Bacaan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) merupakan kalimah sakral dalam ajaran agama Islam. Kalimat ini begitu familiar dan melekat pada setiap gerak-gerik muslim. Hal ini dikarenakan terdapat suatu hadis yang menyatakan bahwa membaca bismillah di awal setiap pekerjaan akan memperoleh keberkahan. Dengan kata lain, kalimat basmalah menjadi awal pendorong setiap gerak-gerik muslim, bahkan dalam pembuatan sebuah karya.
Bismillah di Awal Karya
Hal ini dapat dilihat pada kutubut turats karya para ulama terdahulu. Mereka akan membahas atau setidaknya akan menulis kalimat basmalah terlebih dahulu, sebelum mereka menulis dan menjelaskan serta membahas suatu fan ilmu Islam (fan adalah bagian-bagian ilmu agama Islam, seperti Nahwu, Sharf, Fiqh, Akidah, Akhlak, Hadis, dan sebagainya).
Manurut Syekh Abu Bakar Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatuth Thalibin, setidaknya terdapat dua alasan para ulama melakukan pembahasan basmalah ini, pertama, mengikuti kitab al-Quran. Karena setiap permulaan surat al-Quran pasti diawali dengan basmalah; dan kedua, mengikuti sekaligus mengamalkan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر أو أقطع أو أجذم.
“Setiap perkara baik yang tidak diawali dengan basmalah maka perkara itu akan mendapat sedikit keberkahan.”
Mendapat sedikit keberkahan yang dimaksud di sini adalah tergantung situasi dan kondisinya. Jika dalam sebuah karya, maka sedikit keberkahan yang dimaksud adalah sedikit orang yang memanfaatkan karyanya itu; jika dalam pekerjaan, maka sedikit mendapat pahala dari pekerjaan yang dilakukan; jika dalam makanan, maka sedikit ibadah yang dapat dilakukan raga atau raga sedikit melakukan perkara yang bermanfaat setelah makan; ketika membaca, maka tidak ada hasil bacaan yang mampu dipahami atau pembaca tidak bisa memanfaatkan hasil bacaan tersebut; dan seterusnya. Dengan kata lain, membaca bismillah di setiap perbuatan sangat dianjurkan demi menarik keberkahan yang berlimpah.
Basmalah Perspektif Ilmu Fikih
Masih menurut Syekh Abu Bakar Utsman Ad-Dimyathi, membaca bismillah ditinjau dari perspektif ilmu fiqh atau hukum Islam melahirkan lima hukum, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Berikut adalah penjelasannya:
Pertama, hukum wajib. Hukum wajib membaca kalimat basmalah terjadi ketika shalat (mazhab Syafi’i). Sebab dalam mazhab Syafi’i basmalah merupakan salah satu ayat dari surat al-Fatihah, dan surat al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalatnya. Jika ditinggalkan maka shalatnya menjadi tidak sah atau batal; jika dikerjakan maka shalatnya menjadi sah.
Kedua, hukum sunah. Menurut pendapat Imam Syamsu Ramli hukum sunah membaca basmalah dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu sunah ainiyah dan sunah kifayah. Sunah ainiyah terjadi seperti membaca basmalah ketika hendak berwudu dan/atau mandi besar, dan sunah kifayah terjadi seperti ketika hendak makan berjamaah atau hendak melakukan ibadah suami-istri. Maka disunahkan salah seorang diantara mereka untuk membaca bismillah sebelum memulai perbuatan itu.
Ketiga, Hukum haram membaca basmalah terjadi ketika bacaan itu dilakukan saat hendak melakukan perbuatan haram secara dzatiyah-nya, seperti ketika hendak berzina, si pezina itu membaca basmalah terlebih dahulu, maka hukum membacanya adalah haram.
Keempat, hukum makruh (dibenci karena mendekati hukum haram) terjadi pada perkara yang dimakruhkan secara dzat-nya, seperti melihat kemaluan pasangannya (suami atau istri). Maka ketika suami atau istri membaca basmalah sebelum melihat kemaluan pasangannya, hal itu terhukumi makruh.
Kelima, hukum mubah (boleh) membaca basmalah terjadi ketika seseorang hendak melakukan perbuatan yang mubah, seperti membaca basmalah ketika hendak memindahkan kursi dari tempat ‘A’ ke tempat ‘B’. Maka pada saat itu, membaca basmalah hukumnya mubah.
Dengan demikian, terdapat lima hukum dalam membaca basmalah ditinjau dari perspektif ilmu Fiqh atau hukum Islam, yakni wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Basmalah Perspektif Ilmu Tauhid
Semenetara itu, pada kitab Syarah Tijan ad-Darari dan Syarah Qathrul Ghaits karya Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi yang notabene merupakan kitab yang membahas seputar Akidah Islam atau ilmu Tauhid, Syekh Nawawi menerangkan bahwa kalimah bismillah itu terdiri dari lafad jalalah (lafad Allah), lafad ar-Rahman, dan lafad ar-Rahim.
Syekh Nawawi menjelaskan bahwa lafad jalalah menunjukkan pada dzat yang pada-Nya terkumpul seluruh sifat-sifat ketuhanan, seperti yang Maha Esa, yang Maha Melihat, yang Maha Mendengar, yang Maha Mengawasi, dan sebagainya. Selain itu, Syekh Nawawi menegaskan bahwa lafad tersebut bukan hasil derivasi dari lafad lain, melainkan merupakan lafad lazimah yang menunjukkan eksistensi nama dari seluruh asmaul husna (nama-nama Allah yang baik) dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
Adapun lafad ar-Rahman menurut Syekh Nawawi menunjukkan pada banyaknya nikmat dan limpahan kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya di dunia yang mencakup setiap muslim dan non-muslim, seperti Allah menutup Aib dan dosa hamba-Nya ketika di dunia.
Sementara itu, lafad ar-Rahim menunjukkan pada banyaknya limpahan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya berupa ampunan atas segala kesalahan dan dosa di akhirat. Namun, hal ini hanya dikhususkan pada setiap muslim.
***
Oleh karena itu, maka antara lafad ar-Rahman dan ar-Rahim itu memiliki arti yang sama, yakni kasih sayang Allah SWT. Akan tetapi, cakupan makna kasih sayang yang terdapat pada lafad ar-Rahman lebih luas daripada cakupan makna yang terdapat pada lafad ar-Rahim. Hal ini dapat dilihat pada jumlah huruf yang terdapat pada lafad ar-Rahman yang lebih banyak daripada jumlah huruf yang terdapat pada lafad ar-Rahim, dan hal ini sesuai penjelasan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Syarah Fathul Muin yang menyebutkan bahwa:
لأن زيادة البناء تدل على زيادة المعنى
“Karena sesungguhnya bertambah bentuk (huruf, lafad atau kalimat) menunjukkan bertambanya makna tersebut”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kalimat basmalah selalu hadir di setiap waktu dan keadaan, baik pada sebuah karya, perilaku maupun keyakinan muslim.
Editor: Nabhan