Mengenai bentuk negara Islam, diskursus Mohammad Hashim Kamali dalam ‘Criteria and Characteristics of an Islamic State’ (dalam buku terbitan Institut Kefahaman Islam Malaysia berjudul Malaysia Sebagai Sebuah Negara Islam) penting untuk dibahas. Menurutnya, bentuk negara Islam tidak pernah selesai di masa Nabi Muhammad atau sahabat dan masih perlu banyak pengembangan. Ia disebabkan karena penerapan konsep pemerintahan Islami ideal tidak mendapat model yang cukup karena waktu yang terbatas dalam penerapan konsepnya.
Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya pergolakan kepemimpinan pada masa khalifah Ali dengan metode yang kontroversial. Sabotase dinasti Umayyah pada khilāfah periode Ali lebih layak dikategorikan sebagai monarki, alih-alih khilafah yang mengikuti konsep syarīʻah.
Sebagaimana namanya menjelaskan konsepnya sendiri, Dinasti Umayyah, adalah dinasti. Keberlangsungannya didasari pada penurunan kekuasaan dari seorang ayah pada anak, alih-alih proses syurā’ sebagaimana yang telah disyaratkan (halaman 12-13). Tragedi Karbala yang diinisiasi kelompok Umayyah dan menggugurkan Husein bin Ali tentu bukan suatu proses peralihan kepemimpinan yang berbasis syarīʻah.
Dengan kecenderungan manajemen birokrasi berbasis dinasti dalam sejarah pemerintahan muslim akhirnya membatasi eksplorasi konsep politik Islam dan pengembangan konsep konstitusi. Fenomena tersebut adalah konsekuensi dari terbatasnya pengalaman umat Islam dalam menerapkan pemerintahan berbasis syarīʻah yang sepenuhnya pada bentuk yang beragam.
Pembahasan Bentuk Negara Islam dalam Khazanah Islam
Absennya kapasitas untuk mengucapkan teori konstitusi terkait dawlah berbasis khilāfah yang ideal nampak pada karya ulama klasik yang fokus pada penanganan administrasi negara. Pembahasan terdahulu umumnya terbatas pada aturan teknis dalam memilih pemimpin, perpajakan, dan lainnya (halaman 15).
Hal ini bisa kita lihat salah satunya pada fokus Al-Mawardī, penulis Aḥkam Al-Ṣulṭāniyyah. Metode penulisan dan kerangka pikirannya terbatasi oleh konsep pemerintahan dinasti pada waktu hidupnya, sebagaimana dikritisi oleh Ibnu Taimiyah (halaman 13).
Ibnu Khaldun memang menganggap bahwa penerapan monarki yang belum sepenuhnya mengacu pada konsep khilāfah yang ideal diizinkan (halaman 14). Namun yang perlu diperhatikan adalah penerapan bentuk negara Islam untuk mencapai visi khilāfah yang ideal masih menyisakan banyak pertanyaan. Banyaknya pertanyaan kita kini disebabkan dominasi kekhalifahan dalam bentuk dinasti yang sebagian patut dipertanyakan komitmennya pada syarīʻah.
Berbagai literatur negara Islam perlu membahas cara berdialog dengan konsep negara bangsa, konstitusi, hak asasi, dan lainnya, yang pada masa kini telah banyak dibahas terutama pada konteks Indonesia. Hal ini belum banyak kita dapatkan dalam literatur klasik. Adapun Ibnu Taimiyah, beliau lebih fokus pada konsep kebijakan syarʻī dalam bukunya Siyāsah Syarʻiyyah.
Gagasan dan kerangka pikir negara Islami semakin berkembang setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Fenomena tersebut memantik umat untuk mengucapkan kembali penegakan negara Islam (atau negara Islami). Hal ini bisa kita lihat dari berbagai gagasan mujtahid modern seperti Rasyid Ridha, Yusuf al-Qardhawi, dan lainnya dengan berbagai gagasan menghadirkan konsep negara Islam berbasis syarīʻah (halaman 17). Gagasan-gagasan mereka sangat membantu dalam sinergi konsep negara bangsa, demokrasi, dan berbagai konsep modern lainnya.
Maka dengan itu, metode untuk menggapai implementasi konsep khilāfah akhirnya bermacam ragam karena dinamika sejarah pemerintahan umat muslim. Dan fenomena ini memberikan opsi bagi umat untuk menerapkan sistem yang sesuai dengan konteks masing-masing dalam upayanya mengimplementasikan syarīʻah.
Agar kita mampu berupaya dalam menerapkan konsep dan bentuk negara Islam (atau negara Islami) yang sesuai, setidaknya ada beberapa karakter fundamental negara Islami dan konstitusinya yang semestinya ada. Dengan berbagai bentuknya, bentuk negara Islam harus tetap mengacukan nilai-nilainya dari Qur’ān dan sunah, dan ijtihād ulama yang berbasis padanya.
Karakteristik Negara Islam
Farooq Hassan membahas karakter-karakter fundamental negara Islami yang dapat diterapkan di berbagai bentuk negara Islam yang perlu kita bincangkan. Sebagaimana disadur dari bukunya ‘The Concept of State and Law in Islam’, setidaknya Qur’ān, sunah, ijtihād, dan ijmāʻ perlu menjadi dasar dalam pembentukan konstitusi dan legislasi suatu negara (halaman 36-38).
Dengan sumber-sumber tersebut sebagai dasar, negara Islami harus tetap dalam cakupan nilai dasar Islam dan dinamis dengan kontekstualisasi pada waktu yang sama. Tentunya upaya dinamisasi tersebut juga harus tetap selaras pada kaidah yang diterima dalam epistemologi Islam sepanjang sejarah.
Karakter-karakter negara Islami yang dibahas oleh Farooq Hassan adalah sebagai berikut:
- Derivasi hukum sesuai dengan nilai-nilai Qur’ān dan sunah.
- Ijtihād sebagai instrumen dinamisasi kebijakan negara.
- Penegakkan persaudaraan.
- Kemerdekaan dan kesetaraan hukum.
- Penegakkan keadilan.
- Diferensiasi konsep dosa dan kriminal.
- Penegakkan toleransi.
- Dinamis dalam bentuknya.
- Administrasi dan kebijakannya bersandar pada proses syurā’.
- Pembedaan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
- Kebijakan ekonomi yang moderat (tidak berat ke kanan atau kiri).
- Memiliki keinginan untuk menguatkan persaudaraan negara mayoritas muslim.
Nilai-nilai ini didasari pada nilai-nilai fundamental yang diambil dari Qur’ān dan sunah. Walaupun dengan nomenklatur yang berbeda, setidaknya negara Islami perlu untuk mengakomodasi substansi nilai-nilai tersebut yang berangkat dari ghāyah (semangat) berbasis nilai Islam.
Pembahasan karakter negara Islam ini bukan untuk mengelaborasikan karakter-karakter tersebut secara mendetail. Namun ia adalah gambaran bahwa nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam dan menjadi basis nilai kunci Islam ialah pada esensinya mampu mengakomodasi tantangan dan format dunia modern pada hari ini.
***
Maksud penulisan artikel kecil ini bukan untuk mengecilkan jasa-jasa ulama yang telah menginisiasi pembahasan mengenai bentuk negara Islam. Poin yang ingin penulis tekankan adalah bahwa sesungguhnya bentuk negara Islam itu fleksibel dan dinamis, dan pembahasannya senantiasa berkembang sepanjang akal manusia dalam sejarah bekerja.
Maka untuk memaksakan satu bentuk negara yang spesifik untuk mencapai visi negara Islami semestinya bukan menjadi prioritas, terutama bila bentuk tersebut dipahami tekstual; tidak berbasis pada pendekatan kontekstual kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Pada waktu yang sama, bentuk negara Islam yang dinamis perlu senantiasa dikawal agar senantiasa memenuhi nilai-nilai asasi Islami. Sebagaimana jargon berkemajuan Muhammadiyah, pendekatan keagamaan puritan-dinamis senantiasa perlu diterapkan untuk mencapai visi keagamaan yang moderat.
Pengucapan terkait bentuk negara Islam perlu dinamis untuk bisa mengakomodasi kebutuhan dan menjawab tantangan zaman. Bentuk negara Islam yang manapun bisa digunakan, selama ia sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan kita semestinya tidak fanatik pada satu bentuk negara tertentu—apa pun bentuknya.