Perspektif

Covid-19: Ujian Nalar dan Kesadaran

3 Mins read

Di tengah wabah virus corona atau covid-19 yang menyebar cepat dari Kota Wuhan ke berbagai belahan dunia, menyadarkan saya pada dua hal penting. Pertama, bagaimana sikap pemerintah dalam mitigasi bencana wabah harus dilakukan.

Kedua, bagaimana wabah ini menguji nalar dan kesadaran masyarakat kita; apakah kita akan tetap bijak dan rasional ataukah kita terjerumus dalam nalar praksis dan kesadaran semu ?

Dalam hal mitigasi bencana, sebetulnya sudah diatur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Salah satu muatan materinya adalah, “Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh”.

Sesaat setelah presiden mengumumkan kasus covid-19 pertama di Indonesia, saat itu juga pemerintah menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan sosial distancing. Kebijakan ini dinilai relatif efektif dan tidak menimbulkan dampak ekonomi yang terlalu besar bagi negara jika berhasil.

Tentu kebijakan ini harus diikuti kedisplinan oleh masyarakat agar berhasil. Namun, nampaknya kebijakan ini tidak diimbangi oleh kesadaran masyarakat mengenai bahaya wabah ini dalam jangka panjang. Justru kebanyakan masyarakat masih menganggap pemerintah terlambat dalam menangani kasus wabah ini.

Sebuah kebijakan memang mempunyai political risk masing-masing, termasuk dalam penanganan virus covid-19. Sebetulnya himbauan social distancing sudah didukung oleh kebijakan-kebijakan yang lain. Seperti penghapusan Ujian Nasional tahun ini, meniadakan perkumpulan massa salam jumlah banyak. Bahkan, himbauan untuk melakukan aktivitas keagamaan secara mandiri.

Social distancing atau pembatasan sosial adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Himbauan ini dianggap lebih efektif daripada menerapkan kebijakan lockdown yang akhir-akhir ini diwacanakan dibeberapa media.

Baca Juga  Pajak: dari Dia, Kamu, Aku, dan Mereka untuk Kita

lockdown atau dalam bahasa sehari-harinya Karantina Kesehatan sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2018. Dalam undang-undang ini dijelaskan jika Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Kebijakan lockdown dinilai tidak bisa diterapkan di Indonesia untuk saat ini. Dikarenakan dampak sosial dan ekonomi bagi usaha rakyat kecil dan menengah dinilai tidak siap untuk menanggung akibat dari kebijakan ini.

Membangun Kesadaran

Munculnya hastag #DiRumahAja merupakan upaya pemerintah melalui kementerian komunikasi dan informasi untuk mengajak seluruh masyarakat untuk mencegah penyebaran virus covid-19. Sejalan dengan pemerintah, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A (K) juga mengatakan gerakan untuk tetap di rumah saja adalah salah satu upaya dalam menghentikan penyebaran kasus covid-19 lebih luas lagi.

Tentu himbauan ini juga mempunyai dampak bagi sebagian masyarakat. Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dari upah harian, pedagang, dan masih banyak lagi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat mampu sadar agar melakukan himbauan social distancing. Masih banyak masyarakat yang menganggap virus ini tidak menimbulkan dampak langsung kepada mereka.

Masalahnya, masih ada sebagian masyarakat yang menganggap himbauan untuk di rumah aja tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan tinjauan pustaka. Padahal jauh lebih substansial dari dasar hukum dan tinjauan pustaka adalah kesadaran bersama untuk menekan penyebaran covid-19.

Kesadaran masyarakat dalam tahap tipologi kesadaran Paulo Freire menurut penulis kini berada pada tahap kesadaran naif. Masyarakat memang berbondong-bondong untuk membeli masker dan hand sanitizer, rajin mencuci tangan. Akan tetapi masyarakat tidak disiplin untuk menjalankan social distancing. Masih banyak masyarakat yang pergi nongkrong ke cafe, menjalankan aktivitas keagamaan yang beresiko untuk bertemu orang banyak, bahkan hingga ada yang liburan di sela-sela wabah ini.

Baca Juga  Ketika Ibn Arabi dan Immanuel Kant Mengadili Ibrahim (Part 1)

Momentum Kemanusiaan

Jika kita tidak dapat membantu banyak orang miskin, setidaknya kita mampu menyelamatkan segelintir orang kaya. Begitulah salah satu kutipan pidato mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy dalam pelantikan yang menurut penulis harusnya mampu mempersatukan masyarakat Indonesia.

Upaya merajut kemanusiaan ditengah wabah ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya saling mengingatkan agar menjaga kesehatan dan bersama-sama gotong royong untuk melawan wabah ini.

Dengan prinsip si kaya membantu si miskin, maka keadaan ekonomi kita tidak akan berpengaruh terhadap himbauan pemerintah social distancing yang kini dampaknya dirasakan masyarakat kelas bawah.

Ketika prinsip ini untuk saling menopang ekonomi satu sama lain dilakukan, jangankan social distancing, lockdown yang konon jika diterapkan Indonesia mengalami defisit anggaran hingga minus 3 persen tidak akan berdampak di Indonesia yang terkenal dengan sikap kedermawanannya.

Memang, Presiden sudah menyatakan salus populi suprema lex esto yang artinya adalah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Hendaknya pernyataan presiden ini diikuti oleh kesadaran masyarakat untuk menekan upaya penyebaran virus covid-19 ini. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat salah satunya yang paling sederhana adalah untuk tetap dirumah saja kecuali dalam keadaan darurat.

Dalam membangun Sumber Daya yang Unggul sesuai dengan Visi Kabinet Indonesia Maju memang bayak menekankan kepada kesadaran masyarakat itu sendiri untuk diajak maju dan sadar. Akan tetapi kembali lagi kepada masyarakat, bagaimana kita membangun paradigma kesadaran ? Apakah dengan menjadi korban virus covid-19 baru kita sadar akan bahaya virus ini, tentunya kita tidak ingin dalam tahap ter-sadarkan seperti ini.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Sebelas Maret
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds