Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (1): Kembali ke Titik Nadir

6 Mins read

Jogja, Rabu 03 April 2024. Pukul 14.00 sebuah mobil memulai perjalanan menuju tempat yang jauh, Kerinci-Sumatera. Sang sopir dilanda rindu kampung halaman. Meski sudah 45 tahun merantau, ayah-ibunya sudah lama wafat, dan kakaknya yang 9 kini tinggal dua orang. Tetapi rindunya pada tanah kelahiran tidak pernah pupus. Pulang kampung baginya adalah kembali ke titik nadir. Titik dimana perjalanan panjangnya sebagai tamatan SD dimulai.

Dengan berbagai keterbatasan, ternyata di rantau impiannya menjadi nyata. Bahkan melampaui harapan tertingginya. Maka perjalanan mudik baginya menjadi perjalanan yang melahirkan banyak rasa syukur. Rasa yang mendatangkan energi yang membuat dia ringan menjalani perjalanan mudik yang panjang. Sang Sopir adalah aku penulis cerita ini. Penumpang satunya adalah istriku. Sekaligus navigator yang menyenangkan.

Sebenarnya kami baru akan memulai perjalanan mudik tahun ini dua hari lagi. Ini menyesuaikan dengan libur resmi UMY maupun pemerintah. Kebetulan pada mudik kali ini juga bergabung Onti anak bungsu kami dan Oom menantu kami. Ternyata jadwal kerja mereka ketat dan cuti mereka terbatas. Sementara pemerintah mengumumkan lalu lintas satu arah diberlakukan untuk tol Jakarta-Semarang per 5 April siang.

Ini tentu akan merepotkan karena bersamaan dengan hari keberangkatan kami. Maka kami merubah strategi. Aku dan istri berangkat lebih dulu pada hari Rabu. Kebetulan pada Kamis dan Jumat istriku ada rapat Majelis PAUD Dasmen PP Aisyiyah di Jakarta. Sedangkan Onti-Oom menyusul naik KA ke Jakarta pada Jumat malam. Kami akan kembali bersama pada Sabtu dini hari di Stasiun Senin.

Dari sana perjalanan berlanjut menuju Merak dan selanjutnya Sumatera. Oom menantu kami belum pernah ke Kerinci. Pada lebaran  2023 lalu, kami tidak mudik. Sebelumnya pada lebaran 2022, Oom dan Onti mudik ke Cepu domisili keluarga Oom. Pada tahun 2022 ini, aku dan istriku mudik ke Kerinci berdua saja untuk pertama kalinya. 

Sebenarnya Oom tidak asing dengan Sumatera. Khususnya Lampung. Sebelum menikahi Onti, dia bekerja di BUMN yang menggarap jalan tol Bakauheni-Palembang. Tetapi penjelajahan Oom selama di Lampung hanya sampai Palembang, ujung jalan tol baru itu. Sedangkan masyarakat Bandar Lampung sudah sangat heterogen. Berbeda dengan Kerinci yang masih asli. Apalagi kampung halamanku. Bahasa, arsitektur, kuliner, apalagi lenskapnya, meminjam istilah anak milenial, Sumatera banget. Maka mengunjungi Kerinci sangat diinginkan Oom. Inilah yang kami wujudkan pada mudik kali ini. 

Menjelang keberangkatan menjadi hari yang sibuk bagi kami. Malam sebelumnya kami mengepak bawaan sehingga siap dimasukkan ke mobil. Pagi sebelumnya aku ngantor beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Kebetulan Prodi kami MIAI akan kembali diakreditasi. Suasana kampus UMY pun sudah mulai lengang. Mahasiswa sudah banyak yang mudik. Perkuliahan berjalan dengan skema online. Pada Senin dan Selasa aku masih memberi kuliah melalui Zoom.

Baca Juga  Malaysia dan Indahnya Kebersamaan

Sedangkan istriku sibuk berkoordinasi terkait distribusi zakat dan bingkisan lebaran  untuk tetangga kiri kanan. Aku sendiri sibuk menyiapkan sejumlah angpao untuk sahabatku, 40 anak-anak se RT. Mereka harus mendapatkan angpao hari raya sebagaimana dulu aku dapatkan setiap lebaran di kampung halamanku.  Ketika akhirnya Si Raize berjalan, semua sudah siap. Termasuk bekal buka puasa di perjalanan.

Satu jam berkendara kami sudah melampaui kota Klaten. Sambil mengisi bahan bakar, aku shalat Asar di masjid pom bensin di kawasan timur kota. Tanki yang tinggal dua strip diisi penuh. Sayangnya kami belum bisa mencicipi jalan tol fungsional Klaten-Kartosuro. Jalur ini baru akan dibuka pada tanggal 5 siang.

Satu jam kemudian kami sudah terlepas dari jalur ramai Jogja-Kartosuro. Pukul 16.00 kami pun memasuki pintu tol Colomadu dan Si Raize segera menemukan habitatnya. Kecepatannya meningkat dua kali lipat. Terkadang mencapai 140 km/jam. Dengan fitur turbo ia menyalip banyak kendaraan lain. Untungnya di sebelahku duduk Sang Navigator yang baik. Dia sedikit cemas dan selalu mengingatkan ketika aku mulai menggeber Si Raize. Berbagai lafal suci keluar dari lisannya sambil mengingatkan aku untuk mengurangi kecepatan. 

Tidak lama kemudian kami masuk kota Semarang. Pukul 17.00, melalui gerbang tol Banyumanik dan beberapa menit kemudian  masuk gerbang tol Kali Kangkung. Ketika masuk waktu berbuka kami sudah duduk santai dalam mobil di Rest Area 360. Kami menikmati bekal yang disiapkan istriku. Segelas teh panas tawar dan beberapa butir kurma sudah cukup bagiku.

Seminggu sebelumnya, sebagai dokter, Onti menemukan gula darahku naik mendekati batas atas. Ini akibat terlalu banyak minum kopi susu saset. Sepulang dari Unimuda Sorong-Papua sebulan sebelum Ramadan aku dibekali teman-teman di sana banyak Kopi Susu Sorong. Aku mengonsuminya dua saset sehari. Saat buka puasa dan saat sahur. Kurang olahraga dan metabolisme tubuh yang tidak selancar masa muda berujung pada naiknya gula darahku. Untungnya belum melompati batas. Untungnya lagi kolesterolku masih normal.

Paska buka puasa, kami pun rehat di rest area KM 360-B. Angka 360 ini adalah kilometer jarak lokasi dengan Jakarta. Makan malam kami nasi, sambal cendawan kuku, goreng ikan-ayam, dan lalapan timun. Rest arena ini masih kawasan Kabupaten Batang. Dekat Alas Roban, jalur legendaris di Pantura pada era sebelum ada jalan tol.

Baca Juga  Kegiatan Belajar "New Normal" Anak Kanker di YKAKI

Berita baiknya aku tidak merasa lelah dan mengantuk. Perjalanan mengendarai di bulan puasa memang terasa lebih  ringan. Mungkin karena perut tidak terlalu penuh. Kekenyangan sering mendatangkan kantuk bagi seorang sopir. Ketika kemudian membuka hape, medsosku dibanjiri ratusan respon dan puluhan komentar. Foto dan caption yang aku aplud dari Prapatan Madukismo dibaca banyak sahabat dan kerabat. Mereka berdoa untuk keselamatan perjalanan kami. Dindo Irfan Islami menulis, “menunggu cerita perjalanan Si Raize Putih.” 

Setelah dirasa cukup pukul 19.00 kami melanjutkan perjalanan. Badan yang segar membuat aku tergoda memacu Si Raize. Bahkan sesekali berkejaran dengan bis Sinar Jaya dan Garuda yang menuju Jakarta.

Pada satu kesempatan, aku berada di lajur kanan. Aku menyalip bis malam di depanku. Ternyata di lajur baru menunggu truk tronton. Maka aku mengambil lajur bahu jalan di sebelah kirinya. Ternyata bahu jalannya menyempit. Untungnya masih ada beberapa detik untuk mempercepat laju. Sehingga aku lolos dari jebakan bahu jalan yang menyempit. Tentu Sang Navigator cemas. Demikian juga aku. Maka sejak itu aku mulai fokus pada lajurku. Tidak lagi panas ketika didahului kendaraan lain. Gaya berkendaraku lebih tenang. Dampaknya Sang Navigator terlelap di sampingku. Pukul 22.00 kami memasuki rest area KM 82. Kamipun sudah berada di Propinsi Jawa Barat.

Sebelumnya aku berniat memberi kejutan pada Sang Navigator. Aku ingin membangunkan beliau setelah masuk Jakarta. Tidur beliau nampak lelap sejak gaya meyetirku stabil. Stabilitas menyopirku terkait kiat menyopir dalam kecepatan tinggi yang baru aku dapatkan.

Ini terkait lampu sen yang dinyalakan bis di depan ketika berada pada lajur kanan. Ketika ia menghidupkan sen kanan itu bermakna di sebelah kiri depannya ada kendaraan lain. Artinya kita tidak boleh menyalip dari sisi kiri. Kalau dipaksakan maka akan terhalang oleh kendaraan di lajur baru itu. Pilihannya adalah kembali ke lajur semula menyalip bis yang sebelumya di depan kita. Atau menyalip kendaraan di lajur baru melalui bahu jalan di sebelah kirinya. Inilah yang terjadi ketika sebelumnya aku menyalip melalui bahu jalan sebelah kiri yang kebetulan mulai menyempit itu. 

Tetapi setelah dua jam menyopir capekku mulai terasa.  Biasanya ini tuntas dengan pijatan khusus Sang Navigator di kuduk dan bahuku. Masalahya sekarang beliau sedang lelap. Maka aku merubah target. Tidak lagi rehat setelah masuk Jakarta.  Aku mulai melirik rest area terdekat. Pada pukul 22.00 kami masuk rest area 82-B. Dalam kondisi yang belum terlalu capek kami menunaikan shalat Magrib dan Isya dengan jamak takhir. Sekaligus shalat tarawih.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Pemerintah Jangan Melanggar Kebebasan Berkeyakinan

Masjidnya sangat indah. Arsitektur, ruang shalat, dan karpet tebalnya. Menariknya masjid ini bernama Martowidjoyo. Bukan Shirotol Mustaqim atau sejenisnya. Ternyata ini nama wakif yang merupakan pemilik rest area ini. Beliau juga pemilik rest area di jalur seberangnya. Seiring dengan mengalirnya para musafir yang shalat di masjid ini semoga mengalir pula pahala untuk Pak Marto yang dermawan ini. 

Malam baru pukul 23.00 ketika kami meninggalkan rest area 82-B. Secangkir kopi susu dan segelas popmi sudah menghangatkan badanku. Sementara Jakarta sudah di depan mata. Aku menawarkan pada istriku untuk kami langsung masuk Jakarta dan memesan kamar di hotel di kawasan Gandaria.  Ini kawasan Kantor Pimpinan Pusat Aisyiyah, lokasi istriku akan rapat bersama ibu-ibu  pengurus Majelis PAUD Dasmen PP Aisyiyah.

Tetapi sebuah kejutan menghampiri kami. Pesan WA dari Bu Fitni ketua Majelis masuk ke hape istriku. Bahwa untuk kami telah disiapkan sebuah kamar di wisma di dalam kompleks kantor PP Aisyiyah. Kepada kami juga sudah diberikan nomor kontak dari penjaga malam gedung. Maka kami memutuskan masuk Jakarta pada pagi hari saja. Tidak enak di hati membangunkan sang penjaga gedung yang sedang istirahat di tengah malam.

Tidak lama kemudian  Raize pun melenggang masuk tol Jakarta-Cikampek. Jalan ini memiliki tiga lajur. Lebih lebar dari jalan tol sebelumnya. Sebagian berupa jalan layang Shekh Mohammad bin Zayed. Aku tidak lagi melihat jam ketika masuk rest area 6B. Kami segera terlelap sampai alarm hape berbunyi pada pukul 03.30. Kami pun sahur dengan bekal dari Jogja. Ditambah secangkir kopi susu panas yang aku beli di rest area sebelumnya.

Ada banyak penumpang bermobil lain melakukan hal yang sama. Di sebelah kami, satu keluarga dari Semarang dengan banyak anak kecil membentangkan tikar di belakang mobil mereka. Kami senasib. Mereka akan mudik ke Palembang. Kami shalat Subuh dengan suara imam yang fasih dan syahdu di Masjid Ali Imran di dalam rest area. Matahari pagi terbit ketika kami mengikuti petunjuk Google map menuju Kantor PP Aisyiyah di tengah ibukota. (Bersambung).

Grand Indonesia, Thamrin-Jakarta, 05 April 2024

Avatar
31 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds