Tafsir

Debat Tahunan, Perbedaan Pendapat tentang “Ucapan Selamat Natal”

4 Mins read

Setiap memasuki akhir bulan Desember, tepatnya pada hari-hari di mana tanggal 25 Desember semakin dekat, selalu saja muncul anually debate (debat tahunan).Tak lain dan tak bukan ialah issu tentang boleh tidaknya mengucapkan “Selamat Natal” dari seorang Muslim kepada umat Kristen/Katolik. Isu yang seringkali membuat gaduh umat beragama. Sering juga membuat polarisasi antar umat beragama yang berimplikasi pada timbulnya tensi-tensi sosial-horizontal.

Polarisasi itu mengakibatkan munculnya dua kutub yang berbeda di kalangan umat Islam; kutub yang berisi orang-orang yang meyakini bahwa mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen/Katolik itu diperbolehkan. Dan kutub yang haqqul yaqin bahwa mengucapkannya ialah suatu perbuatan yang “maksiat”. Bahkan setara dengan syirik karena dianggap meng-amin-i Jesus Kristus lahir pada tanggal tersebut sekaligus meyakini ketuhanan Jesus.

Sebelum ke pendapat para ulama, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), di masa awal secara eksplisit, tidak mengeluarkan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen/Katolik. Fatwa MUI tertanggal 1 Jumadil Awal 1401 H/ 7 Maret 1981, yang ditandatangani oleh KH. Syukri Ghozali selaku Ketua Komisi Fatwa dan Drs. Mas’udi selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memfatwakan bahwa:

“Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.

Fatwa MUI di atas dikeluarkan tahun 1981, pada era kepemimpinan Buya Hamka. Fatwa di atas dengan jelas mengharamkan mengikuti perayaan Natal bukan mengucapkan “Selamat Natal”.

Ulama Klasik dan Kontemporer pun sudah pernah membahas terkait persoalan ini. Berikut ini, akan penulis paparkan tanggapan-tanggapan para ulama dan lembaga fatwa terkait hukum mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen/Katolik.

Pertama, Prof. Dr. Hamka

Prof. Dr. Hamka atau familiar disebut Buya Hamka yang menjabat Ketua Umum MUI waktu itu, menyatakan bahwa beliau mengharamkan umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal. Tapi, kalau sekadar mengucapkan “Selamat Natal”, tidaklah menjadi masalah (tidak haram). Keterangan itu pernah dimuat dalam Majalah Panji Masyarakat. Di mana, Buya Hamka lah selaku pemimpin redaksinya, seperti yang tertuang dalam situs Ponpes Al Khoirot Malang.

Baca Juga  Tafsir Al-Mar'ah Fi Al-Qur'an, Kitab yang Mengupas Kesetaraan Gender

Pernah juga dalam Majalah Tempo tertanggal 30 Mei 1981, melaporkan:

Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan (maksudnya mungkin mengharamkan-red) umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.

… Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981)

Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan tertanggal 30 April 1981 itu, ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan. Antara lain Misa, Kebaktian, dan sejenisnya. Bagi seorang Islam, tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

… HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Kedua, Prof. Dr. HM Din Syamsuddin MA

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. DR. HM Dien Syamsuddin MA sebagaimana tertulis dalam website Hidayatullah tanggal 11 Oktober 2005, menyatakan bahwa “MUI Tidak Larang Ucapan Selamat Natal”. Dilansir dari Tempo.co, Dien secara pribadi tidak mempermasalahkan umat Islam untuk mengucapkan “Selamat Natal” jika dirasa terdapat keperluannya.

Baca Juga  Kebangsaan Menurut Al-Qur'an

Pada tanggal 24 Desember 2007, Dien Syamsuddin justru  mempersilahkan ucapan selamat Natal dan bahkan hadir dalam perayaan Natal yang sifatnya seremoni. Hal ini diungkapkan Dien Syamsuddin dalam jumpa pers bersama Ketua Panitia Peringatan Natal Nasional 2007, Mari Elka Pangestu, di Gedung PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta, juga.

Ketiga, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, mengatakan bahwa ucapan Natal itu boleh saja disampaikan kepada umat Kristiani, demi kerukunan umat beragama. Said Aqil Siradj juga me­ngatakan bahwa dirinya selalu me­ngucapkan Natal kepada tetang­ga­nya yang umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Yang dilarang itu, menurutnya, adalah mengikuti ritualnya seperti yang dilakukan umat Kristiani. Itulah yang tidak boleh dilakukan (haram). Kalau sebatas ucapan selamat , menurutnya tidak salah.

Keempat, Habib Munzir Al Musawwa

Habib Munzir Al Musawwa memberi tanggapan terkait Natal, ia berpendapat:

“Mengenai ucapan Natal, hal itu dilarang dan haram hukumnya jika diniatkan untuk memuliakan agama lain. Namun jika diniatkan untuk menjalin hubungan baik agar mereka tertarik pada islam atau tidak membenci islam, maka hal itu ada sebagian ulama yg memperbolehkan”, kata Habib Munzir dilansir dari situs resmi Majelis Rasulullah SAW.

Kelima, Syeikh Yusuf Al-Qardhawy

Syeikh Yusuf Al-Qardhawiy membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” . Khususnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus dengan seorang muslim. Seperti hubungan kekerabatan, bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain. Dengan catatan, mereka tidak sedang memerangi umat Islam.

Keenam, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili

Syeikh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan seputar Natal sebagai berikut:

Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fikih berkenaan hari raya mereka. Asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.

Baca Juga  Cara Memahami Al-Qur'an dengan Metode Double Movement Fazlur Rahman

Ketujuh, Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dengan tegas mengharamkan mutlak ucapan selamat hari raya kepada orang kafir. Dikarenakan tasyabbuh kepada mereka, syirik dan sesat. Dikatakan bahwa:

Maka tidak halal untuk turut serta bersama ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam menyelenggarakan hari-hari raya mereka. Baik dengan cara memberikan hadiah sekecil apapun kepada mereka atau dengan memberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka. Semua ini dalam rangka memutuskan benih-benih kesyirikan, menampakkan kemuliaan dan keistimewaan Islam di atas para pengikut kesesatan, dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kedelapan, Syeikh Utsamin

Sebagaimana terdapat dalam Majma’ Fatawa Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, (Jilid.III, h.44-46, No.403), disebutkan bahwa memberi selamat kepada mereka hukumnya haram. Sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir/non-muslim) yang terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita. Hari raya mereka tidaklah diridhai Allah.

Kesembilan, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah

Dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah berkata, “Adapun mengucapkan selamat, berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka, adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Alasannya, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan. Seorang muslim haram mengikuti ritual atau sakramen Natal dan ini disepakati oleh hampir semua ulama.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, mengucapkan “Selamat Natal” merupakan perkara khilafiyah di kalangan ulama Islam sendiri. Maka seyogyanya, di antara kita bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat dan prinsip di internal Umat Islam dan menjaga ukhuwah Islamiyah.

Wallahu A’lam bi as-Showab

Selanjutnya klik

Infografis. Sumber: IBTimes.ID
Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds