Pada akhir novel Khotbah di atas Bukit (2015), Kuntowijoyo menuliskan kalimat menarik yang menuturkan: Gerak adalah hidup kita. Sel-sel tubuh, otot, kaki, dan tangan kita adalah bagian yang terus bergerak dan membuat kita hidup. Pergerakan menghasilkan energi. Melalui energi itulah, manusia melakukan proses pembakaran terhadap lemak tubuh, sel-sel kulit mati, dan aneka penyakit menumpuk di dalam tubuh.
Gerak menandakan vitalitas hidup. Orang yang semakin banyak pergerakannya, semakin sehat dan semakin produktif. Pergerakan tubuh yang banyak, bukan hanya baik bagi tubuh, ia turut serta memacu pikiran kita yang serba cepat ini menjadi seimbang.
Alam raya ini pun hakikatnya melakukan pergerakan terus menerus. Apabila bumi berhenti bergerak, maka matilah eksistensi bumi dan alam raya ini, akan menjadi rusak bila tidak bergerak. Manusia pun demikian halnya. Ketika manusia kurang bergerak, di situlah penyakit akan mudah untuk hinggap ke tubuh kita.
Kelambatan organ tubuh dalam bergerak menandakan orang tersebut dihinggapi penyakit. Misalnya, saat ginjal lambat mencerna, maka ada bagian-bagian yang kurang sempurna dalam menjalankan fungsinya. Saat itu terjadi, ada yang membuat tubuh remuk, tak normal.
Ada yang berbeda saat gerak tubuh kita menjadi dipersempit, dan jauh berkurang dari biasanya. Ini bukan hanya karena adanya virus Corona, di era teknologi seperti sekarang, rumah adalah surga. Teknologi membantu kita menyediakan semuanya. Olahraga pun bisa dilakukan di rumah dengan alat olahraga modern.
***
Teknologi secara tidak langsung memang mendekatkan dan memudahkan banyak hal. Namun, secara tidak langsung mengurangi hubungan sosial kita.
Pertemuan, percakapan, dialog bukan hanya menegaskan manusia sebagai makhluk sosial, namun di sanalah eksistensi kita sebagai manusia mewujud. Di rumah sehari saja tanpa bergerak kemanapun, akan terasa membosankan. Terlebih dalam tiga sampai empat bulan.
Pandemi Corona memang membunuh kita. Membunuh eksistensi kita. Ini bukan soal kewaspadaan kita karena Corona. Namun sewaspada apa pun kita, tidak ada jaminan Corona yang kita idap bisa ditangani. Orang semakin takut untuk dijangkiti Corona dan juga takut dengan orang yang terkena corona.
Sampai saat ini, yang menyebalkan bagi kita adalah pemerintah belum sepenuhnya bisa membantu menyediakan alat-alat pencegahan dini untuk menghadapi Corona. Seperti masker maupun anti-septic yang membuat penyebaran virus ini sedikit terhambat.
Bukan hanya arus ekonomi yang berhenti sejenak, pikiran kita pun dipaksa untuk santai, meski tidak bisa.
Pandemi Corona benar-benar memukul dunia akademis dan ahli kesehatan termasuk Indonesia. Ia memacu kita (manusia) lebih banyak meneliti dan menemukan solusi dalam waktu yang cepat dalam mengatasi virus mematikan seperti Corona.
Yang lebih memukul kita adalah kita dibatasi oleh sesuatu yang tak bisa kita lihat dan mengancam diri kita. Ditambah lagi ketidakberdayaan negara dalam menangani, mencegah, serta mengatasi virus ini.
Sungguh, Corona telah membuat kita menjadi manusia yang terbatas geraknya.