Penulis selalu menyimpan kagum pada mereka yang memperjuangkan nilai-nilai pluralisme. Kekaguman itu karena, sejauh yang penulis pandang, memperjuangkan nilai-nilai pluralisme di Indonesia merupakan tindakan yang lumayan berisiko. Karena rentan resistensi atau penolakan. Mungkin itu terdengar aneh jika mengingat pluralisme adalah hal yang niscaya bagi realitas kita yang majemuk. Akan tetapi itulah faktanya di lapangan. Pejuang dan “pendakwah” pluralisme sering ditentang dan dicibir sana-sini, tak terkecuali Buya Syafii.
Sebagai salah seorang pejuang pluralisme, sikap dan tindakan yang demikian juga menyasar Ahmad Syafii Ma’arif atau yang lebih akrab dengan sapaan Buya Syafii. Buya adalah satu di antara cendekiawan muslim yang teguh merawat kebinekaan dengan nilai-nilai pluralisme yang diyakininya. Selain di sana juga terdapat tokoh Indonesia yang lain seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Haedar Nashir.
Buya Syafii
Nama lengkapnya adalah Ahmad Syafii Ma’arif. Namun lekat dan akrab oleh kita dengan nama Buya Syafii. Ia merupakan cendekiawan muslim kelahiran Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei tahun 1935. Buya memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Sumpur Kudus dan lulus pada tahun 1947. Adapun untuk pendidikan menengahnya, ia melanjutkannya di Madrasah Muallimin Balai Tangah, Lintau (1950-1953) dan Madrasah Muallimin Yogyakarta (1953-1956).
Usai tamat dari Madrasah Muallimin Yogyakarta, Buya tidak langsung melanjutkan studinya karena terkendala biaya. Baru pada beberapa tahun kemudian, setelah pengabdiannya menjadi guru di Lombok, ia masuk di Universitas Chokroaminoto dan meraih gelar sarjana muda pada tahun 1964. Kemudian mengambil gelar sarjana penuhnya (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta).
Buya meyakini bahwa untuk bisa mewujudkan cita-cita dan meraih hidup yang mulia, seseorang harus berani merantau dan keluar dari kampung halamannya. Dan itulah yang penulis kira membuat Buya tak henti-henti merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Karena kemuliaan hidup ada di sana, yakni dengan merantau.
Setelah Yogya, Buya kemudian melanjutkan perantauannya ke negeri Paman Sam dan mengantongi gelar magister dari Ohio University, Athens, Amerika Serikat. Dan pada negara yang sama, dapat mengambil studi doktoral di Universitas Chicago atas bantuan sahabatnya Amien Rais yang telah mengenalkannya dan memintakan rekomendasi dari Fazlur Rahman, salah seorang Guru Besar Studi Islam di kampus itu. (Titik-Titik Kisar di Perjanalanku, hal. 123)
Mempromosikan Pluralisme Lewat Kata dan Laku
Dalam berbagai ceramah dan tulisannya, Buya Syafii adalah orang yang paling intens dan aktif menjelaskan kepada umat Islam akan pentingnya pluralisme agama. Baginya, pluralisme agama adalah fakta yang tak bisa ditolak. Karenanya Buya sangat menyayangkan ketika melihat bahwa saat ini masih banyak dari umat Islam yang belum memahami pluralisme agama dengan baik dan benar. Sehingga yang muncul kemudian adalah merespon wacana ini dengan menolaknya dan bereaksi secara emosional.
Padahal, sebagaimana jelas Buya, subtansi daripada wacana pluralisme agama adalah bagaimana setiap orang yang datang dari berbagai identitas agama dapat dihormati secara baik sehingga kehidupan yang damai di bumi dapat terwujud. Untuk memperkuat posisi dan urgensi pluralisme agama, sebagaimana halnya cendekiawan lain, Buya Syafii memberikan landasan normatifnya dari al-Quran surah al-Hujarat [49]: 13:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita’arafu). Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Buya Syafii memaknai kata “ta’aruf” di situ sebagai diktum yang merupakan fondasi kultural sekaligus religius bagi membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralisme (Muhammad Qarib: 2019). Dan yang menarik dari Buya, ia tidak hanya “mendakwahkan” pluralisme agama lewat ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya, tapi juga dalam laku kesehariannya.
Lewat kesehariannya, kita dapat merangkum sosok Buya dalam tiga kata: pluralis, multikultur dan ikon tokoh lintas agama. Buya aktif dan sering hadir dalam acara, diskusi, dan seminar lintas agama. Serta banyak memiliki teman yang berasal dari tokoh agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Buya tidak canggung untuk itu. Yang ada ialah Buya malah terlihat luwes dan sangat bersahabat. Hal itu dipraktekannya dari sejak menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah sampai dengan menjadi “Guru Bangsa” seperti sekarang ini.
Menolak Sekat, Menyapa Semua
Tumbuh dan besar di lingkungan Muhammadiyah tidak pernah membuat Buya Syafii menjadi sosok yang ekslusif. Ekslusif dalam arti hanya bergaul kepada sesama tokoh dan kader Muhammadiyah saja. Pergaulannya amat luas. Ia terbuka bagi semua kalangan. Bukan hanya bagi organisasi Islam yang berbeda seperti NU, tapi juga bagi kalangan agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Buya Syafii, sebagaimana slogan Pesantren Gontor, memposisikan dirinya untuk “berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Dan itulah yang penulis kira membuat bangsa Indonesia dengan yakin menyematkan gelar “Guru Bangsa” pada diri beliau.
Buya Syafii, sebagaimana halnya para pembaharu, selalu berusaha berlepas diri dari sekat-sekat kelompok. Sebab menempatkan diri dalam satu sekat hanya akan membuat seseorang tidak objektif dalam menilai sesuatu. Kemudian pada saat yang sama membuatnya berhenti menjadi sosok pembaharu. Sikap Buya yang menolak sekat ini dapat kita lihat pada tulisannya yang berjudul “Kotak Sunni, Kotak Syi’ah: Tinggalkan Kotak!”
Dalam tulisan itu, kita akan melihat betapa Buya sangat risih dengan sekat-sekat dan kotak-kotak yang ada pada umat Islam. Ia mengatakan, jika umat Islam ingin maju, maka ia harus keluar dari kotak itu. Umat Islam tidak boleh berlarut-larut dalam konflik masa lalu, seperti konflik Sunni dan Syiah. Karena baik Sunni atau Syiah, kendatipun dianut oleh banyak orang, sama-sama merupakan produk sejarah yang harus disikapi dengan kritis. Jadi tidak perlu fanatik terhadap keduanya (Jurnal MAARIF: 2015).
Buya Syafii hadir untuk menyapa semua. Buya tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan agama, suku dan gendernya. Karena menurutnya, semua manusia sama di hadapan Tuhan. Terbukti ketika beliau jadi Ketua Umum Muhammadiyah (2000-2005), perempuan mendapatkan ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk masuk ke dalam struktur kepengurusan (Burhani: 2016). Akhirnya, penulis berharap semoga seluruh keteladanan yang diajarkan oleh Buya itu dapat diwarisi dan dipraktekkan oleh bangsa Indonesia umumnya dan warga persyarikatan khususnya.
Editor: Nabhan