Perspektif

Cara Mengoperasionalkan Akal dengan Benar

3 Mins read

Apabila bersedia jujur, diri kita pernah mengakui sebuah pengakuan sekaligus perjanjian besar, boleh disebut dengan mitsaq yaitu pengakuan seluruh manusia bahwa penisbatan Allah sebagai Rabb.

Allah berfirman; Apakah Saya –Allah- benar benar Tuhanmu? (Al-Araf: 172) (Alastu bi robbikum?), seraya kita menjawab: Ya Kami setuju serta bersaksi (qolu; bala syahidnaa).

Inilah kejadian sebelum Allah memberikan eksistensi di dunia ini (‘alam ruh). Pada saat itu, manusia dalam wujud ruh yang mampu berbicara –bernalar- (an-nafs an-nathiqoh).

Pengakuan ini adalah deklarasi mutlak bahwa fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai Rabb. Atas pengakuan inilah manusia dilahirkan secara suci-bersih (fitrah).

Rasulullah bersabda; “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

***

Menelaah kembali hadis ini, manusia diciptakan secara fitrah (suci), namun yang menjadikan Yahudi, Majusi, dan Nasrani adalah faktor orang terdekatnya yaitu orang tua, atau ada potensi manusia yang menjauhkan dari fitrahnya itu.

Kelahiran manusia di bumi ini seperti yang Allah firmankan dalam QS. At-Tiin, sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan (Laqod kholaqnaa al-Insan fi Ahsani taqwiim) bahwa manusia telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya termasuk di dalamnya kemampuan berbicara dengan nalar (nuthq) yang Allah ilhamkan kepada manusia sebagai pembeda entitas mahluk lainnya (hewan-tumbuhan) dengan istilah, “Manusia adalah hewan yang bernalar” (dzu nuthq)” (al-insan hayawan nathiq).

Dalam hal ini, bukan berarti manusia itu adalah hewan yang dipersepsikan dalam teori Darwin (baca; teori evolusi), namun bahasan ini lebih condong bahwa esensi dalam diri manusia terdapat sifat hewani. Secara bersamaan, manusia juga dilebihkan kemampuan berbicara dengan nalar (dzu nuthq) sekaligus dengan nalar inilah, sifat hewani manusia bisa ditekan.

Baca Juga  Islam itu Rasional (5): Akal Tak Berkontradiksi dengan Al-Qur'an!

Ini membuktikan bahwa manusia mempunyai dimensi ruhiah yang tak terlihat. Namun sangat kentara secara ekspresi lahiriah (dapat dilihat dan didengar) namun wujudnya tidak nyata, boleh disebut itu adalah akal (‘aql).

Pengertian Akal

Akal (‘aql) secara etimolog mempunyai arti pengikatan, maksud dari pengikatan di sini adalah akal (‘aql) berfungsi untuk mengikat objek ilmu (‘ilm) yang didapatkan. Akal (‘aql)adalah suatu substansi ruhiah yang memungkinkan untuk mengenali kebenaran dan mampu membedakan antara benar (haq)dan salah (bathil). Sedangkan proses dari aktivitas akal (‘aql) dapat dikatakan sebagai berpikir (fikr).

Asal mula asasi dari akal (’aql) yang diberikan Allah kepada manusia mempunyai daya utama, yaitu usaha untuk menemui kebaikan –daya untuk memilih- (ikhtiyar) suatu upaya untuk memilih untuk mencapai kebaikan (khayr).

Karena akal (‘aql) sejatinya akan menuntun manusia ke jalan yang benar serta pembeda baik (haq) dan buruk (bathil).

Namun secara bersamaan, akal (‘aql) membutuhkan bimbingan yang lebih tinggi darinya yaitu wahyu atau informasi yang valid (khabar shadiq) yang final dari Allah yang disyarah oleh Nabi Muhammad.

Dari wahyu, akal (‘aql) akan mempunyai daya pembeda (furqon) antara benar (haq) dan salam (bathil), kemudian diproses dalam aktivits berpikir (fikr). Pada tahap selanjutnnya, dituangkan meliputi basic belief, pikiran (fikroh), perkataan (qaul), perbuatan (‘amal) dan mengkristal menjadi pola kehidupan (minhajul hayah).

Sehingga mampu membedakan antara haq dan bathil. Karena sudah jelas mana petunjuk dan penyesat (…qod tabayyana ar-rusyd minal ghayy… al-Baqarah: 256).

Mampu meningkatkan daya furqon (pembeda) dengan pedoman Al-Qur’an sebagai wahyu (khabar shadiq), karena Al-Qur’an bukan sekadar bacaan namun sejatinya untuk meningkatkan nalar salim yang tajam (…al-Qur’an huda li an-naas wa bayyinati min al-huda wa al-furqon…al-Baqarah: 185).

Baca Juga  Syah Wali Allah: Akal dan Nalar untuk Ijtihad

Dengan menginsyafi kembali makna fithrah (suci) yang disabdakan Rasulullah, maka seyogyanya kita ingat kembali asal kita yaitu suci dan bersih. Namun karena kezaliman (zhulm) manusia sendiri-lah kita menjadi kotor sehingga perlu di-tazkiyah jiwanya dengan ibadah (‘ibadah).

***

Kemudian, menyadari kembali bahwa kita pernah bersaksi kepada Allah sebagai Rabb seluruh alam maka perlu disadari dengan hati tulus sejauh mana konsisten (istiqomah) dan adil (‘adl) dalam memegang janji (mitsaq) itu (al-‘Araf: 172).

Dan wajib direnungi pula, di manakah posisi kita sekarang verada. Apakah masih dalam status hamba yang mengabdi (‘abd) dengan penuh hidmat (khidmah) secara ikhlas (mukhlisina lahu ad-diin: Surah al-Bayyinah) berserah diri (thouhan) kepada-Nya atau posisi kita menjadi hamba yang terpaksa (karhan)?

Lebih jauh, kita mampu merekonstruksi –membina- secara rapi dengan tertib (maratib) bangunan-bangunan Ilmu dalam Islam yang diterima oleh akal (‘aql) bersumber dari wahyu (khabar shadiq) kemudian diproses dalam aktivitas pikiran (fikr). Meningkat lebih tinggi, cakap digunakan sebagai pandangan hidup terhadap dunia nyata (syahadah) dan gaib (ghaybah) serta mampu membedakan benar (haq)dan salah (bathil) dalam skup teoris (qoidah) sekaligus praksis (amaliyah).

Penutup

Sebagai pesan dari penulis, kembalilah kepada fitrah (fitrhoh) manusia dengan mengingat perjanjian agung (mitsaq), berpikirlah (fikr) selayaknya manusia (insan) berakal (‘aql-‘aqil) seutuhnya, senantiasa berproses untuk mencari kebaikan (khayr) dengan upaya (ikhtiyar)sepenuh hati, serta mampu membedakan benar (haqq) dan salah (bathil) dengan panduan informasi final dari Allah (khabar shadiq) yaitu wahyu bukan dengan nafsu.

Sedangkan, jika berlandaskan nafsu maka sudah pasti menggiring kepada kezaliman (zhulm) dan kesesatan (dhollun). Selanjutnya dalam tahap teknis, mampu mengoperasionalkan proses aktivitas akal yaitu berpikir (fikr) untuk panduan kehidupan (minhajul hayah) dengan pandangan hidup Islam (ru’yatul lil-Islam) dalam untuk menuju kebahagiaan (sa’adah) abadi di akhirat kelak. Amin. Wallahu ‘Alam Bi Showab.

Bibliography

Al-Attas, S. M. N. (1990). Konsep Pendidikan Dalam Islam (H. Bagir (ed.)). Penerbit Mizan.

Baca Juga  Islam itu Rasional (4): Akal Jangan Dicaci, Filsafat Jangan Dibenci!

Al-Attas, S. M. N. (1995). Islam dan Filsafat Sains (S. Muzani (Penerjemah) (ed.). Penerbit Mizan.

Al-Attas, S. M. N. (2019). Islam Faham Agama Dan Asas Akhlak. Ta’dib International.

Alvin Qodri Lazuardy
11 posts

About author
Ka. SMP AT TIN UMP (Berbasis Pesantren), Kab. Tegal dan Pengasuh PPM. AT-TIN UMP Pengkaji Pemikiran, Pendidikan Islam dan Kepesantrenan Alumni Ushuluddin UNIDA Gontor dan Magister PAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto Penulis Buku Merawat Nalar Salim dan Pandangan Hidup Islam Sebagai Dasar Mencintai Lingkungan
Articles
Related posts
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…
Perspektif

Salahkah Jika Non Muslim Ikut Berburu Takjil?

3 Mins read
Seluruh umat Muslim di seluruh dunia beramai-ramai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan tidak jarang dari mereka yang melakukan tradisi ngabuburit…
Perspektif

Empat Nilai Puasa Ramadhan yang Membawa Kita Pada Ketakwaan

3 Mins read
Puasa bulan Ramadhan adalah salah satu pilar Islam (rukun Islam). Ia adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Tujuan berpuasa adalah agar para pelakunya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *