Tarikh

Bung Karno dan Ki Bagus Hadikusumo: Dua Tokoh Kunci Perumusan Pancasila

5 Mins read

Pada masa awal pemerintahan Jepang, Bung Karno masih mendekam dalam penjara Bukittinggi. Setelah terjadi rundingan dengan penguasa Dai Nippon, akhirnya Bung Karno dibebaskan bersyarat.

Selanjutnya janji membentuk pemerintah Jepang mulai dipenuhi ketika pemerintah Jepang mendirikan organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada 8 Maret 1943 dan Bung Karno diangkat sebagai Ketua.

Dalam waktu yang bersamaan, pada masa pendudukan Jepang, Bung Karno maupun Ki Bagus adalah elite nasionalis. Keduanya sama-sama menjabat Ketua organisasi. Bung Karno menjabat ketua organisasi yang didirikan Jepang, sedang Ki Bagus Ketua organisasi Muhammadiyah.

Pra-Kemerdekaan: Memenuhi Undangan Jepang

Ketika pemerintah Jepang mengundang dua tokoh Indonesia, mereka memilih Bung Karno dan Ki Bagus untuk membicarakan persiapan kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, Ki Bagus mengusulkan kepada penguasa militer Jepang agar ditambah satu lagi yang diundang. Lalu Ki Bagus menyebut nama Moh. Hatta.

Selanjutnya pada November 1943, Soekarno, Hatta, bersama Ki Bagus Hadikusumo memenuhi undangan Jepang. Nama Ki Bagus Hadikusumo sangat diperhitungkan oleh Bung Karno dalam diplomasi dengan Tokyo.

Tiga tokoh penting bangsa ini berembuk tentang masa depan Indonesia. Baik masa menjelang pemerintahan sendiri maupun masa setelah Indonesia bebas dari penjajahan Jepang.

Pada waktu itu, posisi militer Jepang dalam Perang Pasifik berada di posisi turning point, yakni menuju kekalahan perang. Garis pertahanan Jepang makin lemah, yang pada akhirnya Jepang bertekuk-lutut dan menandatangani kapitulasi dengan Sekutu di Teluk Tokyo pada 15 Agustus 1945.

Deal dengan Tokyo jelas di satu pihak Penguasa Tokyo ingin mendekatkan hubungan politik pasca pemerintahan sendiri dan di pihak lain mendapatkan masukan politik Indonesia-Jepang.

***

Sebab dalam beberapa statemen antara lain hasil verhoord Tadashi Maeda di Jakarta dan Singapura, Kepala Perwakilan Kaigun di Jakarta itu, oleh pihak sekutu setelah Jepang menyerahkan disebutkan dalam dokumen sebagai berikut:

Kangan lupakan Indonesia dalam di senja mendatang karena Indonesia kaya sumberdaya manusia dan sumberdaya alam”.

Maksudnya adalah di masa yang akan datang, posisi Indonesia supaya tetap diperhitungkan jika terjadi perang besar. Misalnya terjadi perang besar lagi seperti Perang Pasifik.

Secara langsung, Soekarno-Hatta meminta agar Ki Bagus Hadikusumo memberi pertimbangan dan menjawab pertanyaan pemerintah Tokyo tentang strategi kelanjutan dan masa depan politik Jepang di Indonesia.

Dalam hal ini, Ki Bagus dianggap sebagai patron massa muslim dengan massa besar (people power) di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan menghadapi musuh.

Baca Juga  Lahirnya Pancasila dan Posisi Sila Pertama

Keikutsertaan Ki Bagus dalam rombongan Soekarno-Hatta dimasuksudkan juga untuk tukar kepentingan politik dengan penguasa Jepang. Jadi, jelasnya Ki Bagus adalah pemimpin masa kharismatik dan intelegen yang bisa menjawab apa yang diinginkan penguasa Tokyo.

Bung Karno dan Ki Bagus: Kedekatan Pribadi dan Ideologis

Soekarno sendiri mencita-citakan bagaimana menyatukan kekuatan umat Islam yang tergabung dalam Muhammadiyah. Tentunya, prinsip konsolidasi kekuatan massa yang disebut Nasionalisme Islamis dan Komunis terus digalang dan direalisasikan oleh Soekarno.

Dan Soekarno sendiri mendapatkan pengalaman dalam hal pengerahan massa yang lain dihimpun dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera, 1943) bersama Bung Hatta, KH Mas Mansoer, dan Ki Hajar Dewantoro. Pengerahan massa yang lain yang juga dipimpin oleh Soekarno yaitu Jawa Hokokai (1944) atau Kebaktian Rakyat Jawa.

Dengan kata lain, berlangsung kedekatan Ki Bagus dan Bung Karno, bahwa keduanya sebagai pemimpin nasional dan pemimpin organisasi massa yang mencita-citakan kemerdekaan.

Di satu sisi, Soekarno menggunakan grand design aliansi antargolongan di Indonesia dalam menuju kemerdekaan. Sedangkan Ki Bagus lebih memusatkan pada konsolidasi umat Islam Indonesia sebagai kekuatan besar.

Kedekatan Ki Bagus dan Bung Karno dipastikan berlangsung secara pribadi, di samping kedekatan ideologis, yakni sama-sama menginginkan kebebasan dan kesejahteraan bangsanya.

Meski dalam kebersamaan antara Bung Karno dan Ki Bagus mempunyai idealisme yang tinggi, yaitu perubahan kedudukan nasion Indonesia dari “terjajah” ke “merdeka”.

Ki Bagus dan Bung Karno mempunyai multirelasi yang setingkat sebagai tokoh nasionalis, visi kemerdekaan. Keduanya sama-sama sosok nasionalis yang kuat. Bung Karno fokus pada nasionalisme sekuler, sedangkan Ki Bagus nasionalisme Islam.

Meskipun ada perbedaan paradigma nasionalisme tetapi diyakini kedua pemimpin itu dengan kebesaran hati dan keluhuran nurani berjuang untuk kepentingan bersama. Selalu ada jalan tengah di antara kedua pemimpin itu, sehingga bisa menerima dengan legawa.

Bung Karno: Melahirkan Pancasila dan Inisiator Piagam Jakarta

Dalam badan Chua Sangi-in, pemerintah Jepang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Gitjo (Ketua) dan Ki Bagus sebagai giin (anggota).

Dalam perjalanan elite nasional, baik Bung Karno maupun Ki Bagus terus ada dalam lembaga yang didirikan pemerintah Jepang, yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan (BPUPK), Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, yang dibentuk pada 29 April 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Zyunbi Iingkai) pada 9 Agustus 1945.

Entah kebetulan atau diatur ternyata tempat duduk Ki Bagus nomor tujuh, tepat di belakang Soekarno yang berada di nomor satu dalam sidang BPUPK. Sidang BPUPK pada 10 Juli 1945 berlangsung dengan agenda tentang “bentuk negara”.

Baca Juga  Kemenangan Umat Islam di Perang Badar, Tak Semata-Mata Bantuan Malaikat

Bung Karno dan Ki Bagus, adalah tokoh yang mendapatkan kesempatan “pidato” menyampaikan pikirannya tentang “Dasar Negara”. Bung Karno menawarkan Pancasila, Trisila dan Ekasila, sedangkan Ki Bagus Islam sebagai dasar negara.

Dalam perjalanan sidang menghasilkan “Piagam Jakarta”. Ki Bagus dan Bung Karno adalah dua tokoh yang “sangat penting” dalam rumusan ini. Sebagaimana diketahui pada Sidang Pleno Pertama (29 Mei-1 Juni 1945), BPUPK gagal bersepakat dasar negara Indonesia.

Karena itu, maka BPUPK membentuk “Panitia 8”: yang beranggotakan: Soekarno, Hatta, Yamin, AA Maramis, Otto Iskandar Dinata, Sutardjo, Katohadikusumo, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Abdu Wahid Hasyim.

***

Pada kenyataannya, Bung Karno justru membentuk “Panitia 9” karena alasan kondisional saat itu. Teknisnya, pada 18-21 Juni 1945 ada rapat Cuo Sangi In VIII yang dihadiri oleh 38 orang anggotanya di Jakarta. Pada saat itulah Soekarno menunjuk 9 orang dari 38 untuk merumuskan Muqaddimah UUD. Jadi “Panitia 9” bukanlah panitia resmi, karena tidak dibentuk oleh BPUPK.

Anggota Panitia 9 antara lain: Soekarno, Hatta, Maramis, Yamin, Achmad Subardjo, (golongan nasionalis) serta H. Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abu Kusno Tjokrosujoso, dab K.H. Abdul Wahid Hasyim (golongan Islam).

Panitia 9 inilah yang melahirkan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang monumental itu. Piagam Jakarta ini kemudian dilaporkan pada Sidang Pleno BPUPK pada 10 Juni 1945. Lalu Bung Karno pun minta maaf karena telah membentuk Panitia 9 secara “illegal”.

Piagam Jakarta kemudian disahkan pada tanggal 14 Juli 1945 dengan menyepakati isinya sebagai dasar negara. Sedangkan pengesahan Rancangan UUD dan semua putusan Sidang Pleno II lainnya dilakukan oleh BPUPK pada akhir Sidang Pleno II BPUPK tanggal 17 Juli 1945.

Hal ini wajar jika Bung Karno mati-matian mempertahankan adanya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena beliau adalah sosok yang mengambil inisiatif untuk menyusun Piagam Jakarta. Ketika itu Ki Bagus mengusulkan untuk membuang “bagi pemeluk-pemeluknya”, namun Bung Karno menolaknya.

Ki Bagus: Penentu Penghapusan “Tujuh Kata” Piagam Jakarta

Kesediaan Ki Bagus, yang saat itu adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah merupakan momentum yang sangat menentukan. Bahkan bisa dikatakan kunci Pancasila di tangan Ki Bagus. Mulanya Ki Bagus sangat gigih dalam menolak penghapusan “tujuh kata” itu.

Baca Juga  Haedar Nashir: Islam Wasathiyah dan Negara Pancasila bagi Muhammadiyah

Baginya, penegakkan syariat Islam adalah harga mati yang tak bias ditawar dalam mendirikan negara ini.

Karena saking gigihnya itu Bung Karno dan Bung Hatta sampai “tidak berani” bicara langsung dengan Ki Bagus, bahkan Soekarno terkesan menghindar dan canggung untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.

Bung Karno mengutus Teuku Mohammad Hassan dan KH Abdul Wahid Hasyim untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan Ki Bagus. Akhirnya dipilihlah Kasman untuk melakukan pendekatan personal sebagai sesama anggota Muhammadiyah.

Dalam memoir yang berjudul “Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun”, Kasman menceritakan bagaimana ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan Bahasa kromo inggil dalam melobi Ki Bagus.

Pak Kasman adalah tokoh kunci yang sangat menentukan perananya yang membuat Ki Bagus bersedia menerima perubahan itu.

Dalam memoir itu, Pak Kasman menjelaskan bahwa perubahan itu diusulkan Hatta.  Drama penghapusan “tujuh kata” itu sendiri berlangsung 15 menit. Pada akhirnya, Pak Kasman sukses melobi dan meyakinkan Ki Bagus, sehingga pada 15 menit terakhir pertemuannya dengan Bung Hatta dan sejumlah tokoh bangsa lainnya di PPKI menyetujui penghapusan tujuh kata dalam UUD 1945, “Ketuhanan dengan kewajiban menjaankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bung Karno dan Ki Bagus: Tokoh Kunci, Peletak Dasar Negara

Rumusan isi Pancasila yang ada dan berlaku sah saat ini merupakan hasil karya Panitia 9 yang berintikan ide dan dimotori oleh Bung Karno yang kemudian dikenal “Piagam Jakarta”.

Naskah yang sekarang hanya mengganti “tujuh kata” dalam sila pertama menjadi Ketuhanan YME dengan tokoh penentu Ki Bagus dan Pak Kasman.

Piagam Jakarta yang diberikan nama Muqaddimah Undang-Undang Dasar inilah yang kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Tanpa Pidato Bung Karno tak kan ada Pancasila. Jika Bung Karno menjadi inisiator lahirnya Piagam Jakarta, maka Ki Bagus adalah tokoh kunci penghapusan “tujuh kata” Piagam Jakarta.

Sumber:

Suhartono, “Ki Bagus Hadikusumo Pejuang Konsisten yang Cair”, dalam Gunawan Budiyanto dkk (ed.), Konstruksi Pemikiran Politik Ki Bagus Hadikusumo: Islam, Pancasila, dan Negara (Yoyakarta: UMY, 2018), 5-8.

R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki OesahaPersiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).

Artikel ini sebelumnya pernah diterbitkan di kalimahsawa.id

Editor: Yahya FR

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds