Larangan Riba Menurut Agama-agama
Semua agama samawi sepakat bahwa riba adalah perbuatan tercela. Karena itu perbuatan ini dilarang menurut ajaran Yahudi, Kristen, dan Islam. Ada sedikit pengecualian di mana dalam ajaran Yahudi, riba terlarang kepada sesama Yahudi. Adapun kepada non-Yahudi, maka diperbolehkan mengambil bunga.
Bukan hanya dalam ajaran agama samawi, filsuf seperti Aristoteles pun mengecam praktik riba. Aristoteles berpendapat bahwa riba bertentangan dengan hukum alam, karena uang tidak dapat melahirkan uang. Sastrawan besar Italia dalam Dante Alighieri dalam The Divine Comedy mengatakan bahwa pengambil riba menempati neraka lapis ke-7.
Riba disepakati bermasalah secara moralitas, karena dianggap mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain. Seorang pemberi pinjaman tidak diperkenankan mengambil satu sen pun bunga dari pinjamannya.
Pada abad ke-4 Masehi, dewan gereja mengutuk praktiknya. Pada tahun 800 M, Kaisar Charlemagne membuat hukum yang secara tegas melarangnya. Teolog Kristen Abad pertengahan St. Thomas Aquinas menolak riba karena bagi Thomas fungsi uang adalah alat tukar saja. Pemikiran St. Thomas dipengaruhi pemikiran Aristoteles dan ajaran Katolik.
Saat Bunga Dibedakan dari Riba
Perekonomian di Eropa semakin berkembang, era pertanian mulai bergeser menjadi era perdagangan. Institusi bank mulai tumbuh dan berkembang di Eropa. Bank menjalankan fungsi intermediasi antara pemilik modal dengan pengusaha yang membutuhkan modal. Tentu saja bunga menjadi salah satu instrumen keuntungan dari sebuah bank.
Pada abad ke-13, institusi gereja Katolik mulai melunak terhadap riba. Mereka memperkenalkan konsep purgatori, tempat yang tidak disebutkan dalam naskah suci namun menawarkan penentraman hati bagi mereka yang telah berbuat dosa riba setiap harinya. Purgatori membuat pihak gereja mengizinkan para pelaku riba menjalankan roda perekonomian pada abad ke-13 menuju kepada kapitalisme.
Bahkan pada akhirnya, gereja Katolik tergoda untuk meminjam uang ke bank. Paus membutuhkan dana untuk biaya perang salib. Bank Swasta pertama didirikan oleh Ordo Ksatria Templar tahun 1100-an, sebuah ordo militer Katolik yang bertarung pada Perang Salib. Ksatria Templar bubar pada tahun 1312 namun bankir-bankir lain melanjutkan praktik peminjaman mereka sampai tahun 1500.
Pada tahun 1500-an dimulai gerakan reformasi Kristen yang memecah antara Katolik dan Protestan. Martin Luther pendiri gereja Protestan menentang purgatori dan sertifikat pengampunan dosa gereja Katolik untuk pelaku riba dan dosa lainnya. Namun Luther dan Johan Calvin melakukan reinterpretasi teks Alkitab terhadap hukum riba. Bagi mereka, riba terlarang jika mengandung unsur eksploitasi, namun diperbolehkan jika dikenakan kepada pengusaha yang membutuhkan modal.
Eropa memasuki masa renaissans lalu pencerahan, otoritas agama perlahan memudar digantikan dengan sekularisme. Pembangunan ekonomi semakin terasa dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Pada masa ini, riba (usury) sudah terpisah dari bunga (interest). Riba tetap dilarang namun bunga diperbolehkan. Riba adalah praktik lintah darat. Sedangkan bunga adalah bentuk riba yang tidak mencekik dan untuk kegiatan produktif.
Polemik Cendekiawan Muslim Terkait Bunga Bank
Tidak ada perdebatan terkait keharaman riba di kalangan ulama dan umat Islam. Praktik riba merupakan salah satu budaya jahiliyah yang sangat ditentang oleh Nabi Muhammad SAW. Riba yang dimaksud adalah riba jahiliyah, yakni yang adh’afan mudha’afatan atau berlipat ganda. Jenis riba ini sangat eksploitatif dan menindas kaum yang lemah.
Adapun mengenai riba qardh (tambahan dalam pinjam meminjam) dan riba fadhl (tambahan dalam tukar menukar barang) mainstream ulama mengharamkan, namun sebagian cendekiawan muslim memberikan toleransi. Yang mengharamkan misalnya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Hal ini berimplikasi pada fatwa haramnya bunga bank.
Fatwa MUI terkait keharaman bunga bank membuat hadirnya sistem perbankan alternatif yang tidak menggunakan bunga. Bank Syariah sebenarnya sudah ada sejak awal tahun 90-an dengan berdirinya Bank Muamalat. Namun tumbuh suburnya bank syariah lain dan juga lembaga keuangan syariah baru terjadi pasca keluarnya fatwa haramnya bunga bank oleh MUI.
Adapun yang membolehkan tambahan yang wajar, misalnya Fazlur Rahman yang dikutip oleh dosen Fakultas Teologi Universitas Notre Dame USA Mun’im Sirry dalam tulisannya tentang polemik bunga bank. Rahman menurut Mun’im menemukan kontradiksi terkait hadits-hadits yang berkaitan dengan riba.
Jika dalam hadits yang populer disebutkan bahwa riba haram dalam pinjaman dan jual beli, maka ada hadits lain yang menyatakan bahwa riba haram dalam pinjam meminjam saja. Mun’im berpendapat bahwa seiring dengan perkembangan pemikiran Islam, terjadi perluasan makna riba dari yang hanya eksploitatif semata menjadi mencakup setiap tambahan.
Mun’im juga berpendapat bahwa hadits populer kullu qardhin jaraa manfa’atan fahuwa ribaa (setiap pinjaman yang ada tambahannya adalah riba) bermasalah status keshahihannya. Definisi riba secara generik ini ditolak oleh Muhammad Asad dan Abdullah Yusuf Ali (keduanya merupakan penerjemah Al Qur’an ke dalam Bahasa Inggris).
Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad mendefinisikan riba secara lebih spesifik. Menurut Ali, riba adalah pengambilan keuntungan yang tidak dibenarkan, bukan dari transaksi jual beli yang sah, melainkan dari pinjaman emas, perak atau kebutuhan pokok. Bagi Ali sistem perbankan modern tidak termasuk ke dalamnya.
Muhammad Asad lebih menekankan dalam praktik riba unsur eksploitasi kaum kuat terhadap kaum lemah. Asad menilai kita perlu mengetahui motif sosial ekonomi saat akan menilai sebuah transaksi keuangan riba atau tidak.
Para Ulama yang Tidak Mengharamkan Bunga Bank
Lebih lanjut Mun’im mencoba mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membedakan antara riba dengan bunga dalam dunia perbankan. KH. Ibrahim Hosen mantan Rektor IIQ Jakarta dan Komisi Fatwa MUI Pusat. Menurut Kiai Hosen, larangan riba itu terkait dengan transaksi perseorangan sebagai mukallaf, adapun lembaga keuangan seperti bank tidak dikenai beban taklif.
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida berpendapat bahwa bunga yang diharamkan adalah yang melipat gandakan keuntungan setelah jatuh tempo. Adapun jika disepakati pada awal akad maka tidaklah haram. Tentu bagi Abduh dan Rida pihak bank tetap harus mengambil bunga dengan persentase yang wajar dan tidak terlalu tinggi.
Syauqi Dunya menjadikan inflasi nilai uang sebagai alasan kebolehan bunga. Dia berpendapat jika kita meminjam 1 gram emas maka harus dikembalikan dengan nilai yang sama. Namun jika kita meminjam Rp. 100.000 maka tidak adil jika pada tahun berikutnya kita mengembalikan dengan jumlah yang sama, karena nilai uang sudah tergerus oleh inflasi. Syauqi merujuk pendapat mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyah bahwa perbedaan nilai uang harus dibayarkan.
Penulis berpendapat bahwa polemik terkait bunga bank akan terus ada, masing-masing pendapat akan berusaha berargumen mempertahankan pendapatnya. Keharaman riba sangat tegas dan sifatnya qath’iy, tidak ada yang menghalalkannya.
Adapun apakah bunga bank termasuk riba atau tidak, realitasnya masih ada khilaf di dalamnya. Dalam ranah ini, kita boleh meyakini pendapat yang kita anggap lebih kuat, dan berargumen mempertahankannya, dengan tetap menjaga adab dan akhlakul karimah.
Aku diciptakan oleh Tuhan (ALLAH swt) bermakna aku ini hamba nya dan setiap yang sedar diri itu hamba wajib mentaati Tuan yang telah tebus dan berjasa padanya apatah lagi manusia bukan dibeli/tebus tetapi diciptakan sendiri dengan oleh Tuhan (ALLAH swt) dengan ‘tangan nya’
*mana mungkin antara Tuan dan hamba pakaian, tempat tidur dan penampilan nya sama (sesama makhluk) ataupun tidakkah beza ketara antara seorang ilmuwan (manusia) dengan sebuah kereta yang ia cipta.. kan ?? inikan pula keadaannsifat antara Tuhan (ALLAH swt )dengan Makhluk ciptaan nya (manusia)
Maka wajib aku TaaT perintah dari ALLAH swt kepada aku untuk tiru akhlak Rasulullah saw (sunnah) serta ikut setiap nasihat/kata² (hadis) Baginda..
Maka apabila diputuskan Riba itu Haram maka ia nya Haram sampai kiamat..
Tidak ada Kejayaan atau keuntungan aku berpihak kepada orang² yang berkawan dengan syaitan yang hanya bertahan di Dunia tanpa mampu selamat kan diri ku dari malaikat pencabut nyawa (malaikat maut)
Sekalipun pihak bank ingin berbagi keuntungan kepada aku puluhan juta dari percent para nasabah.. Demi ALLAH swt akan aku buang di Tong sampah..