Feature

Canda Jenaka Buya Syafii

4 Mins read

Oleh: Muhammad Ridha Basri

“Batu di ginjal. Kalau bukan di ginjal, batu tidak bahaya.” Begitu jawaban Buya Syafii ketika ditanya Wakil Presiden Jusuf Kalla, 15 Agustus 2019, di kediaman Nogotirto Yogyakarta. Ditemani Sri Sultan Hamengku Buwana X, Jusuf Kalla (JK) menjenguk Buya Syafii setelah sembuh dari sakit batu ginjal. Buya menjalani terapi ESWL (extracorporeal shock wave lithotripsy) atau pemecahan batu ginjal dengan gelombang kejut. Silaturahim ini juga masih dalam suasana Idul Adha.

Pak JK menimpali, “Batunya tidak disimpan buat peresmian atau peletakan batu pertama, Buya?” Sontak, saya, mas Agus, dan seorang paspampres di ruangan tengah menahan tawa. Buya Syafii, Jusuf Kalla, dan Sultan HB X berwawansabda di ruang tamu berukuran tiga kali lima meter, bersebelahan dengan ruang tengah dan ruang baca yang lebih luas dari ruang tamu. Konteksnya, Buya Syafii sebagai ketua proyek pembangunan Madrasah Muallimin Yogyakarta yang menelan angka ratusan milyar.

Inilah di antara sisi Buya Syafii sebagai homo ridens yang tidak banyak diketahui. “Saya ini manusia gaul,” katanya. Sisi ini memang tidak selalu tampak terang benderang. Bisa jadi karena Buya sangat bisa menempatkan diri dalam beragam posisi sesuai tuntutan kondisi. Atau karena belum kenal dekat dan akrab. Jika belum kenal dekat, mungkin seperti kata Mas Iqbal Aji Daryono, orang Muhammadiyah tidak lucu. Kata pepatah, tak kenal, maka taaruf. Tuh kan, jadi serius.

Objek candaan Buya Syafii beragam. Terutama sisi ‘kekonyolan’ masa lalu dirinya sendiri. Menurut filosof Perancis Hendri Bergson, kejenakaan terjadi jika objek berada di hadapan orang lain. Jika tertawa seorang diri tanpa sebab, artinya ada yang tidak beres dan perlu segera ke psikolog. Ada teori bahwa humor lahir dari rasa superioritas terhadap objek yang ditertawakan, baik karena dikalahkan atau ditipu oleh sebab kebodohan, kelemahan, atau kekonyolan.

Baca Juga  Penjaga Moral Bangsa: Meneladani Buya Syafii Maarif

Tawa terjadi jika ada ekspektasi yang dipatahkan oleh realita. Dalam stand up comedy, para komika membangun narasi dan set up, lalu punchline-nya berupa ekspektasi yang tidak sampai. Kata Raditya Dika, humor terjadi pada kasus orang besar dengan masalah kecil atau orang kecil dengan masalah besar. Misalnya, Superman jerawatan. Humor kadang terkait dengan sebuah persoalan serius yang dibalut dalam kejenakaan.

Tulisan ini menyebut beberapa kejenakaan Buya Syafii, yang menurut saya lucu. Jika tidak lucu, ya maap. Pernah, Buya bercerita ketika dulu masih kategori mahasiswa melarat dan tinggal di rumah mbakyu Prof Kahar Muzakkir di Kotagedhe, Buya sering melihat poster atau brosur atau flyer yang memuat Amien Rais dan Nurcholish Madjid. Saat itu Buya sangat kagum pada dua sosok ini. Buya berekspektasi ingin seperti mereka berdua. Kata Buya kemudian, “Setelah tercapai, ternyata biasa aja.”

Ketika ke warung makan, Buya sering mencandai simbok atau juragannya. Saat itu, makan di sebuah kuliner jalan Kaliurang. Belum selesai kami mengosongkan cangkir minuman, Buya beranjak ke kasir. Setelah dihitung, kasir menyatakan harga yang harus dibayar. “Kok murah sekali? Coba hitung ulang,” katanya pada ibu kasir. Kali lain, “Berapa juta semuanya?” maksudnya adalah berapa ribu.

Di suatu siang, Buya Syafii berbincang dengan awak redaksi Suara Muhammadiyah. Asyik mengobrol beragam hal terkait Pilpres 2019. Ada banyak fakta yang dikemukakan tentang cerita di balik layar drama besar republik ini. Meskipun cerita itu tidak untuk dipublikasi ke publik, Buya sering bilang bahwa awak redaksi harus tahu banyak informasi dan paham peta.

Karena keasyikan ngobrol, Buya tidak menyadari ternyata ada seorang profesor yang sudah beberapa kali menelpon. Setelah jeda, Buya Syafii mengecek HP dan melihat banyak panggilan tak terjawab. Buya tanya, “HP saya kenapa tidak bunyi ini?” Buya jawab sendiri, “Mungkin terlalu banyak beban, sama dengan beban kepala pemiliknya.” Konteksnya, Buya baru saja bercerita tentang bangsa yang menjadi beban di kepalanya.

Baca Juga  Ketika Moh. Natsir Menolak Undangan Dubes Arab Saudi

Saat berbeda, seusai salat Zuhur, Buya bercerita tentang kisah Chairil Anwar hingga Soekarno. Sampai bahasan beralih ke tema Soekarno yang memiliki sembilan istri. Pak Mustofa W. Hasyim (redaktur Suara Muhammadiyah dan budayawan yang tinggal di Kauman) ikut memberi informasi bahwa dulu ada orang Kauman Yogyakarta yang menolak pinangan Presiden Soekarno.

Informasi itu dibenarkan Buya Syafii dan Pak Muchlas Abror (Sekretaris PP Muhammadiyah era Pak Amien dan Buya Syafii) yang duduk tidak jauh dari posisi saya. Pak Muchlas menjelaskan bahwa sosok itu merupakan bendahara PP Aisyiyah ketika itu, Hadifah Zuharan, dan memang cantik. “Iya, putih orangnya,” sambung Buya. Pak Muchlas menambahi, “Jangan-jangan Pak Syafii juga ikut naksir.” Kami hanya bisa tertawa melihat para sesepuh yang sangat kami hormati ini.

Buya pernah bercerita. Dalam sebuah forum Muhammadiyah, Buya bertanya pada KH AR Fachruddin, “Pak AR kenapa banyak merokok?” Jawab Pak AR santai, “Tidak banyak. Saya merokok satu-satu.” Apa boleh bikin.

Kali ini, seminar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buya Syafii bicara tentang pentingnya belajar pada Timur dan Barat, “Kalau Iblis bangun sekolah yang lebih bagus, saya akan ikut.” Kalimat itu disambut tawa peserta. Para mahasiswa UIN yang sehari-hari bergelut dengan agama perlu melakukan penyegaran pemahaman. Mereka yang terbiasa dengan pola dekonstruksi dan pemikiran kritis, tentu tidak mempermasalahkan kalimat Buya Syafii semacam itu. Nilai moralnya, bercandalah sesuai konteks dan objek.

“Jenis kita ini hebat, makhluk yang malaikat saja kalah berdebat. Kalah lho malaikat, Adam diajar oleh Tuhan, kalau tidak, kalah juga,” kata Buya di sebuah kultum. Kala itu, Buya Syafii menceritakan tentang polah manusia modern yang kehilangan integritas, mengalami peluruhan nilai, saling merebut kuasa dan materi.

Baca Juga  Serpihan-Serpihan Kisah “Bersama” Buya Syafii

Sikap humoris Buya Syafii juga terjadi ketika pada 14 Maret 2018, kami makan di sebuah warung sate kawasan Jalan Imogiri Timur Yogyakarta. Mampir di Sate Pak Untung, Buya lantas menghampiri sepasang suami istri penjual sate klatak. Buya berdiri di pinggiran meja yang dijejali daging segar. Di sebelahnya, jejeran tusuk daging kambing yang sedang dibakar.

Si ibu penjual berbasa-basi, “Ini dagingnya banyak, Pak.” Buya menanggapi, “Oh, ini daging banyak. Bukan daging kambing, Bu?” Kata si ibu terkekeh, “Tetap daging kambing, Pak, tapi isinya banyak.” Jawab Buya kemudian, “Benar ya daging kambing? Jadi bukan daging banyak. Ya sudah, saya pesan tongseng.”

Buya juga suka bercanda di WhatsApp. Suatu ketika, Buya ditanya, “Apa benar, katanya Buya sedang sakit, setelah jatuh?” Buya membalas pesan serius ini dengan singkat, “Jatuh cinta?” Begitu jawaban penyangkalan, bahwa Buya baik-baik saja atau mungkin merahasiakan supaya sakitnya tidak diketahui publik.

*Wartawan Suara Muhammadiyah

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds