mana mereka berada (h. 69-73).

Aksara carakan dipilih oleh pengarang yang berangkat dari analisa tentang tiga aksara banyak digunakan dalam penulisan terjemah dan tafsir al-Quran oleh ulama Jawa, yaitu  aksara Jawa (carakan), pegon dan latin. Kraton dan Kauman dengan aksara Jawa, pesantren dengan aksara pegon, dan aksara latin untuk masyarakat urban (putihan). Hal ini berkaitan pembagian Snouck Hurgonje soal Islam Jawa, pesantren, Kauman, dan pedesaan. (h.28-29)

Bahasa QJ dan TQJ

Dalam pola komunikasi yang diterjemahkan penulis pada QJ dan TQJ, adalah ngoko alus, karena bahasa Jawa lugas dalam praktik penuturunnya dicampur bahasa krama inggil. Penggunaan ini karena dalam al-Quran terdapat interaksi antara hamba  dan Tuhan yang memilik hubungan vertikal. Dalam kitab QJ dan TQJ juga saat Tuhan pada posisi penutur Tuhan selalu menggunakan bahasa ngoko. Namun berbeda saat penerjemahan teks komunikasi antara manusia-manusia menggunakan krama inggil. (h. 82)

Salah satu contohnya ada pada penafsiran Surat Al-Baqarah (2) ayat 96, “(Muhammad) Sira mesthi weruh yeng wong-wong (Yahudi) iku dhemene marang urip ngungkuli marang manungsa kabeh, lan angungkuli wong kang padha musyrik. Sijine wong mau kepengin urip nganti umur sewu tahun, tur umurue sewu tahun pisan. Wong mau ora bisa nyingkiri siksa. Allah iku mirsani samubarang kang padha dilakoni.”

Baca Juga  Peran Filsafat Pendidikan Islam Al-Attas di Indonesia

Pada kata sira yang berarti kamu. Pada dasarnya setingkat dengan kowe yang dalam hierarki kebahasaan jawa ada pada tingkatan terendah. Hanya kata sira digunakan karena penutur teks ayat itu Allah (h.83).

Dalam penafsiran TQJ dan QJ tidak bisa disamakan dengan karya-karya tafsir berbahasa Jawa semacam al-Huda Tafsir al-Qur’an Basa Jawi, al-Ibriz, al-Iklil, maupun Taj al-Muslim dalam pemilihan kosa kata halus. Misalnya saat menerjemahkan la rayba fih dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 2. TQJ memilih diksi “ora ono sumelange”, sementara tafsir al-Huda menyebut “ora ana mamang maneh’, al-Iklil mengatakan “tur ora mamang” dan Taj al-Muslimin dengan diksi “kang ora ana mamang”, sedangkan al-Ibriz menyebut “iku ora ana kemamangan”. Pada dasarnya kata “sumelang” dan “mamang” memiliki makna yang sama yaitu ragu. Yang membedakan keduanya hanyalah tingkat kehalusan tutur (h.85).

QJ dan TQJ ditulis dengan bahasa yang merefleksikan penulisannya berasal dari kalangan priyayi Jawa karena menggunakan krama inggil  dan Kedhaton (bahasa halus di Keraton Surakarta). Dalam kehidupan sehari-hari, krama inggil (krama alus) merupakan tingkatan bahasa yang paling luhur oleh seorang penutur terhadap lawan bicara.

Dalam bahasa Jawa, tingkat kehalusan tertinggi dalam bahasa Jawa. Pada tingkatan krama inggil, kedudukan lawan bicara penutur dianggap lebih tua, dihormati, memiliki kedudukan, kekuasaan atau pendidikan yang lebih tinggi. Dalam keseharian sering digunakan antara murid kepada guru, anak kepada orang tua. Krama inggil juga sering digunakan saat lawan bicarannya orang banyak (h.82).

Menelaah Nalar Muhammadiyah

Pola bahasa yang digunakan dalam kitab tersebut, kita bisa menelaah nalar Muhammadiyah awal dalam literartur tafsir al-Quran carakan QJ dan TQJ menunjukkan karakteristiknya sebagai kalangan reformis Jawen, terutama dalam penggunaan aksara lokal. Dalam hal sumber rujukan menunjukkan coraknya sebagai bagian dari Islam ortodoks. Sedangkan dalam segi kebahasaan dan pengungkapan diksi-diksi lokal dalam tafsirnya menunjukkan posisinya sebagai Muhammadiyah Jawa yang khas dengan identitas kejawaannya (h. 103).

Salah satu pembahasan pada TQJ dan QJ tentang nalar taklid yang ditentang Muhammadiyah berlandaskan pada alasan agama di mana dalam pemahamam Muhammadiyah, apapun bentuknya taklid tidak dibenarkan oleh syariat. Lalu, alasan kemanusiaan dengan menghindari permusuhan antar golongan. Sikap ini seringkali menjadi paham untuk menasbi praktik-praktik Muslim tradisionalis yang dianggap menyimpang sehingga menjadikan Muhammadiyah lebih puritan dan anti terhadap keyakinan Muslim Tradisional (h.187).

Baca Juga  Greendeen: Agama yang Cinta Lingkungan

Dalam TQJ, konsep taklid tidak dibedakan dengan taklid buta. Merujuk suatu pendapat ulama bukan berarti taklid asalkan pendapat yang diambil sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits. TQJ mengkritik secara keras bagi tiga konsep taklid yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadits maka tidak boleh diikuti.

TQJ  melihat konsep taklid dibangun atas unsur, tokoh panutan, kitab dan muqallid (pengikut). Tokoh panutan dianggap telah memalsukan asas agama di dalam kitab-kitab karangannya supaya orang lain percaya bahwa kitab-kitabnya nukilan dari al-Quran. Padahal, kitab-kitab itu merupakan campur baur agama sehingga tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam. Meskipun demikian, dalam penjelasan TQJ, para muqallid bersuka cita menjadikan kitab-kitab karangan ulama tersebut sebagai pedoman (h.186).

Selain taklid, TQJ dan QJ juga memberikan contoh sikap kesufian yang ditolak oleh kalangan reformis karena tidak terdapat di dalam al-Quran dan tidak diajarkan Nabi Muhammad. Kesufian atau tarekat dianggap sebagai sinkretisme yang telah menjauhkan umat Islam dari Tuhan sekaligus menyebabkan kebodohan umat. Alasan lain penolakan terhadap sufisme adalah adanya keyakinan muslim reformis terhadap kemampuan manusia dalam merealisasikan tujuan hidupnya melalui amal usaha.

Perilaku sufisme dianggap menciptakan apatisme terhadap urusan dunia dan mengabaikan masyarakat  pada tingkat individual sekaligus melestarikan sikap-sikap Jabbariyah (fatalistik) yang bertolak  belakang dengan para reformis. Selain itu, hal pokok yang membuat kesufian dan tarekat itu ditentang oleh reformis adalah adanya kepatuhan mutlak murid kepada seorang guru, yang tidak ubahnya taklid buta.

Gagasan reformis yang tertuang di dalam QJ dan TQJ telah terilhami dengan purifikasi dan pembaruan dalam Muhammadiyyah. Pendekatan menggunakan akal dalam tingkat tinggi dan jargon “kembali kepada al-Quran dan Hadits” sebagai patokan dalam pemahamannya terhadap ajaran-ajaran Islam. Cara penafsirannya QJ dan TQJ seringkali membangun gagasan tafsir yang kontekstual dalam memberikan pemahaman atas al-Quran yang lebih membumi terhadap umat Islam Jawa (h. 191).

Meski penulis masih melakukan berusaha mencari naskah yang QJ hingga kini. Ini menjadi catatan, bahwa karya-karya berupa naskah masa lalu di lingkungan Muhammadiyah perlu di rawat dengan baik agar menjadi “pijakan” bagi warga persyarikatan. Naskah ini juga membuktikan, bahwa jejak Muhammadiyah di awal abad 20 sangat lekat dengan budaya Jawa dan tetap berpegang teguh pada nalar reformisme ajaran Islam. Tentunya menjadi salah satu tempat berpijak warga Muhammadiyah dalam rangka mendakwahkan Islam Berkemajuan.

Editor: Arif

Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *